KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Suasana ruang rapat Asisten II di Gedung Sasando, Kantor Gubernur NTT, Jumat pagi (25/7/2025), mendadak menjadi forum adu argumen. Di satu sisi, para pelaku usaha yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (HISWANA Migas) NTT menyampaikan keberatan mereka. Di sisi lain, regulator perpajakan dan pemerintah provinsi berupaya menjembatani persoalan pelik: soal Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak tanah yang kini mulai akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dimana sebelumnya perlakuan Perpajakan terhadap BBM Minyak Tanah adalah final, dimana PPN dipungut satu kali saja pada titik serah Pertamina
“Kalau harga tetap tapi ada pengenaan pajak PPN, beban akan makin berat di agen dan pangkalan, apalagi, SK HET sudah sejak tahun 2013 dan belum ada pembaharuan ataupun penyesuaian. Sehingga, kita minta penundaan penerapan PPN sampai dengan SK HET yang lama direvisi, karena SK yang lama tidak menyebut faktor PPN dalam suratnya,” ujar Alain Niti Susanto dari DPC HISWANA MIGAS, sembari mengajukan revisi Keputusan Gubernur NTT No.186/Kep/HK/2013.
Usulan mereka cukup konkret: harga dari agen ke pangkalan naik dari Rp 3.500 menjadi Rp 3.600 per liter, dan harga eceran di pangkalan naik dari Rp 4.000 menjadi Rp 4.100 per liter. Kenaikan ini, menurut mereka, menjadi penyangga untuk menampung tambahan beban pajak.
Rapat koordinasi yang digelar Biro Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Provinsi NTT ini dihadiri oleh sederet institusi kunci: Dinas ESDM, Disperindag, Biro Hukum, KPP Pratama Kupang, PT Pertamina (Persero) hingga pihak HISWANA sendiri. Rapat dibuka secara resmi oleh Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda NTT, Flouri Rita Wuisan, yang menegaskan bahwa forum ini adalah ruang mencari titik temu, bukan saling tuding.
Perwakilan Direktorat Jenderal Pajak, Ali Mustofa dari KPP Pratama, menjelaskan bahwa ada dua jenis pajak yang relevan dalam kasus ini: PPh dan PPN. Keduanya, menurutnya, sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara nasional.
Namun masalahnya, pengawasan harga dan distribusi di lapangan tampak tak lagi terkoordinasi di level provinsi. “Kami tidak punya wewenang lagi mengawasi HET. Itu sudah dialihkan ke kabupaten dan kota,” kata Yesua Kollo dari Disperindag NTT. Senada, Febronia W.P. Usboko dari Dinas ESDM menyebutkan sejak 2014 otoritas mereka atas HET telah dicabut.
Kondisi ini membuat Pemerintah Provinsi NTT tidak gegabah mengambil keputusan. Kepala Biro Perekonomian dan Administrasi Pembangunan, Selfi H. Nange, mengatakan bahwa keberatan dari HISWANA MIGAS harus disampaikan secara resmi ke Dirjen Pajak, dengan tembusan ke Pemerintah Provinsi.
“Silakan buat surat keberatan resmi ke Dirjen Pajak. Untuk saat ini, belum ada urgensi perubahan HET,” tegas Selfi.
Di tengah ketegangan antara pelaku usaha dan otoritas pajak, jelas bahwa minyak tanah—energi rakyat kecil—masih menyimpan bara persoalan regulasi dan distribusi. Dan sampai surat resmi keberatan itu meluncur ke Jakarta, PPN masih menghitung angka—dan pelaku usaha masih menahan napas.*/Laurens Leba Tukan



Komentar