GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Politik
Beranda / Politik / Suara Sunyi dari Selatan NKRI: Reses Simson Polin dan Keluhan Para Pendeta di Rote

Suara Sunyi dari Selatan NKRI: Reses Simson Polin dan Keluhan Para Pendeta di Rote

Anggota DPRRD Provinsi NTT dari Dapil NTT 2, Simson Polin ketika menggelar reses di Desa Sanggaoen, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Selasa (15/7/2025). Foto: Dok.Sipo.

BA’A,SELATANINDONESIA.COM – Di tengah hamparan tanah kering dan tiupan angin laut dari pesisir Lobalain, satu per satu suara dari para pendeta menggema di Desa Sanggaoen, Selasa, 15 Juli 2025. Bukan khotbah rohani yang dilantunkan, melainkan jeritan persoalan infrastruktur, BBM, pupuk, air bersih, hingga keadilan dalam formasi ASN. Mereka menyuarakan isi hati rakyat di hadapan Simson Polin, Wakil Ketua Fraksi PSI DPRD Provinsi NTT yang juga anggota Komisi IV.

Reses kali ini menjadi ruang kontemplatif bagi negara untuk mendengar “suara sunyi dari selatan NKRI”. Para pendeta dari berbagai klasis di Rote tak menyia-nyiakan kesempatan. Satu per satu berdiri, menyampaikan perihal jalan yang rusak, kelangkaan BBM, hingga harapan untuk rumah layak bagi pemimpin jemaat mereka.

Pendeta Yeferson membuka suara. Ia menyinggung jalan penghubung Ba’a–Daudolu sepanjang 4 kilometer yang kian memburuk. “Anak-anak dari Oeseda harus sekolah ke Ba’a karena lebih dekat. Tapi jalannya rusak parah,” ujarnya. Nelayan pun, katanya, kesulitan membawa ikan ke pasar. “Kami butuh tambatan perahu.”

Senada, Pendeta Johan menyoroti distribusi BBM yang timpang. “Minyak sering kosong di SPBU pinggir jalan. Kami minta tambahan SPBU,” tegasnya. Ia juga mengusulkan kendaraan operasional untuk tiap ketua klasis dan melanjutkan program ziarah rohani para pendeta ke Israel.

Sementara Pendeta Esa Sarlot mengangkat fenomena penyaluran BBM yang tidak transparan. “Di SPBU katanya tidak ada pertamax, ternyata ada truk bisa isi. Kenapa kami tidak bisa?” tanyanya heran. Ia juga menyentil harga tiket motor dari Kupang ke Rote yang mencapai Rp 250 ribu, belum termasuk boncengan.

Reputasi Baru di Usia ke-63: Gubernur Melki Ingin Bank NTT Jadi Jantung Ekonomi Rakyat

Sorotan terhadap layanan dasar semakin kuat dari Pendeta Ardy Lai, Ketua Klasis Lole. Ia menyebut jalan Oele–Suelain sepanjang 16 kilometer yang statusnya masih hutan jati dan rentan konflik klaim lahan. “Kami butuh sumur bor dan jalan layak. Soal Galian C, kami minta perhatian,” kata Pdt. Ardy.

Masalah transportasi juga dibahas. Karena larangan mengangkut penumpang dengan mobil pikap, warga meminta tambahan armada angkutan. “Mikrolet makin sedikit, sementara warga harus tetap bergerak,” keluh salah satu tokoh masyarakat.

Pada sektor kesehatan dan pendidikan, permintaan datang untuk mengalihkan pengadaan mobil ambulans ke mobil sekolah. “Ambulans banyak, tapi anak-anak susah ke sekolah,” ungkap seorang ibu pendeta.

Persoalan rekrutmen ASN pun disorot tajam. Banyak lulusan PGSD dan tenaga kesehatan yang tidak tertampung. “PPPK yang lolos banyak bukan orang Rote. Kami mohon diperjuangkan kuota untuk putra daerah,” kata Mama Pendeta Mery Sirah, Ketua Klasis Lobalain.

Pendeta Nani dari Klasis Rote Barat Laut bahkan menyebut kelangkaan BBM di SPBU Metina yang disebut habis, tapi ternyata masih bisa diakses oleh truk-truk milik aparat. Ia meminta sumur bor untuk kantor Klasis Luaholu dan mendesak agar suara masyarakat tentang infrastruktur dan tarif feri benar-benar ditanggapi.

Meriah di Mbay: Jalan Sehat, Zumba, dan Semangat Sinergi Bank NTT

Dari ujung meja, Simson Polin mendengarkan semua keluhan itu dengan saksama. Sesekali ia mencatat, sesekali menatap. “Ini semua adalah aspirasi murni dari bapa mama pendeta, suara sunyi dari masyarakat yang selama ini belum disuarakan,” ujar Simson. “Saya akan bawa semua ini ke rapat komisi, ke sidang fraksi, hingga ke paripurna DPRD NTT.”

Ia menjanjikan advokasi konkret, terutama terkait jalan, air bersih, perumahan pendeta, distribusi BBM, dan pendidikan anak-anak di Rote. “Kami perjuangkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kami demi rakyat,” kata Simson, penuh empati.

Di desa kecil ini, suara pendeta tak hanya menggemakan doa, tapi juga harapan dan perlawanan atas ketimpangan. Mereka menjadi corong masyarakat yang tak terdengar. Dan hari itu, untuk pertama kalinya, suara-suara sunyi dari selatan menggema hingga ke gedung parlemen di Kupang.*/Laurens Leba Tukan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement