Oleh : Julio Leba, SH, MH
(Lawyer & Legal Consultant, Specialist Investment, Banking and Insurance Bussines)
Ubi societas ibi ius, pernyataan bahasa latin yang bisa diterjemahkan bahwan hukum itu hadir, hidup dan berkembang di masyarakat sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Ini sejalan dengan pandangan Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) yang menekankan bahwa hukum itu tidak hanya yang tertulis dalam bentuk undang-undang namun ada juga yang tidak tertulis di masyarakat yang tetap membutuhkan pengaturan agar kehiduapn masyarakat bisa aman tenteram.
Di daerah Indonesia Timur pada umumnya setiap daerah memiliki minuman alkohol lokal dengan sebutan masing-masing. Kita mengenal Cap Tikus dari Manado, atau ada juga Arak Bali dari Provinsi Bali, kemudian ada juga Sopi dari daerah NTT. Sopi ini merupakan minuman beralkohol yang dibuat secara tradisional dan sudah turun temurun menjadi bagian tak terpisahkan dari adat istiadat masyarakat, simbol dari hubungan kekerabatan, menjadi penopang kehidupan ekonomi masyarakat di setiap daerah. Sopi ini berasal dari Bahasa Belanda yaitu Zoopje yang artinya alkohol cair. Salah satu sopi yang terkenal di NTT adalah moke yang berasal dari pulau Flores. Sebagian orang mengenalnya, Sopi. Misalnya saja Sopi Rote.
Sopi atau Moke sebenarnya ini adalah barang yang sama, minuman beralkohol yang disadap dari pohon lontar, hanya proses sulingnya yang membedakannya. Moke disuling dengan wadah periuk tanah liat dan uap hasil sulingnya dialirkan memakai batang bambu. Sedangkan Sopi disuling dengan gentong yang disambungkan dengan pipa. Keduanya sama-sama tinggi kadar alkoholnya (Belum berstandar secara pasti takaran alkoholnya).
Moke merupakan salah satu warisan budaya yang telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Minuman tradisional ini dihasilkan dari fermentasi dan penyulingan nira pohon lontar atau enau, yang kemudian menghasilkan cairan beralkohol dengan kadar bervariasi tergantung pada proses pengolahannya. Dalam kehidupan sosial masyarakat NTT, khususnya di Kupang, moke memiliki nilai simbolis yang kuat. Ia tidak hanya berfungsi sebagai minuman, melainkan juga sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial, memperkuat solidaritas, serta menjadi bagian penting dari berbagai ritual adat seperti pernikahan, musyawarah, dan penyambutan tamu.
Namun, belakangan ini muncul persoalan hukum terkait status produksi dan distribusi moke. Kepolisian Daerah (Polda) NTT melalui Kapolda menyatakan bahwa produksi dan peredaran moke dianggap ilegal karena tidak memenuhi ketentuan perizinan industri minuman beralkohol dan standar keamanan pangan. Pernyataan tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, karena di satu sisi terdapat kebutuhan untuk menegakkan hukum dan menjaga keselamatan masyarakat, sementara di sisi lain terdapat keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Kondisi ini menimbulkan dilema antara pelestarian tradisi dan kepatuhan terhadap hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Permasalahan dan Dampak Sosial
Permasalahan utama yang dihadapi dalam konteks ini adalah ketiadaan regulasi yang secara jelas mengatur produksi minuman tradisional seperti moke. Secara hukum, produksi minuman beralkohol diatur oleh berbagai peraturan, antara lain Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Regulasi tersebut mengharuskan setiap produsen minuman beralkohol untuk memiliki izin industri dan memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Dalam praktiknya, sebagian besar produsen moke di NTT masih menggunakan metode tradisional dan dilakukan secara rumahan tanpa izin resmi, sehingga secara hukum dapat dikategorikan sebagai produksi ilegal.
Dari sisi kesehatan dan keamanan pangan, memang terdapat potensi bahaya apabila proses produksi moke tidak memenuhi standar higienitas dan pengawasan kadar alkohol. Moke yang diolah secara sembarangan dapat mengandung zat berbahaya atau kadar alkohol yang terlalu tinggi, yang berisiko bagi konsumen. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah dan aparat penegak hukum mengambil langkah tegas.
Namun, pelarangan total terhadap moke dapat menimbulkan dampak sosial dan budaya yang cukup besar. Bagi masyarakat NTT, moke bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi simbol identitas dan kebanggaan daerah. Jika pelarangan dilakukan tanpa solusi alternatif, maka masyarakat dapat kehilangan salah satu unsur penting dalam kehidupan adatnya. Selain itu, kebijakan pelarangan yang bersifat represif juga berpotensi menimbulkan konflik sosial antara masyarakat lokal dengan aparat, karena dianggap tidak menghargai kearifan lokal.
Dari sisi ekonomi, ribuan keluarga di daerah pedesaan menggantungkan hidupnya dari produksi dan penjualan moke. Kegiatan ini menjadi sumber penghasilan utama terutama di daerah yang memiliki keterbatasan lapangan kerja. Oleh sebab itu, pelarangan tanpa kebijakan pendukung dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat dan meningkatkan angka kemiskinan.
Solusi dan Pendekatan Alternatif
Sebelum membahas terkait solusi alternatif yang bisa diambil oleh pemerintah, kita perlu belajar dari daerah lain yang sudah terlebih dahulu melegalisasikan minuman alkohol tradisonal mereka. Peneliti Center for Indonesia Policy Mercyta Jorsvinna mengatakan, melegalkan minuman beralkohol lebih rasional ketimbang melarangnya. Saat minuman menjadi legal pemerintah memberikan bentuk komitmen untuk mengatur peredaran dan konsumsi sopi. Sehingga, angka kekerasan dan kematian akibat mengonsumsi minuman alcohol oplosan bisa menjadi tanggung jawab pemerintah (Dalam hal pengawasan dan pengaturan). Pemerintah telah menyediakan kerangka hukum yang memungkinkan legalisasi minuman beralkohol tradisional dengan persyaratan tertentu:
Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021 membuka peluang investasi industri minuman keras di provinsi-provinsi tertentu, termasuk Bali dan Sulawesi Utara, dengan memperhatikan budaya dan kearifan lokal.
Pemerintah daerah kemudian menerbitkan aturan turunannya, seperti Pergub Bali No. 1 Tahun 2020 dan peraturan daerah di Sulawesi Utara (Perda Sulut No. 4/2014), yang mengatur tata kelola, produksi, dan peredaran minuman beralkohol khas daerah secara spesifik.
Produksi dan peredaran diawasi oleh instansi terkait seperti Bea Cukai dan BPOM untuk memastikan standar mutu dan keamanan produk. Legalisasi melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No. 1 Tahun 2020 bertujuan untuk melindungi, memelihara, dan memanfaatkan minuman khas Bali tersebut guna mendukung ekonomi berkelanjutan berbasis budaya. Pemerintah daerah mendorong hotel, restoran, dan usaha pariwisata untuk menyajikan arak Bali, mengurangi ketergantungan pada minuman impor.
Agar tradisi moke dapat tetap lestari tanpa bertentangan dengan hukum, diperlukan pendekatan kebijakan yang adaptif dan berbasis kearifan lokal. Pendekatan yang dimaksud tidak hanya menekankan pada aspek pelarangan, tetapi juga pada pembinaan, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat produsen. Beberapa solusi konkret dapat diuraikan sebagai berikut:
- Pembuatan Regulasi Khusus untuk Minuman Tradisional
Pemerintah daerah NTT dapat menginisiasi pembentukan peraturan daerah (Perda) yang secara khusus mengatur tentang produksi dan distribusi minuman tradisional seperti moke. Regulasi ini dapat memberikan dasar hukum bagi masyarakat adat atau kelompok produsen untuk memproduksi moke secara legal dengan tetap mempertahankan cara tradisional. Dalam regulasi tersebut, dapat diatur mengenai batasan kadar alkohol, mekanisme pengawasan, serta sistem perizinan berbasis komunitas. Dengan demikian, moke dapat diakui sebagai produk budaya yang sah secara hukum.
- Pembinaan dan Standarisasi Produksi
Dinas terkait, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Dinas Kesehatan, dapat berperan aktif memberikan pelatihan kepada para produsen moke terkait teknik fermentasi yang aman, penggunaan alat yang higienis, serta pengemasan yang sesuai standar. Pemerintah juga dapat membantu menyediakan fasilitas laboratorium sederhana untuk menguji kadar alkohol dan memastikan keamanan produk sebelum diedarkan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan mutu produk, tetapi juga mengurangi risiko kesehatan bagi konsumen.
- Legalisasi Melalui Koperasi atau UMKM
Produksi moke dapat dilegalkan melalui wadah koperasi atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan demikian, kegiatan produksi dan distribusi dapat terkoordinasi, terdata, serta memiliki tanggung jawab hukum yang jelas. Pemerintah dapat memberikan izin terbatas bagi kelompok yang memenuhi syarat, sehingga peredaran moke tetap terkontrol namun tidak menghapus keberadaannya dari kehidupan masyarakat.
- Labelisasi dan Branding Produk Lokal
Langkah strategis lain adalah menciptakan sistem labelisasi seperti “Moke Asli NTT” atau “Moke Tradisional Kupang” yang menandakan produk tersebut telah melewati proses verifikasi keamanan dan legalitas. Hal ini tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga meningkatkan nilai tambah bagi produsen lokal. Dalam jangka panjang, moke dapat dikembangkan sebagai produk unggulan daerah yang mendukung sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
- Kolaborasi dengan Akademisi dan Lembaga Penelitian
Perguruan tinggi dan lembaga penelitian lokal dapat berkontribusi melalui penelitian ilmiah mengenai proses produksi moke, kandungan kimianya, serta potensi pengembangan produk turunan. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan dasar ilmiah bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan dan standar mutu. Kolaborasi ini juga membuka peluang inovasi, seperti pengembangan moke dalam bentuk minuman fermentasi rendah alkohol yang aman untuk dipasarkan secara luas.
Penutup
Pelarangan terhadap produksi dan peredaran moke memang memiliki dasar hukum yang kuat, terutama dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, kebijakan yang bersifat total tanpa mempertimbangkan aspek sosial-budaya justru dapat menimbulkan persoalan baru. Moke merupakan bagian dari identitas masyarakat Nusa Tenggara Timur yang sarat dengan nilai-nilai sejarah, solidaritas, dan kebersamaan. Oleh karena itu, kebijakan yang ideal adalah kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara penegakan hukum dan pelestarian budaya.
Upaya legalisasi dan standarisasi produksi moke merupakan langkah realistis yang dapat diambil pemerintah daerah. Dengan memberikan ruang legal bagi produsen lokal melalui peraturan daerah, pembinaan, dan pengawasan, moke dapat menjadi produk yang tidak hanya aman dan sesuai hukum, tetapi juga bernilai ekonomi tinggi. Pendekatan yang berbasis partisipasi masyarakat dan kearifan lokal akan memastikan bahwa tradisi moke tidak hilang ditelan modernisasi, melainkan berkembang sebagai simbol kebanggaan daerah yang selaras dengan prinsip hukum dan kesehatan publik.
Dengan demikian, pelestarian moke bukan hanya tanggung jawab masyarakat adat semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, akademisi, dan seluruh masyarakat NTT untuk menjaga agar warisan budaya ini tetap hidup, aman, dan bermartabat di tengah dinamika hukum dan perkembangan zaman. Kita Perlu menjaga tradisi social yang sudah hidup ratusan tahun, namun juga tetap wajib mengatur dalam kerangka aturan untuk menjaga keseimbangan kehidupan semua warga masyarakat.(*)



Komentar