Johni Asadoma panggil para kepala sekolah untuk luruskan praktik pungutan yang dinilai memberatkan. “Jangan samaratakan semua orangtua,” katanya.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM — Sejumlah orangtua murid di Kota Kupang belakangan ini lebih sering mengerutkan dahi. Bukan hanya soal harga sembako yang melambung, tapi juga kabar tentang pungutan sekolah yang membengkak. Di SMA Negeri 5 Kupang, angka yang beredar mencapai Rp2,2 juta per siswa. Bagi sebagian warga, angka itu bukan sekadar nominal, ia menyayat realitas ekonomi yang tak merata.
Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Johni Asadoma, tak tinggal diam. Pada Rabu pagi (2/7/2025), ia mengundang seluruh kepala SMA dan SMK se-Kota Kupang ke Ruang Rapat Gubernur. Duduk berjajar rapi, para kepala sekolah tampak tegang, menyimak kalimat demi kalimat dari mantan Kepala Kepolisian Daerah NTT itu.
“Kalau mau pungut, jangan sama ratakan,” kata Johni, suaranya tegas tapi bernada empati. “Lihat latar belakang orangtua. Jangan semua dipukul rata. Harus lebih berempati kepada siswa-siswa kita.”
Suasana rapat menghangat saat Johni meminta klarifikasi langsung dari Kepala SMAN 5 Kupang, Veronika Wawo. Di hadapan forum, Veronika menyampaikan bahwa pungutan Rp2,2 juta tersebut telah melalui mekanisme rapat, sosialisasi, dan bahkan disetujui 395 orangtua siswa.
Namun Johni mengernyit. Ia tak membantah legalitas prosesnya, tapi menyoal sensitivitas sosial dari kebijakan itu. “Pungutan ini besar dan berat. Apalagi untuk orangtua yang ekonominya lemah. Ini yang membuat publik ribut,” katanya, merujuk pada gelombang respons di media dan masyarakat.
Pertemuan itu berlangsung serius. Wagub Johni membeberkan temuan-temuan Ombudsman NTT terkait pungutan liar di berbagai SMA, SMK, dan Madrasah. Ia menggarisbawahi pentingnya prinsip keadilan dalam kebijakan pendidikan: bukan sekadar legal, tapi juga etis.
“Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama,” katanya. “Tapi jangan sampai sekolah justru menjadi beban tambahan bagi keluarga miskin.”
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Ambrosius Kodo, yang turut hadir, mencatat semua masukan Wakil Gubernur. Diskusi berkembang hingga soal rasionalisasi biaya operasional, transparansi penggunaan dana, dan perlunya kebijakan afirmatif bagi siswa dari keluarga tidak mampu.
Wagub Johni menegaskan bahwa pertemuan ini bukan sidak atau sidang perkara, melainkan panggung refleksi dan koreksi. “Ini tadi sifatnya mengumpulkan informasi, supaya bisa kita olah dan ambil kebijakan yang tepat,” ujarnya di akhir pertemuan.
Namun, bagi sebagian kepala sekolah yang hadir, ini bukan sekadar forum klarifikasi. Ini adalah peringatan halus bahwa dalam iklim demokrasi yang makin kritis, suara publik bisa mengubah arah kebijakan, bahkan dari ruang kelas ke ruang rapat gubernuran.*/Baldus Sae/Laurens Leba Tukan
Komentar