KISOL,SELATANINDONESIA.COM – Lorong itu sunyi, hanya berderak pelan oleh langkah sepatunya. Emanuel Melkiades Laka Lena berhenti sejenak di depan ruang kelas berlantai semen, menyapu pandangan ke jendela tua yang catnya mulai pudar. Tiga puluh enam tahun lalu, ia pernah duduk di bangku-bangku kayu di balik jendela itu, belajar keras sembari menahan rindu pada rumah. Pagi itu, Minggu (7/9/2025), Gubernur Nusa Tenggara Timur itu kembali ke Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur, sekolah menengah yang membentuk jalan hidupnya.
Ia bukan sekadar tamu undangan di perayaan 70 tahun Sanpio. Melki datang sebagai seorang alumni yang pulang, menelusuri lorong-lorong penuh kenangan, dan menyapa kembali masa mudanya yang ditempa dengan disiplin, doa, dan kerja keras.
Di halaman utama, bunyi gong kecil dan riuh sorak anak-anak menyambut rombongan alumni. Melki berjalan di tengah barisan, diapit sahabat-sahabat lama dan generasi Sanpio yang lebih muda. Tarian Ja’i berkumandang, mengiringinya menuju aula besar yang sudah dipenuhi ratusan wajah penuh nostalgia. Suasana berubah hangat, seolah Kisol sedang merayakan kepulangan anak-anaknya yang tersebar ke berbagai penjuru negeri.
Di podium, Melki berdiri dengan nada suara yang tenang, namun bergetar oleh emosi. “Sanpio adalah kawah candradimuka yang tak pernah padam,” ujarnya. Kalimat itu disambut tepuk tangan panjang. Ia mengingatkan para alumni tentang lima pilar pendidikan yang diwariskan seminari ini yaitu sanctitas (kekudusan), scientia (pengetahuan), sanitas (kesehatan), sapientia (kebijaksanaan), dan solidaritas. “Nilai-nilai inilah yang membuat kita tegak, meski hidup membawa kita ke lintasan yang berbeda-beda,” katanya.
Ia mengajak para siswa yang masih belajar di SMP maupun SMA Kisol agar tak sekadar mengejar angka rapor, melainkan menjadikan nilai hidup sebagai kompas. “Kisol ini besar bukan hanya karena jumlah alumninya,” kata Melki, “melainkan karena keberanian alumninya berpihak pada kebenaran dan orang-orang yang terpinggirkan.”
Tepuk tangan kembali bergemuruh. Di barisan depan, tampak wartawan senior Richard Bagun, praktisi hukum internasional Aleks Jemadu, Hakim Mahkamah Konstitusi Inosensius Samsul, hingga Bupati Manggarai Herry Nabit, ikut mengangguk. Bagi mereka, ucapan Melki bukan sekadar sambutan pejabat, melainkan gema dari pengalaman bersama sebagai anak Sanpio.
Praeses Seminari Kisol, Romo Ferry Warman, menyambut hangat kepulangan para alumni. “Kehadiran mereka adalah sukacita besar, bukan hanya karena nostalgia, tetapi karena kontribusi yang terus mengalir,” ujarnya.
Sejak berdiri pada 8 September 1955, Seminari Pius XII Kisol telah menorehkan jejak panjang dalam sejarah pendidikan Katolik di Nusa Tenggara Timur. Dari lorong-lorong sunyi di tengah perbukitan Manggarai Timur ini lahir 6.618 alumni, enam di antaranya menjadi uskup, 320 imam, selebihnya awam yang mewarnai ruang publik: guru, wartawan, politisi, pengacara, dokter, hingga pemimpin daerah. Sanpio bukan sekadar sekolah; ia adalah rahim yang terus melahirkan kader untuk gereja, masyarakat, dan bangsa.
Kini, di usianya yang ke-70, sejarah itu menemukan simbolnya pada seorang anak Kisol yang memimpin provinsi. Emanuel Melkiades Laka Lena berdiri di panggung perayaan, bukan hanya sebagai Gubernur NTT, tetapi juga sebagai bukti hidup dari benih yang ditanam Sanpio puluhan tahun lalu.
Bagi Melki, kembali ke Kisol adalah ziarah batin. Ia menelusuri lorong yang pernah membentuk karakternya, lalu mengajak generasi baru untuk menjadikan nilai sebagai pegangan hidup. Bagi Sanpio, kepulangan Melki adalah pengingat bahwa sekolah di pelosok Manggarai Timur ini tetap relevan, karena alumninya tak berhenti menorehkan jejak di panggung nasional.
Dan ketika senja menutup perayaan, denting lonceng kapel menggema ke seluruh kompleks. Lorong-lorong tua itu kembali hening, menyimpan langkah para alumni yang pulang. Tapi gema kata-kata sang gubernur tetap tertinggal: Kisol ini besar bukan hanya karena jumlah alumninya, melainkan karena keberpihakan mereka pada kebenaran.*/Aven/Laurens Leba Tukan
Komentar