Putusan PN Oelamasi soal tanah YAPENKAR memicu silang sengketa batas Kota dan Kabupaten Kupang. Kementerian sudah tegas, tapi pengadilan justru menafsir lain.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Suasana ruang lantai empat Gedung Rektorat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang (UNWIRA) di kawasan Penfui siang itu lebih tegang dari biasanya. Di bawah langit-langit aula Santo Paulus, Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus (YAPENKAR) menggelar konferensi pers, membentangkan peta dan dokumen hukum sambil menggugat satu hal: kejelasan hukum atas sebidang tanah yang sudah mereka garap selama lebih dari empat dekade.
“Ini bukan hanya soal lahan. Ini soal masa depan pendidikan tinggi di NTT,” ujar Pater Dr. Ubaldus Djonda, SVD., M.A., Ketua Pengurus YAPENKAR, membuka konferensi pers dengan suara tenang namun mengandung nada kecewa.
Masalah bermula dari putusan Pengadilan Negeri Oelamasi dalam perkara tanah YAPENKAR melawan Drs. Andreas Sinyo Langodai. Dalam putusan Nomor 30/Pdt.G/2025/PN Olm, majelis hakim menyatakan Pengadilan Negeri Oelamasi tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Alasannya? Lokasi objek sengketa dianggap tidak berada dalam wilayah Kabupaten Kupang.
Putusan ini membuat kuasa hukum YAPENKAR, Emanuel Pasar, geleng-geleng kepala. “Pengadilan menyatakan tidak berwenang karena alasan kompetensi relatif, padahal secara administratif tanah itu ada di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang,” katanya. YAPENKAR, yang sudah mengantongi SK Menteri Dalam Negeri tahun 1982 dan membayar ganti rugi kepada 14 penggarap, merasa didiskreditkan.
Pater Egidius Taimenas, SVD, yang dipercaya sebagai Kuasa Khusus urusan tanah, tak menutupi kegeramannya. Ia menyebut putusan tersebut mengabaikan prinsip-prinsip pemeriksaan alat bukti di lapangan. “Kejelasan wilayah seharusnya menjadi pijakan awal, bukan ditafsir sepihak dalam ruang sidang,” ujarnya.
Untuk memperkuat posisi, YAPENKAR menghadirkan pejabat dua pemerintah: Kota dan Kabupaten Kupang. Hasilnya? Kedua pihak kompak menyatakan objek yang disengketakan memang berada di wilayah Kabupaten Kupang.
“Permendagri Nomor 46 Tahun 2022 menyatakan wilayah itu bagian dari Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang,” tegas Pauoto W. Neno, Kepala Bagian Hukum Setda Kota Kupang.
Camat Kelapa Lima, kecamatan yang wilayahnya berbatasan langsung turut menegaskan hal serupa. Begitu pula Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Kupang, Nofriyanto Amtiran. Ia bahkan mengutip Permendagri Nomor 45 dan 46 Tahun 2022 sebagai dasar formal bahwa batas antara Kota Kupang dan Kabupaten Kupang tidak lagi menyisakan area abu-abu. “Tidak ada wilayah yang tidak bertuan,” katanya.
Namun putusan pengadilan berkata lain. Dalam sudut pandangnya, batas administratif menjadi kabur. “Seolah-olah peta dan peraturan tinggal arsip di rak, bukan dasar pengambilan keputusan hukum,” kritik Pater Egidius Taemenas, SVD, dari jajaran YAPENKAR.
YAPENKAR menganggap keputusan ini berisiko menjadi preseden buruk. Tidak hanya merugikan pihak mereka sebagai pengelola pendidikan, tetapi juga bisa memicu ketidakpastian batas wilayah di banyak titik perbatasan kota-kabupaten lain di NTT.
Karena itu, mereka menyatakan akan menempuh upaya hukum lanjutan. “Kami akan mengajukan keberatan dan meminta dukungan pemerintah daerah untuk menyediakan data-data sebagai alat bukti tambahan,” ujar Pater Yasinto. “Kami ingin pengadilan tidak hanya berpegang pada eksepsi tergugat, tapi juga pada fakta objektif dan regulasi yang ada.”
Konferensi pers itu berakhir tanpa sorak-sorai, hanya dengan tatapan serius para undangan dari instansi pemerintahan dan media. Tapi satu pesan jelas tersirat: ketika peta wilayah tidak lagi sejalan dengan putusan pengadilan, yang dipertaruhkan bukan cuma tanah melainkan keadilan itu sendiri.*/Bosco/Laurens Leba Tukan
Komentar