Oleh : Herman Hayong
Pemilu langsung merupakan manifestasi konkret dari prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dalam perspektif demokrasi modern, pemilihan langsung dipandang sebagai mekanisme legitimasi politik paling otentik karena rakyat berperan langsung menentukan pemimpinnya. Joseph Schumpeter, dalam Capitalism, Socialism and Democracy, mendefinisikan demokrasi sebagai prosedur kompetitif untuk merebut kekuasaan melalui suara rakyat.
Namun, sebagaimana diingatkan Schumpeter sendiri, demokrasi prosedural tidak otomatis melahirkan pemerintahan yang efektif dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, pemilu langsung, baik di tingkat nasional maupun daerah, justru memperlihatkan ketegangan struktural antara demokrasi elektoral, otonomi daerah, dan arah pembangunan nasional.
Tulisan ini berargumen bahwa persoalan utama bukan terletak pada pemilu langsung sebagai mekanisme demokrasi, melainkan pada lemahnya desain filosofis dan konstitusional yang mengintegrasikan demokrasi elektoral dengan visi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Visi Presiden dan Visi Kepala Daerah: Fragmentasi Legitimasi dalam Negara Kesatuan
Pemilu langsung melahirkan apa yang oleh Juan J. Linz disebut sebagai dual legitimacy. Presiden dan kepala daerah sama-sama memperoleh mandat langsung dari rakyat, dengan visi dan misi yang disusun berdasarkan konteks politik dan elektoral masing-masing.
Dalam kerangka otonomi daerah, sebagaimana dikembangkan oleh teori decentralization (Rondinelli, Cheema), desentralisasi bertujuan mendekatkan pelayanan publik dan mempercepat pembangunan. Namun, ketika otonomi tidak diletakkan dalam satu kerangka normatif nasional yang kuat, ia berubah menjadi fragmentasi kebijakan.
Hannah Arendt mengingatkan bahwa politik tanpa orientasi pada common good akan terjebak pada kepentingan partikular. Dalam konteks ini, visi kepala daerah sering kali lebih bersifat elektoral-lokal dan jangka pendek, sementara visi Presiden berorientasi nasional dan strategis. Ketegangan ini menunjukkan bahwa otonomi daerah di Indonesia belum sepenuhnya dipahami sebagai “desentralisasi dalam negara kesatuan”, melainkan sebagai ruang kompetisi kekuasaan yang relatif otonom dari agenda nasional. Akibatnya, visi pembangunan kehilangan koherensi filosofis dan kontinuitas historis.
Ketidaksinkronan Kebijakan dan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Dalam teori pembangunan klasik, Gunnar Myrdal memperingatkan tentang cumulative causation, yakni kecenderungan pembangunan untuk terkonsentrasi pada wilayah yang telah maju, sementara wilayah tertinggal semakin terpinggirkan. Ketidaksinkronan kebijakan pusat dan daerah mempercepat proses ini.
Ketika perencanaan pembangunan nasional tidak memiliki daya ikat normatif yang kuat terhadap daerah, maka pembangunan menjadi sangat bergantung pada kapasitas politik, fiskal, dan kepemimpinan lokal. Hal ini menciptakan apa yang disebut Amartya Sen sebagai development inequality, bukan hanya dalam pendapatan, tetapi juga dalam akses terhadap peluang hidup yang bermakna.
Pemilu langsung, dalam situasi ini, cenderung menghasilkan siklus kebijakan yang terputus-putus (policy discontinuity). Setiap pergantian kepala daerah membawa perubahan prioritas, bahkan pembatalan kebijakan sebelumnya, tanpa mempertimbangkan kesinambungan pembangunan nasional. Negara kehilangan kemampuan untuk bertindak sebagai developmental state yang terkoordinasi.
Pembangunan Sumber Daya Manusia: Antara Politik Jangka Pendek dan Keadilan Antarwilayah
Amartya Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan manusia (development as freedom). Pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia merupakan inti dari pembangunan, bukan sekadar instrumen.
Namun, pembangunan SDM menuntut kebijakan jangka panjang, stabil, dan lintas rezim. Dalam sistem pemilu langsung yang sangat kompetitif, kebijakan SDM sering dikalahkan oleh proyek-proyek yang bersifat simbolik.
Pembangunan Sumber Daya Manusia: Antara Politik Jangka Pendek dan Keadilan Antarwilayah
Amartya Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan manusia (development as freedom). Pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia merupakan inti dari pembangunan, bukan sekadar instrumen.
Namun, pembangunan SDM menuntut kebijakan jangka panjang, stabil, dan lintas rezim. Dalam sistem pemilu langsung yang sangat kompetitif, kebijakan SDM sering dikalahkan oleh proyek-proyek yang bersifat simbolik, cepat terlihat, dan menguntungkan secara elektoral.
Ketimpangan kualitas SDM antara desa dan kota, serta antarwilayah, mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin equality of opportunity. John Rawls, dalam A Theory of Justice, menegaskan bahwa ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung. Dalam konteks Indonesia, ketimpangan SDM justru memperlemah kelompok dan wilayah yang telah tertinggal secara struktural.
Pemilu langsung, tanpa koreksi institusional, berpotensi memperdalam ketidakadilan antargenerasi dan antarwilayah.
Menata Ulang Pembangunan Nasional: Konstitusi sebagai Kompas Moral dan Arah Jangka Panjang
Persoalan mendasar yang dihadapi Indonesia adalah absennya constitutional political economy yang secara tegas mengarahkan pembangunan nasional lintas pemerintahan. Friedrich Hayek mengingatkan bahwa kebijakan yang sepenuhnya diserahkan pada proses politik jangka pendek akan kehilangan rasionalitas jangka panjang.
Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pembangunan nasional melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bersifat fundamental. Arah pembangunan nasional harus ditegaskan sebagai mandat konstitusional, bukan sekadar visi politik Presiden atau kepala daerah.
Pembangunan sumber daya manusia dan perlindungan lingkungan hidup perlu ditempatkan sebagai constitutional values, sebagaimana gagasan sustainable development yang dikembangkan oleh Brundtland Commission. Dengan demikian, demokrasi elektoral tidak berdiri sendiri, tetapi beroperasi dalam kerangka etika pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Dari Demokrasi Prosedural ke Demokrasi Substantif
Pemilu langsung adalah syarat perlu bagi demokrasi, tetapi bukan syarat cukup bagi pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Tanpa integrasi filosofis dan konstitusional antara demokrasi, otonomi daerah, dan pembangunan nasional, pemilu langsung berisiko melahirkan apa yang Alexis de Tocqueville sebut sebagai tyranny of the present—kekuasaan yang tunduk pada kepentingan sesaat.
Tantangan Indonesia ke depan adalah mentransformasikan demokrasi prosedural menjadi demokrasi substantif: demokrasi yang tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga menjamin arah pembangunan manusia dan lingkungan secara adil, berkelanjutan, dan lintas generasi.(*)












Komentar