WAIBAKUL,SELATANINDONESIA.COM — Aula Kantor Bupati Sumba Tengah mendadak riuh oleh percakapan lintas sektor pagi itu, Rabu (2/7/2025). Dari kepala dinas, staf teknis lintas instansi, hingga kepala sekolah dan komunitas belajar, semua duduk satu forum, Dialog Multi Sektor Program Sekolah Aman. Di tengah pertemuan yang berlangsung cair dan egaliter itu, Bupati Sumba Tengah, Drs. Paulus S. K. Limu, tampil sebagai tuan rumah yang bicara lantang tentang urgensi kolaborasi untuk masa depan pendidikan di daerah yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
“Kolaborasi adalah kunci. Kita semua melayani demi pendidikan dan kualitas SDM Sumba Tengah,” ujar Paulus Limu tegas, membuka acara yang sekaligus menandai peluncuran resmi program Sekolah Aman Inklusif di wilayahnya.
Program ini digawangi oleh YAPPIKA-ActionAid, sebuah organisasi masyarakat sipil yang selama dua tahun terakhir membina sejumlah sekolah di Sumba Tengah. Tahun pertama mereka membenahi sanitasi dan infrastruktur sekolah; tahun kedua fokus pada penguatan literasi dan numerasi siswa. Namun di luar itu semua, ada gagasan yang lebih besar yang ingin diwujudkan: menjadikan sekolah sebagai ruang aman, ramah anak, dan inklusif bagi semua.
“Kami bukan pemilik program. Pemiliknya adalah komunitas sekolah, warga, dan siswa. Kami hanya fasilitator dan pendamping,” kata Hardiyanto, Senior Program Officer YAPPIKA-ActionAid, kepada peserta dialog.
Dalam kegiatan ini, hadir pula Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga; staf BPBD, Bappelitbangda, dan Dinas PUPR; serta Kepala SDN Dameka dan SDN Wee Nibau, dua sekolah dasar yang menjadi lokasi pilot program. Di sanalah percakapan pendidikan bergulir dari teori ke praktik, dari dokumen ke tindakan nyata.
Bupati Paulus Limu menyambut baik kontribusi YAPPIKA dan mitra lokal seperti Yayasan Bahtera, yang dinilainya telah memberi sumbangsih nyata. Meski berskala kecil, kata dia, kerja-kerja seperti ini punya daya ubah sosial yang besar. Terutama di daerah seperti Sumba Tengah, tempat 90 persen masyarakatnya hidup sebagai petani dan mayoritas belum mengecap pendidikan formal.
“Tantangan kami adalah kualitas SDM. Ini tidak bisa diatasi oleh pemerintah saja. Kita perlu gotong royong semua pihak,” ujar Paulus.
Program Sekolah Aman Inklusif ini juga menyisipkan pendekatan perlindungan anak, pendidikan tanggap bencana, hingga penguatan partisipasi warga dalam urusan sekolah. Dalam konteks Sumba Tengah yang rentan terhadap bencana dan ketimpangan akses pendidikan, pendekatan ini menjadi semacam napas baru yang menyegarkan iklim belajar-mengajar.
“Anak-anak harus merasa aman, didengar, dan dilibatkan dalam urusan pendidikan mereka sendiri,” ujar seorang guru dari SDN Wee Nibau di sela diskusi kelompok.
Di balik layar, program ini juga mendorong pergeseran budaya: dari pendekatan serba top-down ke pola partisipatif yang melibatkan warga dan komunitas. Di tanah di mana petani lebih banyak bicara soal musim tanam dan air, percakapan soal literasi dan hak anak kini mulai tumbuh pelan tapi pasti.
Dan bagi Paulus Limu, ini bukan sekadar proyek. Ini adalah ikhtiar jangka panjang untuk memastikan bahwa anak-anak Sumba Tengah tidak sekadar bersekolah, tapi merasa aman dan dihargai saat belajar.*/ProkopimSTeng/Laurens Leba Tukan
Catatan Redaksi:
Program Sekolah Aman Inklusif di Sumba Tengah merupakan bagian dari inisiatif nasional yang didorong oleh berbagai organisasi masyarakat sipil dan mitra pembangunan. Kabupaten ini menjadi salah satu wilayah percontohan untuk pendekatan kolaboratif lintas sektor dalam membenahi sistem pendidikan dasar.
Komentar