BAJAWA,SELATANINDONESIA.COM – Dalam udara dingin dataran tinggi Mataloko, Gubernur Nusa Tenggara Timur Emanuel Melkiades Laka Lena menapakkan kaki di antara lanskap hijau yang menyimpan panas dalam perut buminya. Selasa siang, (15/7/2025), Gubernur Melki mengunjungi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko di Desa Ulubelu, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Proyek yang lama terbengkalai dan sempat menjadi buah bibir karena masalah sosial-lingkungan.
“Ini bukan kunjungan terakhir,” tegas Gubernur Melki di hadapan jajaran PT PLN dan pemerintah kabupaten yang turut mendampingi, termasuk Bupati Ngada Raimundus Bena dan Ketua DPRD Kabupaten Ngada Romy Juji. Ia menekankan pentingnya menghindari “catatan buram” dari masa lalu, yang menyoroti kerusakan lingkungan, ketidakjelasan mekanisme bagi hasil, hingga program CSR yang mandek.
Mataloko menyimpan kisah lama tentang panas bumi yang belum selesai dikelola dengan sejuk. Sejak proyek ini digagas lebih dari satu dekade lalu, suara masyarakat sekitar sempat terbelah. Ada yang berharap listrik dan lapangan kerja, namun tak sedikit pula yang khawatir kehilangan lahan, air, dan warisan ekologis.
Gubernur meminta agar teknologi yang digunakan di Mataloko adalah “yang terbaik” dan memastikan manfaat riil bagi warga sekitar. “Kami maunya masyarakat dengan proyek ini tetap dapat manfaat, tidak ada hal-hal yang merusak lingkungan. CSR-nya jelas, bagi hasilnya juga harus bagus,” kata mantan anggota DPR RI ini.
Setelah meninggalkan lokasi panas bumi, Gubernur Melki dan rombongan bergeser ke Kampung Doka, Desa Radabata. Di sana, di antara tiang-tiang kayu rumah adat, ia disambut tarian Ja’i masal dan upacara adat Ka Sa’o oleh masyarakat Suku Gisi Azi. Suasana berubah menjadi sakral dan haru: warga, tokoh adat, dan pemerintah bersatu dalam syukuran atas selesainya pembangunan 24 rumah adat (Sa’o) suku Gisi Azi.
“Ini bukan sekadar rumah. Ini rumah asal, tempat hidup, tempat sejarah, tempat jiwa orang Ngada,” ujar Gubernur Melki dalam sambutannya. Ia memuji keteguhan masyarakat adat menjaga warisan budaya, di tengah dunia yang makin berlari cepat.
Bagi masyarakat Ngada, rumah adat bukan hanya bangunan fisik, melainkan ruang spiritual dan kultural yang mengikat masa lalu dan masa depan. Maka saat pemerintah provinsi hadir di tengah mereka, tidak semata karena proyek atau program, tetapi juga karena penghormatan terhadap akar identitas.
Leonardus Bhara, tokoh adat Gisi Azi, menganggap kunjungan ini sebagai pengakuan penting: “Pemerintah hadir bukan hanya melihat proyek, tapi juga melihat kami masyarakat adat yang menjaga sejarah hidup kami.”
Dalam satu hari, Melki Laka Lena menyusuri dua dunia: panas bumi yang menjanjikan listrik dan energi masa depan, serta rumah adat yang menyimpan nilai leluhur. Di antara keduanya, ia mencoba menempatkan kebijakan publik yang tak hanya mengejar daya, tapi juga menjaga daya hidup warga.*/ Baldus Sae/Laurens Leba Tukan
Komentar