GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Eksbis
Beranda / Eksbis / Koperasi Merah Putih : Antara Harapan Besar dan Risiko Gagal Total

Koperasi Merah Putih : Antara Harapan Besar dan Risiko Gagal Total

Julio Leba,SH, MH

Oleh : Julio Leba, SH, MH

(Lawyer & Legal Consultant, Specialist Investment, Banking and Insurance Bussines)

Problem kemiskinan klasik yang terjadi di Indonesia saat ini sudah sangat mengakar, terlebih seharusnya desa yang menjadi rumah bagi masyarakat untuk bisa tetap hidup layak justru semakin parah dihantui kemiskinan. Berdasarkan teori Chambers lingkaran kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor berikut : pendapatan rendah, pendidikan rendah, kelamahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Petani miskin yang berada di desa memiliki faktor-faktor tersebut yang membuat mereka sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan (poverty trap). Petani yang memiliki modal rendah terpaksa harus berhutang kepada tengkulak. Hal ini menyebabkan posisi tawar petani rendah dan cenderung hanya bisa pasrah menerima harga dari tengkulak. Modal yang rendah membuat petani terpaksa berhutang lagi untuk menutupi biaya produksi. Sistem ini terus berlangsung sehingga tidak memungkinkan petani untuk keluar dari jerat kemiskinan. Inilah latarbelakang utama lahirnya terobosan Koperasi Merah Putih.

Satu lagi gebrakan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo yang menarik adalah Koperasi Merah Putih. Sesuai Instruksi Presiden No 9 tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Des/Kelurahan Merah Putih yang ditandatangani Presiden Prabowo pada 27 Maret 2025 menjelaskan bahwa pemerintah hendak mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahtraan rakyat dimulai dari Desa. Kemandirian ekonomi desa akan membuat masyarakat bertumbuh, semua sector akan berangsur membaik dan juga hal ini akan berujung pada ketahanan pangan & peningkatan taraf hidup masyarakat. Koperasi Merah Putih datang dengan konsep besar untuk peningkatan perekonomian desa dan memutuskan rantai ketergantungan terhadap rentenir. Dan juga tentunya pemerintah berupaya agar hasil-hasil pertanian bisa bergerak cepat dalam transaksi jual beli di level masyarakat desa. Setidaknya ada 7 program unit strategis yang akan dibangun oleh Koperasi Merah Putih :

  1. Kantor koperasi sebagai sentrat bisnis
  2. Pengadaan sembako untuk ketahanan pangan
  3. Unit Simpan Pinjam untuk putaran ekonomi
  4. Klinik desa untuk Kesehatan masyarakat
  5. Apotik desa sebagai pengobatan masyarakat
  6. Pergudangan (cold storage) untuk penyimpanan hasil panen
  7. Logistik desa untuk pengiriman (Mobilisasi hasil panen)

Program ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, setidaknya setiap desa membutuhkan Rp 2 sampai Rp 5 miliar, dengan demikian jika ditargetkan akan ada 80.000 koperasi pada saat launching program di tanggal 12 Juli 2025 nanti maka bakalan ada dana sebesar Rp 400 triliun yang harus dianggarkan pemerintah kepada Koperasi Merah Putih. Pertanyaannya adalah dari mana dana sebanyak itu akan dihadirkan? Bukannya saat ini pemerintah sedang mencanangkan efisiensi untuk semua sector. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa modal awal untuk memulai Koperasi Merah Putih adalah berasal dari pinjaman untuk koperasi yang akan dikucurkan oleh Himpunan Bank Negara (Himbara) dengan skema pelunasan selama 5 sampai 10 tahun dengan bunga subsidi. Secara teknis penyaluran dalam hal ini bank akan melakukan verifikasi terlebih dahulu, kebutuhan desa dari unit bisnis yang akan dijalankan apakah sudah sesuai atau belum, jika memang memenuhi standard baru bisa diproses pencairan.

Empat Nyali, Satu Arah: Umbu, Amandio, Danny Ferdito, dan Kingstone Menggeliatkan Indonesia di Arena Drift Dunia

Kekwatiran saat ini muncul karena beberapa kagagalan program sejenis di masa lalu, berikut beberapa terobosan sejenis yang dulu digaungkan pemerintah dan swasta juga namun hasilnya gagal total

  1. Kegagalan masa pemerintahan orde baru melalui Inpres no 4 tahun 1984 tentang Koperasi Unit Desa yang kemudian justru mati suri
  2. Kasus Koperasi Simpan Pinjam alias KSP Indosurya Cipta yang menggelapkan dana 23.000 nasabah sebesar Rp 103 triliun
  3. Kasus KSP Sejahtra Bersama yang merugikan 186.000 nasabah dengan kerugian mencapai Rp 8,8 triliun
  4. Kasus KSP lima Garuda yang gagal bayar dana sebesar Rp 400 miliar kepada 500 nasabah

Dengan bayang-bayang masa lalu dimana sejumlah koperasi yang dijalankan oleh pihak swastra justru menambah citra buruk bagi koperasi itu sendiri, masyarakat semakin resah dengan adanya badan usaha koperasi. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah berat bagi pemerintah, sejauh mana pemerintah bisa meyakinkan pihak masyarakat dan juga pihak terkait tentang pelaksanaan Kopdes Merah Putih akan berjalan transparan dan lancar.

Dari sejumlah kasus kegagalan koperasi di masa lalu ada beberapa poin penting untuk menjadi pelajaran bagi semua pihak,

  1. Koperasi harus dibentuk dengan semangat gotong royong dan kepemilikan bersama. Inilah roh dari Koperasi itu sendiri yang membuat semua anggotanya bisa bergandengan tangan membangun Koperasi. Semua kegagalan dari cerita masa lalu adalah karena koperasi dibentuk dengan skema top-down atau dari atas ke bawah. Secara permodalan ditopang dari atas baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, hal ini menyalahi spirit koperasi itu sendiri. Semestinya koperasi dibangun dengan semangat dari bawah ke atas, yang mana itu datang dari rasa memiliki semua anggota, saling menopang dan bersama mencapai tujuan kesejahtraan. Hal inilah yang tidak terlihat dari beberapa kasus kegagalan di masa lampau, oleh karena itu pemerintah sebaiknya melakukan uji coba terlebih dahulu, lakukan dengan skema lama sebagaimana koperasi itu secara natural bertumbuh. Setelah menemukan pola yang benar, maka program ini bisa dijalankan secara nasional dengan melibatkan dana yang sangat besar.
  2. Alasan mendasar kedua adalah kesiapan sisi sumber daya manusia di desa yang menjadi pengurus koperasi. Tingkat pemahaman yang rendah, minim pengalaman dan rendahnya kemauan belajar para anggota akan membuat pengelolaan koperasi menjadi sia-sia saja. Belajar dari hal ini pemerintah harus menyiapkan secara bertahap pihak pengawas untuk menjalankan koperasi, hal ini dibekali secara berkelanjutan sehingga koperasi bukan saja menjadi ajang coba-coba.
  3. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dari semua pihak, baik pihak pelaksana koperasi maupun pemerintah itu sendiri. Belajar dari masa dulu maka hal ini tidak boleh dibiarkan lagi, karena terdapat sejumlah dana besar yang disiapkan negara untuk menjalankan program ini. Apakah program ini rawan terhadap Tindakan korupsi? Sangat rentan, perlu koordinasi langsung dengan pihak KPK maupun apparat penegak hukum lainnya untuk menjalankan fungsi pengawasan. Hal mendasar yang diresahkan adalah [rogram ini justru menjadi ladang korupsi oknum tertentu.

Kita harus kembali kepada esensi dari koperasi itu sendiri, yakni bertumbuh secara organik dari bawah atas dasar kebutuhan Bersama. Koperasi yang tumbuh secara organik, dengan memperhatikan partisipasi aktif dari anggota, akan lebih cepat berkembang dan tidak tergantung pada kebijakan atau modal yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai anggota. Sebagai langkah nyata, pemerintah perlu memperkenalkan program yang lebih fokus pada pemberdayaan koperasi sektoril, yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Itulah bagian awal sebagai langka ujicoba program, yang mana ini disesuaikan dengan keunggulan dan cirikhas setiap daerah. Pendekatan yang berbasis pada kearifan lokal dan partisipasi anggota, akan lebih efektif dalam membangun koperasi yang sukses ke depannya. Ekonomi masyarakat desa harus dibangun dari rasa kepemilikan mereka, tentunya atas keinginan mendasar untuk kesejahtraan warga desa secara Bersama-sama. Selamat merayakan hari koperasi untuk kita semua, mari bangun Indonesia dari Desa.(*)

Dari Peluh Umat, Berdirilah Rumah Bunda Selalu Menolong di Kambajawa

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement