GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Ekonomi
Beranda / Ekonomi / Ketika Iklim Bicara, Negara Masih Menghitung Angka

Ketika Iklim Bicara, Negara Masih Menghitung Angka

Acara konsultasi publik SNDC (Second Nationally Determined Contribution) yang berlangsung di Jakarta, Kamis (23/10/2025) Foto: Vania/ARUKI

Komitmen SNDC 2.0 Dinilai Belum Jawab Tuntutan Keadilan Iklim

JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM — Pemerintah Indonesia meluncurkan proses konsultasi publik untuk Second Nationally Determined Contribution (SNDC) di Jakarta, Rabu (23/10/2025). Dokumen SNDC 2.0 ini merupakan pembaruan komitmen nasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, sebagaimana diamanatkan oleh Paris Agreement dan Decision 1/CP.21, yang mewajibkan setiap negara memperbarui target iklimnya setiap lima tahun.

SNDC menjadi bagian dari strategi jangka panjang Indonesia menuju Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), yang menargetkan pengendalian kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celsius.

Namun, kalangan masyarakat sipil menilai komitmen iklim terbaru ini belum sepenuhnya mencerminkan semangat keadilan iklim dan partisipasi publik yang bermakna. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai penyusunan SNDC masih berorientasi pada pendekatan teknokratis dan manajerial, bukan pada perubahan struktural yang dibutuhkan untuk menjawab akar persoalan krisis iklim.

“Alih-alih menempatkan krisis iklim sebagai persoalan keadilan, dokumen SNDC masih diperlakukan sebagai tantangan pembangunan yang harus dikelola secara teknokratis,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Boy Jerry Even Sembiring dalam keterangan tertulis yang diterima SelatanIndonesia.com, Kamis (23/10/2025).

Melki Laka Lena dari Ledalero: Menyalakan Terang OVOP di Tanah Filsafat

“Pendekatan ini mengabaikan kenyataan bahwa krisis iklim adalah manifestasi dari ketidakadilan struktural yang memperdalam ketimpangan dan menghancurkan ruang hidup masyarakat.”

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono menambahkan, partisipasi masyarakat dalam penyusunan SNDC masih bersifat formal dan terbatas. “Proses konsultasi dilakukan dalam waktu singkat dan tidak memberi ruang cukup bagi kelompok terdampak untuk berpartisipasi secara substantif,” ujarnya. Menurut Torry, pendekatan ini masih mempertahankan sentralitas negara dalam pengambilan keputusan dan menempatkan kelompok rentan sekadar sebagai penerima kebijakan.

Kritik atas Sektor Mitigasi dan Adaptasi

ARUKI juga menyoroti aspek mitigasi iklim, khususnya dalam sektor Forestry and Other Land Use (FOLU). Pemerintah dinilai belum memberikan perlindungan yang cukup terhadap hak masyarakat adat. Frasa “menghormati, mempromosikan, dan mempertimbangkan” hak masyarakat adat dalam SNDC dinilai hanya bersifat simbolik.

“Tanpa pengesahan RUU Masyarakat Adat, risiko konflik lahan atas nama proyek iklim maupun investasi energi terbarukan akan terus berulang,” kata Boy Jerry.

Melki Laka Lena di Panggung Wisuda UNIPA: Menanam Nilai, Menyemai Masa Depan Flores

Pada aspek adaptasi, Torry menilai strategi SNDC belum memperlihatkan langkah konkret untuk melindungi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. “Tidak adanya data terpilah dan pengakuan terhadap biaya ekstra disabilitas menunjukkan bahwa adaptasi yang dijanjikan masih bersifat generik dan tidak menyentuh realitas sosial di tingkat komunitas,” katanya.

Pendanaan Iklim dan Tuntutan Reformasi

ARUKI juga menilai skema pendanaan iklim yang dikelola secara terpusat, seperti melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), masih menyulitkan akses langsung bagi masyarakat adat, petani, dan nelayan yang berperan penting dalam menjaga ekosistem. Model pendanaan yang top-down dianggap tidak sejalan dengan prinsip keadilan iklim.

Untuk memperkuat komitmen negara terhadap keadilan iklim, ARUKI mendesak pemerintah agar:

  1. Mengakomodasi masukan masyarakat sipil secara substansial dalam penyusunan SNDC;
  2. Mengarusutamakan keadilan iklim dan hak asasi manusia dalam setiap kebijakan iklim;
  3. Membentuk mekanisme partisipasi yang memastikan keterlibatan kelompok rentan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan;
  4. Mendesain ulang arsitektur pendanaan agar lebih mudah diakses komunitas lokal; serta
  5. Segera membahas dan mengesahkan RUU Keadilan Iklim sebagai payung hukum nasional untuk penanganan perubahan iklim yang berkeadilan.

Tentang ARUKI

Tiga Batu Tungku yang Menyala di Maumere: Melki Laka Lena dan Api Baru Pendidikan NTT

Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) adalah blok politik nasional yang melibatkan lebih dari 36 organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Didirikan pada November 2023, ARUKI tumbuh dari keprihatinan bersama terhadap ancaman krisis iklim dan ketidakadilan yang ditimbulkannya, terutama bagi kelompok-kelompok yang paling rentan.

ARUKI hadir untuk mendorong perubahan sistemik menuju terwujudnya keadilan iklim di Indonesia. Dalam perjuangannya, ARUKI menempatkan keadilan sosial, pemenuhan hak-hak dasar, dan dan penguatan solidaritas antar jaringan sebagai landasan utama untuk mencapai keadilan iklim yang berpihak pada masyarakat.*/Laurens Leba Tukan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement