Yayasan Ume Daya Nusantara Gelar Diskusi Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Di halaman kantor sederhana Yayasan Ume Daya Nusantara (UDN), Oesapa Selatan, Jumat siang (29/8/2025), suasana keakraban terasa sejak awal. Acara dimulai dengan kuis seputar gender yang ditujukan kepada para jurnalis. Gelak tawa, saling sapa, dan perbincangan hangat menjadi pembuka sebuah diskusi serius: bagaimana media berperan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender.
Forum ini menghadirkan dua narasumber: Frederika Taduhungu, Ketua Yayasan Rumah Harapan GMIT sekaligus aktivis isu Gender dan GEDSI, serta Ipda Mega Olivia Wun, Kanit PPA Polres Kupang. Keduanya berbagi pengalaman dari sudut pandang berbeda: jurnalisme dan penegakan hukum.
“Teman-teman jurnalis yang menulis berita sensitif tentang gender dan GEDSI akan kami inventarisir dan menjadi bagian dari laporan kami,” ujar Simon Sadi Openg, Wakil Direktur UDN yang menjadi fasilitator kegiatan, menekankan pentingnya peran media dalam mengubah wajah pemberitaan.
Jurnalisme yang Inklusif
Rika membuka materinya dengan permainan kecil: membedakan seks dan gender. Ia menegaskan, seks adalah kodrati, sementara gender adalah konstruksi sosial yang sering melahirkan stereotipe. “Perempuan dianggap lemah, laki-laki perkasa. Padahal tidak selalu begitu,” katanya.
Ia menyoroti berbagai bentuk ketidakadilan berbasis gender: marginalisasi perempuan dalam pengambilan keputusan, beban ganda di rumah tangga, hingga pembatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kelompok rentan lain seperti penyandang disabilitas dan lansia juga tak luput dari diskriminasi.
Di hadapan para jurnalis, Rika mengingatkan pentingnya menulis dengan hati. “Berita bisa melukai, tapi juga bisa menyembuhkan. Jurnalis punya peran menjaga martabat manusia, menyuarakan kelompok rentan, dan mendorong kebijakan yang adil,” ujarnya.
Perspektif Hukum
Sementara itu, Ipda Mega Olivia Wun menjelaskan bagaimana Polri menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. “Kami menerima laporan, melindungi korban, dan menyelidiki pelaku. Namun tantangannya, wilayah hukum Polres Kupang luas sementara personel terbatas,” ujarnya.
Ia menambahkan, banyak kasus KDRT berhenti di tengah jalan karena dianggap aib keluarga. “Sering laporan dicabut dengan alasan anak atau suami sebagai tulang punggung keluarga. Tapi kami tetap membuat pernyataan bermeterai agar ada efek jera,” katanya.
Menurutnya, sebagian besar kasus kekerasan seksual terhadap anak justru dilakukan oleh orang terdekat. Karena itu, Mega menekankan pentingnya peran masyarakat. “Jangan diam ketika melihat kekerasan. Masyarakat adalah mata dan telinga aparat,” tegasnya.
Media Sebagai Mitra
Diskusi yang berlangsung interaktif itu menegaskan kembali bahwa media bukan sekadar penyampai fakta, melainkan mitra strategis dalam menyuarakan isu gender dan GEDSI. Jurnalis ditantang untuk lebih peka, menggunakan bahasa yang empatik, serta tidak menambah luka korban melalui diksi yang menyalahkan.
Dari halaman kecil UDN di Oesapa, pesan besar kembali ditegaskan: pemberitaan yang berperspektif korban adalah langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan bebas dari kekerasan berbasis gender.*/Laurens Leba Tukan
Komentar