Kasus dugaan persetubuhan anak di Malaka dua kali dimentahkan oleh Pengadilan Negeri Atambua. DPR RI dan publik mempertanyakan nurani hukum yang kian tumpul.
JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM — Ketika hukum gagal menembus dinding rumah di Forekmodok, Kabupaten Malaka, suara publik menggema dari Senayan. Dr. Umbu Rudi Kabunang, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, buka suara. Kepada SelatanIndonesia.com, Umbu Rudi menyarankan agar Polres Malaka segera mengeluarkan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru dalam kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang dua kali kandas di meja praperadilan.
“Kalau sudah kalah dua kali dalam praperadilan, Kepolisian masih bisa buka perkara ini lagi, tentu dengan syarat: bukti diperkuat, penyidikan diperbaiki,” tegas Umbu Rudi, Minggu (29/6/2025).
Ia menekankan bahwa putusan praperadilan tidak berarti vonis bebas, melainkan hanya menilai sah atau tidaknya prosedur penyidikan. “Bila ditemukan bukti baru atau kekeliruan prosedural dapat diperbaiki, maka penyidikan baru sah-sah saja dilakukan,” ujarnya.
Luka yang Tak Tertutup
Kasus ini bermula dari laporan dugaan persetubuhan terhadap anak di bawah umur, yang menurut keluarga korban telah terjadi berulang kali sejak 2019 hingga pertengahan 2024. Lokasi kejadian di sebuah rumah di Forekmodok, Kecamatan Malaka Tengah. Laporan visum (VER), keterangan saksi korban, dan bahkan saksi penangkap langsung dari pihak keluarga telah diajukan ke kepolisian.
Namun dua kali pula, pertama pada 2 Desember 2024, dan kedua pada 23 Juni 2025, Pengadilan Negeri Atambua menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh Polres Malaka “tidak sah” karena dianggap tidak cukup bukti.
Putusan ini membekas sebagai preseden gelap. Aktivis perlindungan anak menyebutnya sebagai kegagalan sistemik hukum dalam menjangkau hak korban anak. “Kalau VER dan keterangan saksi tidak dianggap cukup, maka ini bukan hanya cacat prosedur, tapi cacat nurani,” kata seorang pengacara publik yang menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di wilayah perbatasan NTT-Timor Leste
Perhatian bagi Aparat Penegak Hukum
Umbu Rudi meminta agar penyidikan selanjutnya dilakukan dengan lebih cermat dan profesional. Ia mengingatkan bahwa penggunaan kembali bukti-bukti yang pernah digugurkan harus dihindari, kecuali sudah diperkuat dan diperjelas dalam konstruksi peristiwa.
“Ini bukan hanya soal hukum formil, ini soal masa depan seorang anak yang jadi korban. Kita bicara trauma yang tak kasat mata. Jangan main-main,” ujar Umbu Rudi.
Ia juga menyarankan agar peran psikolog forensik dan Lembaga Perlindungan Anak dilibatkan secara aktif dalam proses penyidikan ulang.
Simpulan yang Menggantung
Putusan praperadilan memang tidak bisa diganggu gugat. Tapi dalam sistem hukum Indonesia, proses pidana tetap bisa berjalan bila ditemukan alasan kuat dan sah secara hukum untuk membuka kembali penyidikan.
Kini sorotan publik tertuju pada Polres Malaka: apakah mereka akan berdiam dalam kekalahan hukum formal, atau bangkit dengan penyidikan baru yang lebih kuat dan menyeluruh?
Dan yang lebih penting lagi: sanggupkah hukum Indonesia benar-benar berdiri di sisi korban anak yang haknya dilindungi konstitusi?*/Laurens Leba Tukan



Komentar