JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM — Seruan untuk menata ulang pelaksanaan jaminan fidusia kembali mengemuka di tengah insiden pengeroyokan dua debt collector di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025). Salah satu korban meninggal di lokasi setelah dikeroyok sejumlah orang usai mencegat seorang pengendara sepeda motor. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa praktik penarikan kendaraan di lapangan masih menyimpan potensi kekerasan dan pelanggaran hukum.
Anggota Komisi XIII DPR sekaligus anggota Badan Legislasi DPR, Dr. Umbu Rudi Kabunang, menilai kasus ini menunjukkan perlunya pemerintah melakukan penataan ulang mekanisme eksekusi jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
“Penarikan kendaraan tidak boleh dilakukan secara paksa. Eksekusi hanya dapat berjalan ketika ada kesepakatan wanprestasi dan debitur menyerahkan kendaraan secara sukarela,” ujar Umbu Rudi. Politisi Golkar dari Dapil NTT 2 itu menambahkan bahwa tindakan intimidatif, penyergapan di jalan, hingga ancaman kekerasan oleh pihak mana pun merupakan perbuatan melawan hukum yang harus dicegah negara.
Pelarangan Debt Collector Ilegal
Umbu Rudi mendorong pemerintah melarang keterlibatan pihak ketiga yang tidak tersertifikasi. Pemerintah, kepolisian, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta memperketat pengawasan terhadap perusahaan pembiayaan agar hanya menugaskan penagih yang memiliki legalitas. Debt collector tanpa sertifikat profesi, menurut dia, harus dikategorikan sebagai pelaku ilegal dan dapat diproses secara pidana jika melakukan penarikan paksa.
Penetapan Pengadilan Wajib Dilibatkan
Putusan MK telah menegaskan bahwa grosse akta fidusia bukan dasar eksekusi otomatis. Untuk itu, Umbu Rudi menilai pemerintah perlu memastikan implementasi di lapangan. Ketika debitur menolak menyerahkan kendaraan, eksekusi wajib dilakukan melalui penetapan pengadilan, bukan inisiatif sepihak perusahaan pembiayaan atau petugas lapangan.
Kebutuhan Perjanjian Fidusia yang Adil
Ia juga menyoroti banyaknya klausula baku dalam perjanjian fidusia yang menguntungkan perusahaan pembiayaan. Umbu Rudi meminta OJK membuat format standar perjanjian agar konsumen terlindungi dari klausula yang memberikan hak penarikan sepihak maupun pembebanan biaya tambahan yang tidak wajar.
Pengaduan Terpadu dan Edukasi Masyarakat
Untuk mencegah kekerasan serupa berulang, pemerintah didorong membangun sistem pengaduan terpadu antara OJK, kepolisian, dan Kementerian Hukum, serta Kementrian HAM. Umbu Rudi menekankan bahwa setiap laporan penarikan paksa harus ditindak cepat dengan sanksi tegas. Ia juga meminta pemerintah memperbanyak edukasi hukum agar masyarakat memahami prosedur eksekusi yang sah dan cara melapor bila menemui intimidasi.
Peristiwa Kekerasan di Kalibata
Kapolsek Pancoran, Kompol Mansur, menjelaskan bahwa kedua debt collector tersebut sempat mencegat seorang pengendara motor. Tak lama kemudian, sejumlah orang turun dari sebuah kendaraan dan mengeroyok mereka secara sporadis. “Satu orang tewas di lokasi, sementara satu lainnya selamat,” kata Mansur dilansir dari detik.com.
Para pelaku pengeroyokan langsung melarikan diri, sementara pengendara motor yang dicegat juga meninggalkan lokasi. Polisi masih melakukan pendalaman untuk mengungkap motif dan identitas para pelaku.
Dengan insiden tragis itu, seruan penataan ulang jaminan fidusia kembali menjadi sorotan. Bagi Umbu Rudi Kabunang, negara harus hadir memastikan bahwa eksekusi fidusia berjalan sesuai hukum, tidak membuka ruang kekerasan, dan menjamin hak-hak debitur terlindungi. “Jangan sampai penegakan kontrak justru menimbulkan nyawa melayang,” ujarnya.*/Laurens Leba Tukan



Komentar