Guru SD Maumaru Dilatih Gunakan EDUMINE untuk Deteksi Dini Performa Siswa
WAINGAPU,SELATANINDONESIA.COM – Suasana ruang kelas SD Negeri Maumaru, Desa Pabera Manera, Kecamatan Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur berubah menjadi laboratorium kecil pembelajaran digital. Para guru duduk berhadapan dengan laptop, menyimak penjelasan tim dosen lintas perguruan tinggi yang tengah memperkenalkan aplikasi EDUMINE, alat bantu untuk mendeteksi dini performa siswa dalam literasi dan numerasi.
Pelatihan ini merupakan bagian dari Kegiatan Pengabdian Masyarakat Pemula (PMP) yang didanai Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Program berlangsung sejak Juni hingga Desember 2025 dengan pola pendampingan berkelanjutan.
”EDUMINE bukan sekadar aplikasi. Kami ingin guru terbiasa membaca data hasil belajar siswa dan menyusunnya menjadi strategi pembelajaran yang lebih adaptif,” ujar Arini Aha Pekuwali, S.Kom., M.Si, Koordinator Kegiatan, seusai pelatihan perdana, Senin (22/9/2025).
Ia didampingi Vidri Bano, S.Pd., M.Pd., bersama tim pengabdian masyarakat yang terdiri dari dosen Teknik Informatika dan Pendidikan Biologi Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, dosen Matematika Universitas Timor, serta empat mahasiswa pendamping.
Pendampingan Berkelanjutan
Berbeda dengan pelatihan konvensional yang berhenti di ruang kelas, kegiatan ini dirancang dengan pendekatan pendampingan berlapis. Guru-guru tidak hanya diajari mengoperasikan EDUMINE, tetapi juga dibimbing menganalisis hasil evaluasi siswa, memetakan capaian, hingga merancang pembelajaran responsif sesuai kebutuhan anak.
”Dengan data yang diolah EDUMINE, guru bisa melihat sejak dini siapa siswa yang membutuhkan perhatian lebih. Dari situ lahir intervensi pembelajaran yang lebih tepat,” kata Vidri Bano.
Jembatan Teknologi dan Realitas
Di tengah keterbatasan fasilitas pendidikan di daerah, kehadiran EDUMINE di SD Negeri Maumaru menjadi eksperimen penting. Guru didorong tidak hanya mengandalkan intuisi dalam menilai murid, melainkan juga menggunakan data digital sebagai jembatan.
Refleksi sosial dari program ini sederhana tetapi mendasar: teknologi pendidikan harus hadir di ruang kelas desa, di mana akses pengetahuan sering kali timpang. Dari desa kecil di Pabera Manera, upaya membangun budaya literasi numerasi berbasis data pun mulai dirintis.*/Laurens Leba Tukan



Komentar