Ketua TP PKK NTT Asty Laka Lena memimpin gelombang perlawanan sipil terhadap aparat hukum yang dituding menutup-nutupi kasus kekerasan seksual oleh eks Kapolres Ngada. Di tengah tekanan institusi besar, ia berdiri sebagai benteng terakhir bagi korban.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Suara Asty Laka Lena tidak meninggi. Tapi setiap katanya menghunjam. Di ruang sidang Komisi III DPR RI, belum lama ini Ketua Tim Penggerak PKK Nusa Tenggara Timur itu duduk berjejer bersama para pendamping hukum, psikolog, dan rohaniwan serta pegiat anti kekersan terhadap pperempuan dan anak. Wajah-wajah lelah yang menampakkan luka jiwa, menyimak dalam diam. “Penegakan hukum terhadap kekerasan seksual tidak boleh berhenti di meja sidang,” ujar Asty, “kita akan kawal sampai keadilan hadir seutuhnya.”
Di bawah langit yang menggantung awan kelabu, nama Asty melambung sebagai simbol perlawanan terhadap kejahatan yang membusuk dalam institusi. Ia tidak sekadar istri gubernur. Asty adalah motor utama Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, koalisi 29 lembaga yang mengawal kasus pemerkosaan dan eksploitasi seksual yang menyeret nama mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma. Empat perempuan menjadi korban, tiga di antaranya masih di bawah umur saat peristiwa terjadi.
Kasus ini mencuat pada akhir 2024, berkat laporan LBH APIK dan pendamping hukum setempat. Meski sempat ditanggapi Mabes Polri dengan penyelidikan internal, proses hukum mandek di tengah jalan. Alih-alih menetapkan pasal-pasal berat, Fajar hanya dikenai tuduhan ringan. “Seolah-olah dia dilindungi, bukan diadili,” kata Veronika Ata, pengacara korban dari LBH APIK.
Kebuntuan itu pecah ketika tekanan publik menguat. Barulah pada awal Juni 2025, Fajar dipindahkan dari tahanan Bareskrim ke sel isolasi di Polda NTT. Hari ini, Selasa (10/6/2025) ia resmi dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kupang. Jaksa menyatakan berkas perkara telah lengkap (P21), tetapi masyarakat sipil masih menanti, apakah ia akan dijerat dengan pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)? Ataukah hukum kembali berkompromi?
“Kalau perlu hukuman mati”
Dalam sebuah rumah di Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, seorang ibu paruh baya memeluk anak perempuannya yang kini berusia tujuh tahun. Dua tahun lalu, putrinya menjadi korban. “Kami hanya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya,” ucapnya lirih. “Kalau perlu, hukuman mati.”
Permintaan itu mungkin terdengar ekstrem. Tapi bagi para pendamping korban, trauma anak-anak ini tidak bisa ditebus dengan pidana ringan. Apalagi pelaku adalah Kapolres, simbol perlindungan hukum. Justru kuasa itulah yang diduga dipakai untuk mengeksploitasi, menekan, dan membungkam.
“Ini bukan soal satu orang jahat,” kata Asty dalam pernyataan tertulisanya kepada SelatanIndonesia.com, “ini soal sistem yang membusuk.”
Di bawah komando Asty, APPA NTT menuntut agar jaksa menerapkan pasal-pasal berlapis: mulai dari Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak, Pasal 6 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hingga Pasal 2 dan 17 UU No. 21/2007 tentang TPPO yang memungkinkan hukuman berat terhadap eksploitasi anak dengan penyalahgunaan jabatan.
Tak hanya itu, APPA juga mendesak agar Kejaksaan Tinggi bersama LPSK menghitung restitusi layak dan menyita aset milik Fajar untuk menjamin pemulihan korban. “Kami tidak akan diam melihat korban kembali dikorbankan oleh sistem hukum yang impunitif,” ujar RD Leo Mali, salah satu penggagas aliansi.
Bertaruh Nyawa, Melawan Negara
Di tengah derasnya arus kompromi politik dan institusional, keberanian Asty berdiri sebagai benteng sipil yang langka. Di balik jabatannya sebagai Ketua PKK dan istri Gubernur NTT Melki Laka Lena, ia menanggalkan protokoler kekuasaan. “Ini soal moral dan tanggung jawab sejarah,” ucapnya.
Namun jalan yang ia pilih bukan tanpa bahaya. Terbayang pula ada intimidasi yang menghantui dan ancaman, bahkan upaya kriminalisasi. Tapi Asty tak surut. Ia justru mendesak agar sidang dilakukan terbuka untuk umum. Media, masyarakat sipil, dan pemantau independen diundang untuk mengawasi langsung jalannya peradilan. “Keadilan bukan milik gedung pengadilan,” tegasnya, “tapi milik korban dan masyarakat.”
Dukungan terus mengalir. Komnas Perempuan, LPSK, KPAI, Komnas HAM, hingga Komisi III dan Komisi XIII DPR RI menyatakan sikap mendukung langkah APPA. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, kasus ini disebut sebagai “cermin retak wajah hukum di daerah”.
Menolak Lupa, Menuntut Tuntas
Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak NTT merilis pernyataan sikap dalam lima poin tegas. Isinya antara lain:
- Mendukung Kejati dan Polda NTT dalam pelimpahan berkas P21 serta penambahan pasal-pasal pidana berat.
- Menuntut sidang terbuka dan dakwaan berlapis, termasuk pasal-pasal UU Perlindungan Anak, TPKS, ITE, dan TPPO.
- Mendesak restitusi dan penyitaan aset Fajar untuk jaminan pemulihan korban.
- Menuntut layanan pemulihan psikososial dan hukum bagi para korban dan keluarga.
- Membuka ruang pemantauan publik untuk mencegah intervensi dan impunitas.
Aliansi ini diisi oleh lembaga nasional dan lokal, dari Komnas Perempuan, Ombudsman RI, hingga Rumah Perempuan Kupang, PADMA Indonesia, dan tokoh agama seperti Pdt. Merry Kolimon.
Benteng yang Tak Akan Runtuh
Asty tahu bahwa apa yang ia hadapi bukan sekadar satu kasus. Ini soal bagaimana negara sering abai melindungi warganya yang paling rentan. Ia tidak percaya pada keadilan yang hanya hidup di dalam berkas, tapi mati di luar ruang sidang.
“Kalau negara tak sanggup melindungi anak-anaknya,” ujarnya di hadapan para korban, “maka kami yang akan berdiri di depan mereka.”
Dalam badai kekerasan dan pembiaran hukum, Asty Laka Lena berdiri seperti benteng. Ia mungkin tak bersenjata, tapi keberaniannya cukup untuk menyalakan perlawanan. Bukan hanya untuk NTT, tapi juga untuk negeri yang sering lupa siapa yang seharusnya dilindungi.*/laurens leba tukan
APPA NTT teridrii dari :
- TP PKK Provinsi NTT
- RD. Leo Mali
- Pdt. Merry Kolimon
- Lawyer public _Dike Nomia
- FPD NTT – Jakarta
- LBH APIK NTT
- Rumah Perempuan Kupang
- PADMA Indonesia
- LPA NTT
- TRUK-F
- IRGSC Kupang
- The CATOC Indonesia
- J-RUK Kupang
- Federasi Apik
- Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan seksual terhadap anak
- Yayasan I.J. Kasimo
- Rumah Harapan GMIT
- Saksi Minor.
- Kementrian Pemberdayaan Perempuan Anak RI
- Komnas Perempuan
- LPSK RI
- OMBUDSMAN RI
- Komnas Disabilitas RI
- KPAI
- Komnas HAM
- Dinas P3AP2KB NTT
- Bpk Umbu Rudi Kabunang (Komisi XIII DPR RI)
- Bpk Andreas Hugo Parera (Komisi XIII DPR RI)
- Bpk. Maruli Siahaan (Komisi XIII DPR RI) (*)
Komentar