KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Di sebuah ruang pertemuan sederhana di Breeze Kupang, Selasa (2/9/2025) petang, puluhan pemangku kepentingan lintas sektor duduk melingkar. Mereka datang dari latar berbeda diantarany akademisi, bankir, pengurus koperasi, LSM, wartawan, hingga pengusaha UMKM. Agenda mereka satu: mencari jalan keluar agar Nusa Tenggara Timur mampu melipatgandakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus memberdayakan sektor UMKM.
Forum diskusi yang digelar Bank NTT ini bertajuk “Sinergitas Aktor Pentahelix dalam Peningkatan Inklusi Keuangan di Kawasan Timor-Barat NTT”. Acara dibuka akademisi senior Prof. Fred Benu, yang langsung mengingatkan bahwa Pemerintah Provinsi NTT baru saja menaikkan target PAD dari Rp1,4 triliun menjadi Rp2,8 triliun. “Ini loncatan besar, dan beban terberatnya ada pada Bank NTT serta SKPD,” ujarnya. Hadir pula Prof. David Pandie.
Prof. Fred menawarkan tiga strategi utama. Pertama, optimalisasi pajak kendaraan bermotor dan integrasinya dengan sistem parkir. Kedua, menggenjot UMKM dengan akses permodalan murah melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kredit khusus. Ketiga, melibatkan jaringan pendamping dari LSM, perguruan tinggi, maupun lembaga keagamaan. “Bank jangan ambil margin terlalu besar. Kalau bunga minimal 6 persen, ambil 4 persen, sisanya diberikan pada lembaga pendamping. Karena UMKM tidak hanya butuh modal, tapi juga tangan yang menuntun,” kata Prof. Fred.
Nada serupa datang dari Plt. Direktur Utama Bank NTT, Yohanis Landu Praing. Ia menegaskan, Bank NTT tidak bisa berjalan sendiri. “Target PAD Rp2,8 triliun tidak mungkin tercapai tanpa kolaborasi. UMKM adalah motor, tapi butuh ekosistem yang sehat,” tegasnya. Yohanis menyebut KUR senilai Rp1 triliun telah digelontorkan Bank NTT, namun keberlanjutan usaha hanya terjamin jika ada pembinaan serius.
Sementara itu, Dirut KSP TLM Indonesia, Zelsy N. W. Pah, menekankan pentingnya pemetaan potensi desa. Ia mengusulkan kredit produktif di sektor pendidikan dan pertanian. “Misalnya kredit modal pendidikan untuk anak sekolah menengah ke atas, atau pembiayaan traktor bagi petani. Akses ke alat modern akan langsung mengangkat produktivitas desa,” katanya.
Meski begitu, tantangan besar menghadang: rendahnya literasi keuangan dan belum meratanya pemahaman masyarakat soal digitalisasi layanan perbankan. “Kita ingin tahu, sejauh mana masyarakat paham soal skema penyaluran KUR ini,” tanya Prof. Fred dalam forum.
Diskusi berjalan hangat, dengan Bank NTT menegaskan posisinya sebagai agent of development sesuai mandat UU Perbankan. Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Bank NTT, Yuan Taneo, menambahkan bahwa forum ini lahir “secara dadakan” karena situasi mendesak: beban target PAD yang melompat drastis.
FGD ini memperlihatkan wajah baru Bank NTT yang tidak hanya menjadi penyedia kredit, tetapi juga katalis dialog pembangunan. Konsep pentahelix, sinergi pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas/LSM, dan media, ditawarkan sebagai jalan keluar untuk menghubungkan permodalan dengan pendampingan. Jika model ini konsisten dijalankan, NTT bisa menjadikan UMKM bukan sekadar objek program kredit, melainkan subjek pembangunan ekonomi daerah. Tantangan terbesarnya kini bukan lagi pada ketersediaan dana, melainkan keberanian semua pihak menjaga disiplin, transparansi, dan komitmen kolektif.*/Laurens Leba Tukan



Komentar