MANGGARAI,SELATANINDONESIA.COM – Waerebo adalah sebuah perkampungan tradisional yang secara turun temurun masih menjaga keaslian adat yang diwarisi oleh leluhur kampung itu berabad-abad lamanya. Letaknya di ketinggian 1600 mdpl, diapit keliling bebukitan terjal memposisikan kampung Waerebo seakan dalam sebuah kubangan alam.
Lantaran letaknya di ketinggian dan dalam himpitan bebukitan, kampung adat itu juga selalu diselimuti kabut dan awan tebal, sehingga Waerebo seperti sebuah negeri di atas awan.
Tidak mudah untuk mencapai perkampungan yang sejak bulan Agustus 2012 diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia dan sempat mengalahkan keunikan dari 42 negara lainnya di dunia ini.
Letaknya yang jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kota, membuat Waerebo jadi jarang dijamah. Ia ibarat gadis desa yang masih perawan namun pesona dan kecantikannya sudah terkenal di seantero jagad raya.
Untuk mencapai kampung dengan daya tarik utamanya keunikan arsitektur vernauler rumah adatnya ini, harus menempuh perjalalanan sepanjang 4,8 kilometer dengan berjalan kaki menyusuri lereng bukit yang dipenuhi pohon-pohon besar. Kicauan aneka burung di hutan menuju kampung Waerebo seakan menyapa dengan bergantian mengiringi setiap langkah para pengunjung.
Jika memilih perjalanan dari Kota Labuanbajo maka untuk mencapai Waerebo harus menempuh perjalanan sekitar 8 jam. Perjalanan dari Kota Labuanbajo, Kabupaten Manggarai Barat menggunakan mobil selama sekitar 4 jam sampai ke Desa Satarlenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, dilanjutkan dengan jasa ojek kendaraan roda dua hingga ke kaki gunung sekitar 20 menit. Kemudian diterusakan dengan berjalan kaki sekitar 4,8 kilometer atau sekitar 3,5 jam perjalanan yang menyusuri lereng gunung, melintasi sungai sambil menikmati alam yang masih dipertahankan keasliannya, untuk akhirnya bisa tiba di kampung adat Waerebo.
Dalam pendakian menuju kampung Waerebo, pengunjung juga disuguhi dengan aroma khas wewangian aneka tanaman masyarakat yang mengitari sebagian jalan setapak seperti buah kopi yang sudah matang di pohon, ada tanaman fanili juga pohon cengkeh.
Semua perjalanan yang melelahkan menuju kampung adat Waerebo itu seakan lunas terbayarkan ketika memasuki kampung tradisional itu. Pemandangan yang tidak akan dilihat di belahan dunia manapun itu seolah mengobati seluruh lelah sepanjang pendakian.
Betapa tidak, tujuh rumah adat dengan arsitektur vernakuler Manggarai berbentuk kerucut menjulang tinggi. Tujuh rumah adat itu dibangun mengitari sebuah ruang terbuka hijau yang ditengahnya terdapat susunan batu alam yang difungsikan sebagai altar. Warga Waerebo menyebutnya Compang yang adalah titik pusat dari ketujuh rumah adat itu. Compang adalah meja altar tempat untuk menyembah Tuhan dan roh para leluhur dan nenek moyang.
Ketujuh rumah adat itu oleh warga setempat disebut Mbaru Niang yang artinya Mbaru adalah rumah, dan Niang adalah tinggi dan bulat. Sehingga Mbaru Niang artinya, rumah yang berbentuk kerucut, meruncing ke arah atas dengan atapnya dari daun lontar.
Rumah adat berjumlah tujuh unit itu mengandung makna penghormatan terhadap tujuh arah gunung yang ada di sekeliling kampung Waerebo. Penghuni kampung adat ini meyakini bahwa ketujuh gunung itulah yang melindungi Kampung Waerebo. Saban hari, awan tebal seakan melatari perkampungan itu sehingga seakan menjadikan Waerebo sebagai negeri di atas awan.
Di Waerebo, dalam satu rumah adat dihuni sekitar 6-7 tujuh keluarga yang terdiri dari pasangan suami-isteri saja, sedangkan anak-anaknya terpisah, kecuali anak yang masih kecil. Setelah memasuki usia sekolah, anak-anak warga Waerebo harus pindah ke Kampung Kombo yang merupakan kampung pindahan dari Wairebo untuk bersekolah.
Mereka yang menghuni satu rumah adat itu, memang merupakan satu garis turunan tetapi ada yag sudah jauh hubungannya. Meski demikian, hubungan sosial diantara mereka sangat baik. Masing-masing keluarga mengurus makan-minum sendiri di satu dapur yang sama. Meski demikian, terkadang mereka masak dan makan bersama jika ada moment adat yang membutuhkan kebersamaan.
Secara administrasi pemerintahan, Waerebo adaah bagian dari desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai.
Menurut sejarah, Kampung Wairebo itu sebenarnya warga kampung Todo, yang keluar dari Todo karena pertikaian keluarga yang terjadi sekitar tahun 1700-an. Warga Todo itu berpindah dari Todo ke kampung Gulung, setelah itu lari ke Kampung Dumar yang masuk wilayah Manggarai Barat, lalu mengikuti hutan hingga ke Wairebo. Dan konon, dalam hidup berpindah-pindah itu, mereka dipandu dan diajak oleh Musang hingga tiba dan menetapa di Waerebo sampai sekarang. Itu pasalnya, sampai sekarang warga Waerebo tidak bisa makan Musang.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam kunjungan kali ketiganya di kampung Waerebo, Minggu (6/9/2020) mengatakan, Pemerintah Provinsi NTT bersama masyarakat Kampung Adat tersebut sepakat untuk kembali membuka destinasi pariwisata kampung adat Wae Rebo setelah selama enam bulan ditutup lantaran pandemic Covid-19.
Bahkan, Pemerintah Provinsi NTT semakin serius dalam menata tempat itu terlebih dalam membangun infrastruktur pendukung agar menjadi lebih baik lagi supaya bisa menarik lebih banyak wisatawan baik domestik bahkan wisatawan mancanegara.
“Kita juga akan siapkan rest area untuk yang berkunjung, serta akses jalan yang baik sehingga kendaraan roda dua bisa masuk keluar terutama untuk kepentingan logistik dan juga untuk evakuasi,” sebut Gubernur Laiskodat yang pada kunjungan kedua tahun 2019 silam, sempat menginap di kampung Waerebo. Ini merupakan kali ke tiga Kunjungan Gubernur Viktor ke Kampung Adat Wae Rebo, satu kali sewaktu belum menjadi Gubernur serta dua kali setelah menjabat sebagai Gubernur NTT.
Dalam dialog bersama para tokoh adat dan warga Waerebo, Gubernur Laiskodat meminta agar masyarakat menyampaikan semua kendala selama pandemi Covid-19 yang dialami sehingga Pemerintah Provinsi dapat membantu untuk memulihkan roda ekonomi masyarakat yang sempat mengalami kesulitan pemasukan. Selain itu, Gubernur Laiskodat yang didampingi staf khusus Pius Rengak dan tokoh masyarakat Bartol Badar berharap agar nantinya kampung adat Waerebo juga bisa menjadi mandiri dalam pertanian dan peternakan.
“Jika ada kendala-kendala saya harap disampaikan segera, agar kita dapat cepat memulihkan situasi ini dan semuanya dapat bertumbuh dengan baik kembali,” ujar Gubernur Laiskodat.
Gubernur Laiskodat saat itu bersama Badan Otorita Pariwisata serta Badan Promosi Pariwisata Daerah NTT, Rocky Pekujawang juga turut menyinggung soal permasalahan di bidang pendidikan dan kesehatan. Ia berharap agar dengan adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai akan memudahkan masyarakat untuk mengakses dan menikmati fasilitas tersebut tanpa harus membuang waktu dan biaya yang besar untuk turun ke desa Satarlenda.
“Saya tugaskan agar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Linus Lusi segera berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten Manggarai untuk bangun Sekolah Dasar disini, sehingga anak-anak kita jangan turun lagi kebawah buang banyak waktu. Dan juga Pustu yang ada kita tingkatkan statusnya jadi Puskesmas,” ujar Gubernur Laiskodat.
Ia berpesan agar masyarakat Waerebo selalu menjaga keaslian dan keunikan Desa Adat Waerebo sebagai salah satu kekayaan warisan budaya Kebanggaan masyarakat setempat.
“Desa Adat ini tidak boleh diubah, harus tetap natural begini, harus tetap dengan keunikannya, karena ini sudah aturan budaya dan warisan leluhur,” tegasnya.
Ketika sampai di pertengahan jalan pulang persis di sebuah perhentian di ketinggian sekitar 800 mdpl yang dinamakan Pocoroko, Gubernur Laiskodat yang didampingi Bartol Badar berkesempatan menikmati hawah sejuk pegunungan Waerebo yang sedang diselimuti kabut awan. “Tempat ini indah sekali, kita sedang berada di atas, dan dibawahnya awan tebal, ini sebuah keindahan alam yang luar biasa. Dan Ketika aminitasnya sudah terbangun maka di sini kita akan bangun restorant mewah dengan fasilitas standard dunia sebagai tempat perisitrahatan sebelum sampai ke Waerebo,” ujar Gubernur Laiskodat.
Turut serta dalam pendakian menuju Waerebo selain staf khusus, Kepala Biro Humas dan Protokol Marius Ardu Jelamu, Kepala Badan Aset dan Pendapatan Daerah Zet Sony Libing, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Linus Lusi, Kepala Dinas Pariwisata Wayan Darmawan, Kepala Dinas PUPR Maxi Nemabu, Kepala Dinas Koperasi, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Silvy Pekudjawang, juga mantan Kepala Biro Organisasi, Bartol Badar serta Tim Asita NTT. ***Laurens Leba Tukan