
Saya masih ingat, ketika menjelang Pemilihan Umum pada akhir tahun 1980 – an slogan yang selalu menggema di seantero kampung adalah, “Onme-Onme Nunuh – tmaet ma tmonit nunuh.” (arti harafiah: apapun yang terjadi, sekali beringin tetap beringin. Mati hidup tetap beringin.)
Slogan tersebut menjadi “lagu militant” yang terus digaungkan oleh keluarga besar Golongan Karya (Golkar). Dampaknya adalah Golkar menjadi penguasa di kabupaten Timor Tengah Selatan. Walau demikian, dalam perjalanan waktu, ketika reformasi menjadi bagian dari dinamika sosial politk di seantero Nusantara sejak tahun 1998, Golkar pun mengalami pergumulan yang tidak mudah.
Banyak kader militannya beranjak menjadi kader partai lain. Peroleh suara Golkar pun melandai. Golkar harus merelakan kursi empuk yang didudukinya cukup lama. Slogan “Onme-onme Nunuh, tmaet ma tmonit nunuh” semakin melemah. Militansi kader-kadernya terus mengendur. Alhasil, beringin tidak lagi menjadi tempat bernaung “para
meo dari tiga dimensi kekuatan kultural Timor Tengah Selatan (TTS)” Golkar hanya menjadi cerita romatisme dari hingar bingar kegalauan politik lokal di TTS.
Pelaksanaan Musyawarah Daerah Partai Golongan Karya (Musda Golkar) Kabupaten TTS yang secara aklamasasi memilih dan menetapkan Epy Tahun sebagai nahkoda baru, bagi saya menjadi momentum penting meraih simpati dari warga TTS.
Terdapat dua catatan terkait argumentasi saya di atas. Pertama, secara sosio kultural, Bapa Epy Tahun merupakan “anak kandung” Partai Golkar. Tidak dipungkiri bahwa klan keluarga Tahun, sejak beberapa dekade menjadi bagian penting dari percaturan politik, birokrasi dan sosial kemaryarakatan di Kabupaten TTS.
Di dalamnya “rasa Golkar” yang mendominasi pemerintahan pada zaman orde baru menjadi romantisme yang akan selalu dikenang bahkan menginspirasi keluarga ini dalam percaturan politik dan relasi sosial kemasyarakatan. Analisis ini terkesan sectarian, tetapi jejak historis dapat bercerita banyak tentang argumentasi ini.
Kedua, restrukturisasi yang gencar dilakukan oleh Golkar pasca kekalahan beruntun “di kebun beringin” menjadi “media pertobatan” secara politis untuk melihat kepentingan rakyat dan kepentingan partai di atas kepentingan pribadi atau golongan. Restrukturisasi yang kemudian mampu mengakomodir kader potensial menjadi angin segar bagi partai Golkar di tengah semakin kreatifnya partai-partai lainnya.
Pilihan untuk menempatkan kader-kader militant sekaligus kreatif dalam persaingan
menangkan hati rakyat mesti menjadi catatan prioritas dalam pembentukan kabinet beringin TTS. Jika struktur hanya ditempati oleh para penganut kepentingan pragmatis, maka romantisme kemenangan Golkas masa lalu akan terus menjadi lagu nostalgia.
Kedua catatan di atas menjadi refleksi bagi sang nahkoda baru, bahwa Partai Golkar memiliki sejarah yang mengagumkan di Kabupaten TTS. Ia menjadi tempat bernaung para pejuang kesejahteraan dari berbagai elemen masyarakat. Ia menjadi daya tarik bagi siapa pun untuk berkreasi. Ia melintas suku, agama dan ras. Ia menyatukan perbedaan. Ia menjadi pilihan bagi kader yang mencintai NKRI. Ia menjadi rumah bagi ideologi Pancasila. Jika Partai Golkar kembali berefleksi dan belajar dari berbagai percaturan lokal yang menempatkan Golkar sebagai “pesakitan” tatkala kursi pimpinan DPRD diserahkan kepada partai lain, maka slogan “Onme-Onme Nunuh” akan kembali menggema di seantero
TTS. Menanti sentuhan sang nahkoda**)