GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Berita Hari Ini NTT
Beranda / Berita Hari Ini NTT / Apresiasi Pantas untuk Ernestus Holivil

Apresiasi Pantas untuk Ernestus Holivil

Frans Sarong

Oleh: Frans Sarong

Saya sempat bingung memilih thema aman akan mewarnai bedah buku: Demokrasi Zombie, karya Ernestus Holivil, Kamis (4/12/2025).

Penyebabnya:

1. Saya di antara para pembedah yang adalah akademisi bergelar puncak dan handal: prof dan doktor. Salah bedah bisa sesat!
2. Pilihan kata zombie menyertai kata demokrasi sebagai judul buku. Bagi saya, zombie adalah kata bermakna samar karena bukanlah kata yang sering nongol dalam percakapan bahkan perdebatan di ruang publik. Selama 31 tahun bersama Kompas dan setelahnya, saya tulis ribuan artikel berita dan juga ficer. Sejauh itu belum pernah sekalipun kata zombie hadir dalam rangkaian kalimatnya.
3. Gambaran demokrasi Indonesia kini mirip zombie, adalah analogi yang terasa menusuk tajam bahkan garang. Diksi ini agaknya tidak berlebihan sesuai makna zombie sebagai mayat yang hidup kembali namun tak berjiwa dan bernafsu merusak. Butuh permenungan intens untuk sebuah respons berdaya melembutkan.

Di ujung permenungan, saya memilih kembali ke habitat, sebagai jurnalis. Kaum jurnalis – terutama dari media arus utama – lazim akrab bahkan cenderung memberikan penghargaan lebih kepada para akademisi yang gemar menulis.

Jelang Tahun Berganti, Alex Lumba Menyapa Pemilik Ranmor: Jangan Lewatkan Amnesti PKB

Biasanya yang ditunggu para wartawan serius adalah artikel opini dari para akademisi, yang dipublikasikan di media massa. Dan, Ernestus Holivil tentu saja menjadi salah satu dari kelompok akademisi terbatas itu. Artikel opininya amat sering tampil di berbagai media massa.

Atas ketekunannya, maka tidaklah berlebihan melambungkan apresiasi pantas bagi Ernestus Holivil. Apalagi usianya masih relatif muda – 32 tahun, dan kayaknya belum setahun sebagai dosen muda di Undana.

Lugas dan garang

Bagi Boni Hargens, tulisan buku “Demokrasi Zombie” terkesan “jenaka dan mendalam” (prolog hal 2).

Menurut saya, “mendalam”, ya! Namun tidak dalam kemasan “jenaka”. Mungkin subyektif. Saya tak merasa ada bumbu canda dalam kemasan buku, yang membangkitkan tawa.

Gubernur Melki dan Jalan Panjang Koperasi Merah Putih: Menenun Produk Desa, Menguatkan Pasar NTT

Buku ini dengan kemasan serius, lugas bahkan garang. Salah satu contohnya adalah menyebut demokrasi Indonedia kini masuk kategori cacat (hal viii).

Agak membingungkan

Penulis mencatat jejak demokrasi di Indonesia pernah menjadi jantung kehidupan berbangsa. Demokrasi tak sekadar prosedur, tapi juga harapan. Namun setelah dua dekade era reformasi, harapan itu kian redup, perlahan membeku (Prakata, hal v).

Catatan di atas agak membingungkan. Tak tampak penjelasan yang menyebutkan era kapan demokrasi Indonesia menjadi jantung kehidupan berbangsa. Atau, demokrasi yang tak sekadar prosedur, tapi juga harapan.

Demokrasi sehat itu apakah pada era pra kemerdekaan, era kepemimpinan Presiden Soekarno atau era regim Soeharto? Penggalan jejak itu yang tak tampak hingga memancing kebingungan.

Di Bawah Teduh Mollo, Melki Laka Lena Membuka Pintu Pasar Baru: NTT Mart dari Desa, untuk Dunia

Tunggu penulis dari Undana

Undana hingga kini sudah didukung puluhan bahkan kebih dari 100 dosen bergelar prof dan doktor. Diyakini, mereka adalah kelompok akademisi dengan standar kecerdasan dan keahlian tinggi. Namun gaungnya nyaris tak kedengaran di luar. Salah satu penyebabnya adalah karena jarang menulis terutama melalui media massa. Sayang kalau kecerdasan tinggi dan keahlian mendalam hanya jadi pajangan dalam etalase benak di kepala.(*)

Turut mewarnai bedah buku: ” Demokrasi Zombie ” di Kupang, Kamis (4/12/2025)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement