KUPANG,SELATANINDONESIA.COM — Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, menilai protes para Uskup dan tokoh lingkungan atas proyek panas bumi di Flores membuka ruang evaluasi dan menjadi pintu masuk membangun komunikasi yang lebih sehat.
“Saya bersyukur kemarin para Uskup dan tokoh-tokoh lingkungan protes soal geotermal. Kalau tidak ada protes itu, kita tidak tahu bahwa geotermal di lapangan yang dibuat oleh perusahaan itu bermasalah di beberapa urusan,” kata Gubernur Melki dalam Seminar Nasional Sekolah Tinggi Theologi (STT) IKAT Jakarta bertema Bersahabat dengan Alam, di Kupang, Selasa (23/9/2025).
Gubernur Melki menegaskan bahwa seminar tersebut kontekstual karena dilaksanakan tepat setelah pertemuan tingkat nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Sumba Timur. Menurutnya, WALHI secara khusus betul-betul mendorong NTT tetap menjadi provinsi yang ramah lingkungan.
Menurut Gubernur Melki, persoalan ekologis di NTT sering kali terjebak pada persepsi yang berjalan sendiri-sendiri. “Problem terbesar kita adalah kurang jembatan dialog. Artinya masing-masing bangun persepsi, lalu berbicara hanya dari persepsinya sendiri. Ini yang perlu kita selesaikan dengan baik,” ujarnya.
Ia menegaskan, pengelolaan sumber daya alam mesti dilakukan dengan prinsip berkelanjutan. Program konservasi, tata kelola air, pertanian dan perikanan berkelanjutan, energi terbarukan, hingga pendidikan dan literasi ekologis menjadi landasan penting. Namun, tantangan tetap besar, mulai dari kekeringan, deforestasi, degradasi lahan, hingga keterbatasan infrastruktur.
Karena itu, ia mendorong empat strategi: menyeimbangkan pemanfaatan dan pelestarian, memperkuat tata kelola, memberdayakan masyarakat lokal khususnya masyarakat adat, serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk inovasi.
Gubernur Melki juga mengaku menahan tawaran pembukaan kembali tambang mangan. “Sampai dengan ada persetujuan bersama, sampai dengan semua sudah sepakat dulu, baru kemudian kita jalan. Tanpa kesepakatan bersama para pihak, tidak mungkin jalan,” katanya.
Suasana seminar makin kental nuansa reflektif ketika Dr. Jimmy Lumintang, Rektor STT IKAT, menghubungkan isu ekologi dengan spiritualitas teologis. “Kita percaya menjaga alam adalah bagian dari menjaga manusia,” ujarnya. Ia menegaskan, teologi mesti keluar dari ruang kelas dan hidup di ladang, pesisir, serta desa-desa.
Seminar ini dihadiri pula oleh teolog Pdt Andreas Yewangoe, akademisi Prof Zainur Wula, dengan penanggap Pdt Emmy Sahertian dan RD Sintus Runesi. Kegiatan ini menjadi bagian dari 40 rangkaian seminar dan pengabdian masyarakat menyongsong Dies Natalis ke-40 STT IKAT.
Refleksi ekologis yang lahir dari perjumpaan tokoh gereja, akademisi, dan pemerintah daerah ini menandai pentingnya dialog di tengah tarik-menarik kepentingan lingkungan dan ekonomi. Jembatan dialog, sebagaimana diingatkan Gubernur Melki, bisa menjadi pijakan bagi NTT untuk melangkah menuju pembangunan yang ramah lingkungan sekaligus adil bagi masyarakatnya.*/Mario Lawi/Laurens Leba Tukan



Komentar