Dari Kuanino Kupang hingga markas besar TNI, desakan keadilan bergema. Empat prajurit jadi tersangka, enam belas masih diperiksa. Suara lantang dari Senayan menuntut pembersihan institusi demi hak asasi manusia.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Di Kuanino, Kupang, denting tanah yang menimpa peti jenazah Prada Lucky Chepril Saputra Namo terdengar lebih berat dari biasanya. Sabtu sore (9/8/2025), ayahnya, Sersan Mayor Christian Namo, dan sang ibu, Sepriana Paulina Mirpey, menunduk di atas peti. Air mata bercampur pelukan, ciuman terakhir, dan teriakan lirih: “Sayang e, kami tidak sanggup.”
Prada Lucky, prajurit muda yang baru dua bulan mengabdi di Batalyon Infanteri 834/WM Nagekeo, pulang tinggal nama. Tubuhnya penuh lebam, sayatan, dan tanda-tanda penganiayaan. Ia mengembuskan napas terakhir di RSUD Aeramo, Mbay, Nagekeo, Jumat lalu.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengumumkan empat prajurit telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polisi Militer Kodam IX/Udayana. Mereka adalah Pratu AA, Pratu EDA, Pratu PNBS, dan Pratu ARR. Keempatnya kini ditahan di Subdenpom IX/1-1 Ende. “Penyidik masih mendalami peran masing-masing sehingga dapat ditentukan pasal yang akan dikenakan,” kata Wahyu dilansir dari detiknews Minggu (10/8/2025).
Enam belas prajurit lainnya masih menjalani pemeriksaan. Wahyu tidak menutup kemungkinan ada penambahan tersangka.
Suara dari Senayan
Seruan lantang datang dari anggota DPR RI Komisi XIII, Dr. Umbu Rudi Kabunang, S.H., M.H. Dari Jakarta, ia menelpon dengan nada tegas, menuntut Panglima TNI bertindak tanpa kompromi.
“Semua pelaku harus diungkap dan dihukum seberat-beratnya, bahkan dikeluarkan dari TNI. Proses hukum harus transparan dan objektif, karena ini menyangkut hak asasi manusia, hak hidup, hak mendapat perlindungan dari negara,” ujarnya.
Bagi Umbu Rudi, kematian Prada Lucky bukan sekadar perkara pidana, melainkan ujian komitmen negara untuk melindungi warga termasuk prajuritnya sendiri dari kekerasan. “Budaya kekerasan harus dihentikan. Dimulai dari penegakan hukum yang tegas,” katanya.
Ujian Institusi
Tekanan publik kini mengarah tak hanya pada pelaku lapangan. Umbu Rudi mendesak agar rantai komando diusut. “Siapa yang membiarkan? Siapa yang tahu tapi diam?” tanya dia. Pesannya jelas: pembersihan institusi tak boleh setengah hati. Ia berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum kasus tersebut demi hak asasi manusia.
Di kampung halaman Lucky, keluarga hanya ingin satu hal: keadilan. “Hukum mati pelaku,” ucap sang ayah pelan, menatap tanah yang baru menutup peti anaknya.*/Laurens Leba Tukan
Komentar