KUPANG,SELATANINDONESIA.COM — Di tengah suhu politik nasional yang hangat dan ekonomi global yang penuh ketidakpastian, ruang pertemuan Hotel Neo Aston Kupang, Selasa siang (15/7/2025), menghadirkan semangat optimisme. Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, didampingi Wakil Gubernur Johni Asadoma, membuka High Level Meeting (HLM) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi NTT dengan nada tegas namun bersahaja.
Tema yang diangkat: “Sinergi Memperkuat Ketahanan Pangan untuk Ekonomi NTT yang Tumbuh Kuat dan Berkelanjutan” menjadi titik simpul antara kebijakan nasional dan dinamika lokal.
Gubernur Melki menyampaikan capaian penting: inflasi NTT pada Juni 2025 tercatat hanya 1,72% (yoy), lebih rendah dari rerata nasional yang berada di angka 1,87%. “NTT masuk dalam 17 besar provinsi dengan inflasi terendah se-Indonesia. Ini patut kita syukuri, tapi jangan membuat kita lengah,” ucap Gubernur Melki, dengan intonasi yang menyerupai ajakan berjaga.
Gerakan Menanam dan Hilirisasi Produk
Dalam pidatonya, Gubernur Melki mendorong penguatan ketersediaan pangan melalui Gerakan Menanam Tanaman Cepat Panen. Pekarangan rumah, katanya, jangan hanya jadi ruang bersantai, tetapi juga sumber pangan rumah tangga. “Kita tidak boleh bergantung pada produk luar. Pekarangan harus jadi lumbung,” ujarnya.
Tak hanya itu, Gubernur Melki menekankan pentingnya hilirisasi pertanian, peternakan, dan perikanan. “Kita dorong produk lokal naik kelas. Jangan hanya jual jagung mentah. Jadikan ia camilan, tepung, atau makanan olahan. Inilah semangat OVOP, One Village One Product yang kini kita perluas menjadi One Community One Product,” tegasnya.
Gagasan ini, menurutnya, terintegrasi dengan Gerakan Beli NTT dan NTT Mart, serta menggandeng komunitas seperti GMIT yang sudah lebih dulu meluncurkan GG Mart bersama BI Perwakilan NTT.
Sinergi Nasional, Akar Lokal
Hadir secara virtual, Deputi III Badan Pangan Nasional Andriko Noto Susanto mengungkap potensi besar yang dimiliki NTT dalam swasembada pangan. Ia menyebut empat pilar kekuatan NTT: 384 ribu hektare lahan basah, 1,8 juta hektare lahan kering, 100 ribu hektare lahan modern, dan 10 ribu hektare tambak garam.
“Jika dikelola dengan baik dan melibatkan petani secara langsung, ketahanan pangan NTT bukan hanya mimpi,” ujar Andriko.
Kepala Perwakilan BI NTT, Agus Sistyo Widjajati, menimpali. Ia menyebut lima komoditas yang paling menyumbang inflasi: beras, aneka cabai, bawang merah, kopi bubuk, dan aneka ikan. “Kunci pengendalian inflasi ada pada tiga hal: modernisasi pertanian, peningkatan SDM, dan hilirisasi. Tapi yang paling krusial tetap pasar,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Penyediaan dan Penyaluran Badan Pangan Nasional, Suardi Samirah, menyoroti efek berganda dari OVOP dan NTT Mart. “Langkah Gubernur Melki ini akan membuka lapangan kerja, menguatkan pasar lokal, dan mendorong kesejahteraan rumah tangga petani. Kalau bukan kita yang beli produk NTT, siapa lagi?”
Stimulus Ekonomi dan Tantangan Ketahanan
Pemerintah pusat, melalui Deputi Menko Perekonomian Ferry Irawan, juga memaparkan paket stimulus jangka pendek. Ada diskon tarif tol, potongan transportasi umum selama libur sekolah, bantuan sosial tambahan, hingga subsidi upah. “Semua ini bertujuan menjaga daya beli. Tapi daerah tetap harus memperkuat fondasinya: pangan dan produktivitas lokal.”
Pertemuan ini ditutup dengan semangat kolaborasi antara Pemerintah Provinsi NTT, instansi vertikal, perbankan, akademisi, dan unsur Forkopimda. Wakil Gubernur Johni Asadoma menyebut forum ini bukan sekadar seremonial, tapi ruang aksi bersama.
“NTT butuh sinergi, bukan sekadar strategi. Yang penting sekarang adalah konsistensi. Kita jaga inflasi, kita jaga dapur masyarakat NTT tetap berasap,” tutup Wagub Johni.
Dalam diskursus publik soal ekonomi lokal, pendekatan Melki-Johni terlihat membumi. Mereka mencoba menjahit potensi lokal dengan program nasional dan tak sekadar lewat pidato, tapi lewat inisiatif konkret seperti NTT Mart dan OVOP. Tantangannya kini adalah konsistensi lintas birokrasi dan realisasi di lapangan. Karena, dalam inflasi yang rendah, tersembunyi risiko kelangkaan dan distribusi yang tak merata. Dan seperti kata Melki: “Kita syukuri angka, tapi jangan kehilangan arah.”*/Fara Therik/Laurens Leba Tukan
Komentar