
Gubernur NTT memilih tidur di hotel milik pemerintah yang mulai sepi peminat. Ia sedang menghitung ulang denyut ekonomi daerah, dari balik seprai putih dan sarapan pagi.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Pukul tujuh lewat dua puluh pagi, di restoran Hotel Sasando, aroma kopi Flores menggantung di udara. Di sudut yang menghadap laut Timor, dua sosok duduk santai. Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena, mengenakan seragam keki lengan panjang yang digulung santai. Di sampingnya, Kepala Kepolisian Daerah NTT Irjen Pol. Daniel Tahi Monang Silitonga bersama jajaran pejabat Polda menanggapi obrolan sambil menyendok bubur ayam dan kelapa muda.
Pagi itu, Selasa, 22 April 2025, bukan pagi biasa. Para petugas dari Rumah Sakit Bhayangkara Titus Uly Kupang tiba membawa alat tensimeter dan perlengkapan tes darah. Di hadapan para tamu hotel yang sedang menyelesaikan sarapan, seorang polisi wanita memakaikan alat tensi ke lengan gubernur. “120 per 80, normal,” kata petugas. Gubernur Melki tersenyum kecil. Ia tahu, yang sedang diuji bukan cuma tekanan darahnya, tapi juga nadi dari sebuah bangunan tua yang pernah jadi kebanggaan: Hotel Sasando.
Hotel yang berdiri megah di atas tanah strategis milik Pemprov NTT itu kini seperti pasien yang lelah bernapas. Dulu ramai dengan tamu-tamu penting, kini hanya sesekali dihuni rombongan dinas atau pelancong yang tersesat pilihan. Di tengah pusaran utang daerah, sorotan publik, dan janji reformasi birokrasi, Gubernur Melki memutuskan tinggal di sana selama lima malam sejak Minggu, 20 April, hingga Jumat, 25 April 2025.
“Saya ingin tahu sendiri. Rasakan sendiri. Bagaimana kondisi hotel kita ini, pelayanannya, manajemennya,” ujar Gubernur Melki kepada SelatanIndonesia.com. Gubernur tidur di kamar 505, lantai empat hotel. Kamarnya president suite dengan kasur besar, lampu hangat, meja kerja kecil, sower air yang sedikit bermasalah. Tidak ada kemewahan ala hotel bintang empat, tapi cukup layak untuk seorang pejabat negara, atau siapa saja yang peduli pada barang milik rakyat.
Keputusan tinggal di Hotel Sasando bukan aksi spontan. Di balik langkah sederhana itu, ada pesan simbolik yang kuat. Seorang gubernur yang tidak sekadar menandatangani laporan, tapi menengok langsung wajah dari aset daerah yang lama terbengkalai. Dalam kunjungan itu, Gubernur Melki juga memberi catatan pada hal-hal kecil semisal kebersihan, pelayanan resepsionis, hingga cita rasa menu dan kecepatan saji di restoran hotel.
“Saya tidak mau kita terus biarkan hotel ini jadi aset tidur. Ini punya kita. Punya masyarakat NTT. Harus jadi sumber PAD,” ujarnya.
Hotel Sasando adalah simbol dari dilema banyak daerah di Indonesia. Punya aset, tapi tak sanggup mengelolanya. Di tangan birokrasi yang lamban dan manajemen tanpa arah, bangunan itu kehilangan daya saing. Padahal, letaknya hanya lima menit dari Bandara El Tari. Sejumlah kamar menghadap laut, dan ruang pertemuannya mampu menampung ratusan orang. Tapi daya pikatnya tenggelam di tengah ledakan hotel-hotel swasta yang lebih agresif menawarkan diskon daring dan pelayanan prima.
Kunjungan Gubernur Melki adalah langkah kecil tapi penuh makna. Ia sedang mengirim sinyal kepada public bahwa pemimpin harus hadir, bukan hanya di podium, tetapi juga di tempat-tempat yang nyaris dilupakan. Ia tidak sedang berlibur, ia sedang menghitung denyut nadi ekonomi daerah dari balik seprai putih dan sarapan pagi.
Sejak kedatangan Gubernur Melki, suasana hotel mendadak hidup. Para staf bekerja lebih rapi, makanan tersaji lebih cepat, dan petugas kebersihan tak henti bolak-balik mengepel lantai marmer yang sudah kusam.
Gubernur Melki tahu, keputusannya menginap ini tidak akan langsung mengubah neraca keuangan daerah. Tapi setidaknya, ia sudah memulai dari hal paling sederhana, hadir. Ia tidak tinggal di hotel berbintang lima, tapi tidur di tempat yang mencerminkan kondisi sesungguhnya dari birokrasi milik publik.
Kamar 505 mungkin tak menyimpan rahasia besar. Tapi dari sanalah seorang gubernur menakar denyut pembangunan, dari jendela yang menghadap laut Timor.*/)llt