Oleh Pius Rengka
Warga Kota Kupang tinggal di Jl. Antarnusa, Liliba.
Bupati Manggarai, NTT, Herry Nabit belum lama ini, memecat 249 tenaga Kesehatan (Nakes). Pemecatan dilakukan menyusul dua kali (12 Februari dan 6 Maret 2024) demonstrasi para Nakes yang menuntut honorarium naik. Tuntutan itu realistis masuk akal.
Jumlah Nakes tidak hanya 249. Masih bayak lagi. Tetapi yang dipecat hanya Nakes juru demonstrasi. Andaikan tak ada demonstrasi, apakah 249 Nakes itu tidak dipecat?
Berita pemecatan itu meluap hingga kementerian Kesehatan Jakarta. Protes para netizen pun meluas, bergelombang. Inti protes pembaca berita, terbelah tiga.
Pertama, kelompok mayoritas. Mereka menghakimi bahkan mengutuk Bupati Herry. Mereka menilai tindakan Bupati tidak menyenangkan, selain karena dia beritindak diskriminatif, juga dia cenderung bertindak minus sensitif terhadap penderitaan rakyatnya sendiri. Mereka bahkan menyebut ada unsur kriminilasi negara atas rakyatnya. Mungkin mereka terinsprasi oleh dua pemikir ilmu politik berikut yang pernah membahas problem ini. Arend Lijphart (1999), memang, tidak langsung terlibat dalam penelitian tentang kriminalisasi negara, tetapi konsep-konsep yang diajukan dalam karyanya tentang desain institusi, keadilan politik, dan akuntabilitas pemerintah relevan dalam diskusi tentang bagaimana negara (pemerintah) dapat melindungi hak-hak warga negaranya dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Tetapi, Mark Neocleous (2008) lebih tegas berpendapat, negara, sebagai Lembaga yang memiliki kekuasaan yang besar, seringkali terlibat dalam tindakan kriminal atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap rakyatnya sendiri. Kelompok pertama ini hingga tulisan ini dibuat masih melontarkan kritik kian kejam terhadap Bupati Herry Nabit. Kesimpulan kaum ini, Herry Nabit tak patut dipilih lagi.
Kedua, kelompok yang berkomentar relatif lebih teduh. Mereka menyebutkan, inti tindakan Bupati Herry Nabit perlu sungguh dicermati. Misalnya, apakah ada klausula perjanjian kerja antara pemerintah dengan para Nakes tentang peluang pemberhentian mereka. Sebab, tindakan hukum pemerintah terhadap para Nakes mungkin dalam makna skema relasi tidak seimbang. Perlu diperiksa rinci apa saja isi perjanjian kerja dan apakah ada peluang tindakan pemberhentian hubungan kerja manakala pemerintah tidak ada biaya untuk itu atau karena deadline hubunga kerja sudah berakhir. Jika deadline hubungan kerja berakhir, maka yang dilakukan Bupati Herry Nabit bukan pemecatan, melainkan penegakkan ketentuan perjaijian kerja. Jadi, Bupati Herry tidak boleh dikutuk. Kesimpulannya, Herry Nabit, bertindak tepat. Maka sebaiknya Bupati ditanyai secara santun dan atau digugat secara hukum.
Ketiga, kelompok akademikus. Kaum ini melihat gejala Ruteng sebagai problematika konseptual yang terkait dengan politik pembuatan kebijakan publik. Tuntutan 249 Nakes ini dibaca sebagai ekses masuk akal jika diletakkan pada konteks honor para Nakes yang berkisar Rp. 300.000 hingga Rp. 600.000 perbulan. Mengapa? Karena, fakta lapangan memperlihatkan, harga kebutuhan pokok telah bergerak naik. Honor Nakes itu bukan saja sejenis penghinaan negara atas para warganya, tetapi juga tidak masuk akal dari takaran apa pun. Para Nakes tidak mungkin hidup wajar sebagai pegawai normal. Bandingkan honor yang diterima berbasis upah minimum regional kabupaten atau provinsi NTT Rp. 2 juta/bulan. Honor buruh atau karyawan perusahaan swasta atau pemerintah justru merujuk pada ketentuan Upah Minimum Regional itu karena ada Perda. Maka, masuk akal jika Nakes menuntut.
Saya menduga, kelompok akademisi ini dicahayai sinar bacaan teoritis yang mereka tekuni. Mereka berharap, teks akademis diterapkan pemerintah dengan asumsi pemerintah membuat kebijakan publik berbasis riset. Maka, peristiwa Manggarai, Ruteng, Flores, NTT ini sebagai fenomena yang patut dicermati serius.
Pada kelompok ketiga ini, selalu akan ada pertanyaan, bagaimana dan kapan kebijakan publik disebut baik dan benar atau bagaimana kebijakan publik dikonstruksi secara demokratis? Pembuatan kebijakan publik yang baik dan benar tidak hanya memantulkan pesan tentang pembuat (relasi para aktor) dan pembuatan kebijakan (proses) publik yang baik, tetapi sekaligus melibatkan penilaian (evaluasi) terhadap kapasitas dan integritas para pengambil kebjakan publik dan atau actor utama (the main actor) cq Bupati. Juga evaluasi terhadap legislatif setempat.
Langkah wajib:
Para academikus ini mensyaratkan langkah penting antara lain, analisis masalah yang tepat. Saya mengutip komentar cerdas yang dikemukakan academikus jebolan Seminari Kisol, Gusty Sarifin di group WA orang Manggarai, 13 April 2024.
Gusty Sarifin mensinyalir, problem relasi bupati dan para Nakes merupakan fenomena yang lahir dari rahim perencanaan pembangunan dan pemetaan masalah pembangunan yang kurang bahkan tidak akurat. Artinya, ujar Sarifin, pemerintah tidak sanggup merencanakan cara terbaik mengatasi masalah Kabupaten itu. Gusty Sarifin mengimbau pemerintah agar perlu dan wajib memiliki kapasitas regulatif yang baik, kapasitas ekstraktif, kapasitas simbolik, kapasitas distributif dan kapasitas responsif. Kesan saya, politisi PKB ini terinspirasi kerangka pikir problem solving yang merujuk pada teori sistem politik ala David Easton yang memahami proses pembuatan kebijakan sebagai bagian dari sistem politik yang kompleks, yang melibatkan interaksi antara berbagai elemen seperti input (tuntutan), throughput (proses pembuatan kebijakan), dan output (keputusan dan kebijakan). Sejalan dengan sinyalemen Gusty Sarifin, maka diperlukan identifikasi masalah atau isu utama yang ingin diselesaikan di Manggarai. Pemerintah didorong melakukan analisis menyeluruh tentang akar penyebab dan dampaknya terhadap masyarakat.
Langkah yang dimaksud antara lain, penelitian. Riset mendalam niscaya diperlukan untuk memahami isu, termasuk studi tentang pendekatan yang telah digunakan pemerintah lain atau lembaga non-pemerintah. Lalu, penting melakukan konsultasi publik yang melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Tak hanya mengandalkan anggota legislatif daerah, yang mohon maaaf, mungkin belum maksimal berpikir tentang kepentingan rakyat di sana. Adakan diskusi terbuka, wawancara, atau survei untuk mendengarkan pandangan dan kebutuhan warga. Setelah itu, merumuskan kebijakan berdasarkan analisis dan masukan dari Langkah sebelumnya, buatlah rancangan kebijakan yang jelas dan spesifik. Pastikan kebijakan tersebut sesuai tujuan dan nilai-nilai masyarakat yang harus memperhitungkan dampak atau akibatnya. Tinjau kemungkinan konsekuensi, baik positif maupun negatif, bagi berbagai kelompok masyarakat. Upayakan untuk mencapai kesepakatan dan persetujuan dari berbagai pihak yang terlibat, termasuk anggota pemerintah, para pakar, dan masyarakat umum. Sehingga ketika kebijakan itu diterapkan memperhatikan sumber daya yang tersedia dan kebutuhan praktis. Pastikan semua langkah dan prosedur telah ditetapkan dengan jelas. Sedangkan evaluasi terhadap implementasi kebijakan dilakukan secara berkala. Identifikasi area yang memerlukan perbaikan atau penyesuaian, dan lakukan revisi jika diperlukan.
Karenanya, komunikasi politik sangat urgen dimiliki karena kemampuan komunikasi itulah yang justru fungsional menjelaskan tujuan dan manfaat kebijakan kepada masyarakat secara terbuka dan transparan. Sampaikan informasi secara jelas dan mudah dimengerti. Dengan mengikuti langkah-langkah ini, saya dapat memastikan kebijakan publik yang dibuat pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat dan kontributif pada pemecahan masalah yang relevan. Dalam konteks itu saya setuju dengan Gusty Sarifin, meski dia hanya menulis pendek padat, tetapi kena.
James MacGregor Burns (1978) dengan tegas membedakan antara kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional mengacu pada kemampuan pemimpin mempengaruhi bawahan dengan cara yang menginspirasi, memotivasi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka, sementara kepemimpinan transaksional lebih berkaitan dengan pertukaran kepentingan yang bersifat pragmatis antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) menekankan peran penting dalam konteks konsolidasi birokrasi, mengarahkan proses pembuatan kebijakan, termasuk kemampuan membangun konsensus, dan mengelola konflik.
Namun, saya mengira, jangan-jangan keributan yang kini sedang terjadi di kabupaten banyak orang cerdas itu, hanyalah rembesan dan letupan politik kontekstual yang kian mendidih lantaran terkait dengan kontestasi tarung politik di daerah itu.
Memang, saya pernah sayup mendengar, relasi bupati dan wakilnya tidak lagi semesra lagu yang kerap mereka lantunkan saat kempanye. Sementara para supporter (khususnya tim sukses) terlalu jauh mencampuri urusan pemerintahan bahkan termasuk kelola distribusi proyek-proyek pemerintah atau proyek-proyek yang berhubungan dengan pemerintah setempat.
Di sisi lain, konon katanya, DPRD setempat sepertinya sedang mengidap penyakit gizi buruk, sehingga kurang kritis mencermati situasi. Apakah ada di antaranya yang terlibat jauh dalam kerja-kerja proyek? Saya tidak tahu karena saya belum mencari tahu, tetapi satu waktu saya pasti tahu karena saya tukang cari tahu. Saya beriman jurnalis yang bermodalkan tumpukan pertanyaan.
Dari selentingan gosip di atas terjadilah devided government (pemerintahan terbelah). Pemerintahan terbelah karena relasi bupati dan wakil bupati tidak mesra sebagaimana saat awal mereka berbulan madu. Lalu, disposisi posisi penempatan para pemain elit birokrasi minus diskusi demokratik di antara keduanya. Distribusi proyek tidak proporsional. Pada gilirannya, relasi bupati wakil bupati bukan hanya retak, tetapi pecah berantakan.
Penyakit jenis ini memang klasik. Hal itu nyaris persis sama dengan gejala yang pernah terjadi di Flores Timur (2002-2003) ketika relasi politik Bupati Felik Fernadez dan Wakilnya John Payong Beda mengalami krisis serius hingga mencapai titik kulminasi infus darurat. Akibatnya, keduanya terpental dalam elektorasi politik. Mengapa? Karena rakyat memilih mereka menjadi bupati dan wakil bupati tidak untuk berkelahi atau tidak untuk sibuk rebutan atau membagi proyek dan rebutan bagi elit birokrasi, melainkan mereka dipilih rakyat agar pasangan itu berdaya saing tinggi untuk menyelesaikan masalah riil rakyat Flores Timur.
Pelajaran Flores Timur ini, hendaknya menjadi cermin politik sekaligus Pelajaran penting untuk situasi Manggarai kini. Tujuannya, agar Kabupaten Manggarai, tempat banyak orang cantik dan ganteng itu berhuni, tidak lagi mengulangi sejarah buruk yang terjadi di tempat lain. Sekian.*/)