Oleh Pius Rengka
Rakyat NTT tinggal di Jl. Antarnusa, Liliba, Kota Kupang
Bagaimana membaca politik sirkulasi para birokrat NTT, Rabu, 27 Maret 2024, di Kupang. Bagaimana pula memahami jalan pikiran politik Kalake? Tulisan ringkas ini, sedikit menafsir perihal itu.
Pertama, sirkulasi birokrat NTT, bukan soal istimewa. Biasa saja. Bahkan lebih dari biasa-biasa saja karena dilakukan oleh orang yang sangat biasa terhadap orang-orang biasa pula. Karenanya, sirkulasi birokrat adalah keniscayaan organisasi pelayan publik. Tetapi, mungkin peristiwa itu bukan hal yang “biasa” yang dilakukan oleh orang yang biasa-biasa saja. Reasoningnya begini. Aktor utama cq PJ Gubernur Kalake, memakai hal biasa untuk sebuah agenda politik, karena memang tidak ada kebijakan politik yang terjadi di ruang hampa. Seperti selalu saya sebutkan, peristiwa politik hari ini bakal menjadi sejarah di masa depan, atau sejarah di masa depan adalah politik di masa lalu. Mengapa? Karena semua orang di berbagai arena berbuat sesuatu karena memiliki kepentingan. Tetapi soalnya sekarag ialah apakah kepentingan tiap orang itu bisa bertemu supaya tidak terjadi konflik? Karena itu bukan tiadanya kepentingan, tetapi yang penting ialah apakah kepentingannya dapat diakomodasi atau tidak.
Kedua, sirkulasi birokrat bertujuan penyegaran organisasi pelayan publik. Diksi “penyegaran” mengandaikan hadirnya argumen bahwa birokrasi berjalan amat datar lantaran (mungkin) para elitnya nyaman rutin di tempat yang sama. Akibatnya, profesionalitas, kreativitas dan inovasi lambat laun tumpul. Buah dari ketumpulan birokrasi, biasanya birokrat mudah terbimbing bahkan jatuh terjerembab dalam ceruk pemudaran integritas. Makanya, perlu pemulihan bahkan penyembuhan. Kesan itu sepertinya menguat ketika Pj. Gubernur NTT Ayodhia G. L. Kalake dalam sambutannya menegaskan agar para pejabat yang telah dilantik harus bekerja dengan menjunjung tinggi profesionalitas dan kreativitas. Artinya, secara spekulatif Kalake berpikir para pejabat yang dilantik mestinya mengabdi pada sistem kerja yang mematuhi norma-norma profesionalitas karena dengan profesionalitas itu kreativitas dan aneka jenis inovasi bertumbuh mekar sesuai dengan aturan main yang tersedia. Profesionalitas, kreativitas dan inovasi dibayangkan akan membuahkan kesejahteraan rakyat. Di sini berlaku fantasi prinsip rejim dromokrasi yaitu pemerintahan dari kecepatan, oleh kecepatan dan demi kecepatan di jalur cepat. Rejim dromokrasi adalah rejim bermutu. Maka sikap mengulur-ulur waktu, menunda penuntasan urusan, apalagi sengaja berlama-lama berurusan atas nama kedengkian personal adalah sejenis pandemic birokrat sakit jiwa. Pada konteks itu, tampaknya, Kalake benar. PJ Gubernur mungil ini terkesan berotak cukup. Dia mengharapkan birokrat NTT akan kian berlari kencang terutama dalam konteks badai gelombang perubahan dengan aneka jenis kelimpahan NTT yang tak terhingga. Jempol untuknya tak perlu canggung diacung ke langit biru.
Ketiga, sirkulasi elit birokrat niscaya diperlukan lantaran melayani hasrat kuat audit postur birokrasi yang dibentuk oleh pemerintah sebelumnya. Karena memang, opsi awal kedatangan Kalake ke NTT sebagai Pejabat Gubernur antara lain mengaudit pemerintahan Viktor B. Laiskodat. Perintah perutusannya jelas, audit rejim sebelumnya. Atau lebih konkrit audit semua rejim bawaan Viktor B. Laiskodat. Nah, bagian ini patut saya cermati relevansinya melalui postur birokrat yang terkena sirkulasi.
Audit politik:
Audit politik bertujuan untuk mengevaluasi kepatuhan terhadap hukum dan peraturan, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan politik dan pengelolaan sumber daya politik di birokrasi pemerintahan yang dilakukan oleh lembaga independent. Maka auditor mesti berasal dari lembaga independent. Namun, pengalaman politik post kolonial, audit politik cenderung memikul dua tekanan paradoksal.
Pertama, audit politik ditekan oleh tuntutan bahwa kinerja birokrasi harus terus ditingkatkan (perspektif dromokrasi) demi kualitas pelayanan prima. Peningkatan artinya, postur rejim birokrat sebelumnya telah bagus, tetapi diperlukan energi, suasana dan momentum yang tepat untuk eskalasi kualitas pelayanannya. Kualitas pelayanan prima menuntut mutu pelayanan yang kuat, tetapi juga pelayanan berkecepatan tinggi karena hanya dengan demikian mobilisasi kemakmuran rakyat lebih pasti di tengah kelimpahan (abundance) sumberdaya. Maka sirkulasi elit birokrat adalah keharusan kontekstual.
Kedua, audit politik ditekan oleh agenda politik yang dibimbing tangan hantu apriori bahwa pemimpin politik sebelumnya pasti buruk dan karena itu semua kebijakan politik dan team kerjanya juga buruk. Logika apriori ini kian dikipas lebih cepat oleh actor lain di lingkungan terdekat birokrasi yang memiliki agenda politiknya sendiri. Madzab kritis melihat bahwa audit politik tidak selalu netral dan objektif. Tetapi, audit politik seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik, ideologi, dan kekuasaan, baik yang datang dari lingkaran luar (variable delegasi) kekuasaan maupun dari lingkungan kekuasaan itu sendiri (agenda actor internal sendiri).
Michael Power (The Audit Society: Rituals of Verification; 1997), berpendapat audit politik seringkali mengalami distorsi dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan David Beetham (The Legitimation of Power; 1991) berkomentar bagaimana audit politik dapat menjadi instrumen untuk menjaga status quo dan menegakkan dominasi politik dan ekonomi oleh kelompok-kelompok yang berkuasa. James Q. Wilson (Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It; 1989), menyebutkan pentingnya audit sebagai alat untuk memeriksa kinerja dan integritas birokrasi. Audit diperlukan demi memastikan efektivitas dan akuntabilitas birokrasi, mengatasi korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Sebaliknya, audit politik sebagai agenda untuk melayani motif negative penguasa. Filosof Perancis, Michael Faoucault (Discipline and Punish, 1975), mensinyalir kekuasaan itu dipakai demi melayani hidden agenda politik. Baginya, audit dan praktik pengawasan digunakan penguasa untuk memperkuat kontrol atas individu dengan cara yang tidak transparan atau tanpa pertanggungjawaban yang memadai. Dia mengkritik metode audit dan praktik pengawasan yang menekan atau membatasi kebebasan individu serta memperkuat hierarki kekuasaan yang ada.
Pikiran Faoucault ini mirip dengan skeptisisme progresif Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (Hegemony and Socialist Strategy; 1985). Di balik sirkulasi elit dengan agenda audit politik terbawa serta kecurigaan terhadap blok politik. Maka hegemoni sebagai proses politik melibatkan konstruksi identitas politik dan pembentukan blok-blok politik. Padahal, sekali lagi, tujuan ideal audit politik dalam birokrasi modern adalah untuk mengevaluasi efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan.
Gatra inti audit menyentuh aspek keuangan, kinerja, kepatuhan dan tata Kelola sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tetapi, dunia ideal yang dibayangkan para sufi tak sebagaimana tampaknya. Perjalanan sejarah diksi “audit” itu sendiri mengalami dinamika. Diksi “audit” sendiri tidak bebas dari asumsi negatif atau imajinasi politik yang dikaitkan dengan rejim buruk atau praktik korupsi. Maka audit seringkali digunakan sebagai alat legal kekuasaan justru karena audit itu lahir dari rahim kecurigaan akan penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi dari rejim sebelumnya.
Pengalaman Manajemen Bank NTT, dapat dipakai sebagai misal. Manajemen Bank NTT, dihajar serial kecurigaan. Bahkan tudingan busuk. Tudingan itu pun dipompa ramai-ramai oleh kelompok bromocorah media kambuhan. Tampaknya PJ Gubernur Kalake, terbimbing. Berkali-kali dia “berupaya” seperti hendak menumbangkan Dirut Bank NTT, Aleks Riwukaho melalui aneka cara. Pria kelahiran Bandung itu sepertinya tersulut suspeksi konspiratif. Bahwa kebusukan telah terjadi di Bank NTT selama kepemimpinan politik Viktor B. Laiskodat.
Seiring bimbingan sukpeksi itu, giringan ke arah pemakzulan Para Pimpinan Manajemen Bank NTT kian memuai, menguat, dan mengencang. Tetapi, seiring dengan itu kuat pula terhembus “gossip” yang menyebutkan bahwa ada pihak terbatas di elit Birokrat, tak jauh dari rusuk kekuasaan Pak PJ Gubernur yang memiliki agenda tersembunyi. Ada hasrat yang sangat kuat seperti tak terbendungkan untuk menduduki posisi Komisaris Utama di Bank yang reputative itu. Tetapi, upaya demi upaya kandas. Bahkan cenderung memalukan, meski Rapat Umum Pemegang Saham berstatus luar biasa telah digelar “paksa”. Kini Bank NTT memanen serial reputasi sejak berstatus Bank NTT menjadi Bank Devisa. Bahkan seorang sahabat pelaku bisnis di Kecamatan Lelak, Manggarai, Ignas menyebutkan, Bank NTT berjasa banyak dalam memobilisasi para pebisnis kecil menengah di wilayahnya.
Jika demikian, audit politik memang penting untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Interpretasi tentang audit dalam sejarah seringkali tergantung pada konteks politik dan sosial masing-masing negara atau lembaga.
Kelimpahan:
Merujuk Peter H. Diamandis and Steven Kotler (Abundance: The Future is Better Than You Think, 2012), bahwa kelimpahan itu dan demi semuanya ini ada dalam genggaman kita. Juga ada di dalam genggaman PJ Gubernur NTT, Ayodia Kalake. Kelimpahan, tentu saja, bukan tentang menyediakan semua orang di planet ini dengan kehidupan mewah, tetapi tentang menyediakan semua kehidupan dengan ragam rupa kemungkinan. Salah satu kemungkinan yang penting dan utama, kata Bill Gates seperti dikutip Diamandis, bahwa hal utama yang patut dilakukan ialah mengurangi pertumbuhan populasi manusia miskin. Caranya ialah dengan meningkatkan kesehatan.
Kesehatan berkorelasi sangat sempurna dengan jumlah pertumbuhan populasi miskin. Maka, meningkatkan kesehatan sama dan sebangun dengan penurunan kemiskinan secara eksponensial. Kemiskinan turun drastis artinya kesehatan naik tajam. Kata Kalake: “Saya berharap saudara-saudara yang dilantik agar profesional, kreatif, inovatif dan berintegritas. Bangunlah semangat kerja kolaboratif baik secara internal maupun secara eksternal dengan perangkat daerah lainnya, Kabupaten/Kota, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Pusat serta Mitra kerja lainnya”. “Hari ini saudara-saudara dilantik, ada yang kembali dipercayakan mengemban jabatan pada Perangkat Daerah yang sama seperti sebelumnya, namun ada juga yang diberikan tanggung jawab baru untuk memimpin di tempat atau Perangkat Daerah yang baru. Saya mengajak saudara-saudara untuk melihat jabatan secara positif sebagai medan pengabdian dan pelayanan seorang ASN. Jabatan apapun yang dipercayakan adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan kepercayaan dari Pimpinan agar saudara-saudara dapat mengaktualisasikan diri secara optimal agar dapat berkontribusi positif bagi masyarakat dan daerah,” jelasnya.
Momentum pelantikan dan pengukuhan serta pengambilan sumpah jabatan Pimpinan Tinggi Pratama merupakan bagian dari proses Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menjaga konsistensi pengelolaan organisasi pemerintahan yang profesional dan berkiblat pada semangat meritokrasi birokrasi. Saya kira prinsip meritokrasi ini merujuk pada pikiran Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat ketika memperkenalkan konsep tersebut pada awal abad ke-20. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme dalam pelayanan publik dengan mempekerjakan dan mempromosikan individu berdasarkan kemampuan, kompetensi, dan prestasi mereka, bukan hanya berdasarkan pada koneksi politik atau patronase.
Salah satu teoritisi yang mempromosikan merit system ini adalah Max Weber. Weber, sosiolog Jerman, dalam karyanya yang terkenal & quot; The Theory of Social and Economic Organization" (1921), Weber membahas pentingnya profesionalisme, kompetensi, dalam birokrasi. Namun, jika ditanya apa itu pemerintah dan apa pula kepemerintahan itu? Pemerintah adalah sebuah sistem atau badan yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan penyelenggaraan kebijakan publik serta pelaksanaan fungsi-fungsi negara dalam suatu wilayah tertentu. Fungsi utama pemerintah meliputi pembuatan kebijakan (legislatif), penerapan kebijakan (eksekutif), dan penegakan hukum (yudikatif), meskipun dalam beberapa sistem politik, fungsi-fungsi ini dapat dibagi menjadi cabang-cabang yang lebih spesifik. Dengan kata lain pemerintah itu merujuk pada fungsi negara dalam tataran elit birokrasi.
Kepemerintahan mengacu pada cara atau sistem di mana pemerintah diorganisir, dijalankan, dan beroperasi. Ini mencakup struktur politik, proses pembuatan keputusan, distribusi kekuasaan, dan hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Kepemerintahan dapat bervariasi dari negara ke negara tergantung pada system politik, tradisi, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Dari 27 pejabat tersebut terdapat 19 pejabat yang dilantik (diangkat dari jabatan lama ke jabatan baru) dan 8 pejabat dikukuhkan. 19 Penjabat yang dilantik diantaranya:
1. Henderina S. Laiskodat, SP., M.Si Jabatan Lama: Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi NTT.
2. Yosef Rasi, S.Sos., M.Si Jabatan Lama: Kepala Dinas Sosial Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi NTT.
3. Ruth Diana Laiskodat, S.Si.Apt., M.M. Jabatan Lama: Kepala Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi NTT.
4. George M. Hadjoh, SH Jabatan Lama: Kepala Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Kepemudaan dan Olahraga Provinsi NTT.
5. Ir. Yohanes Oktovianus, MM Jabatan Lama: Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT.
6. Ir. Maksi Y. E. Nenabu, MT Jabatan Lama: Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi NTT.
7. Dr. Drs. Jusuf Lery Rupidara, M.Si Jabatan Lama: Kepala Biro Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Setda Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi NTT.
8. Ambrosius Kodo, S.Sos, MM. Jabatan Lama: Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT.
9. Ir. Kornelis Wadu, M.Si. Jabatan Lama: Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTT.
10. Silvia R. Pekudjawang SP., MM. Jabatan Lama: Kepala Dinas Koperasi, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi NTT.
11. Linus Lusi, S.Pd., M.Pd. Jabatan Lama: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT. Jabatan Baru: Staf Ahli Gubernur Bidang Perekonomian dan Pembangunan.
12. Dra. Hildegardis Bria Seran. Jabatan Lama: Kepala Dinas Kepemudaan dan Olahraga Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi NTT.
13. drg. Iien Adriany, M.Kes. Jabatan Lama: Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT.
14. Drs. Petrus Seran Tahuk. Jabatan Lama: Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi NTT. Jabatan Baru: Staf Ahli Gubernur Bidang Politik dan Pemerintahan.
15. Dr. Drs. Zet Sony Libing, M.Si. Jabatan Lama: Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTT
16. Noldy Hosea Pellokila, S.Sos., M.M. Jabatan Lama: Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT.
17. Drs. Marsianus Jawa, M.Si. Jabatan Lama: Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi NTT.
18. Drs. Kanisius H. M. Mau, M. Si. Jabatan Lama: Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi NTT. Jabatan Baru: Kepala Dinas Sosial Provinsi NTT.
19. Dra. Flori Rita Wuisan, M.M. Jabatan Lama: Kepala Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi NTT. Jabatan Baru: Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah Provinsi NTT.
Sementara itu 8 Pejabat yang dikukuhkan diantaranya:
1. Dra. Bernadetha M. Uskono, M.Si (Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Provinsi NTT).
2. Semuel Halundaka, S.IP., M.Si (Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Provinsi NTT).
3. Viktorius Manek, S.Sos., M.Si (Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi NTT).
4. Ondy Christian Siagian, SE, M.Si (Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT).
5. Alexon Lumba, SH., M.Hum (Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT).
6. Prisila Q. Parera, SE (Kepala Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi NTT).
7. Drs. Doris Alexander Rihi, M.Si (Kepala Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi NTT).
8. Odermaks Sombu, SH, M.A, M.H (Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT).
Selamat bekerja. Nasihat saya adalah ini: Cermatilah ungkapan saya berikut ini. “Banyak orang merasa bekerja tetapi tidak bertanggung jawab, atau banyak orang merasa bertanggung jawab tetapi tidak bekerja. Tidak peduli apa pun posisi politik Anda.**/