KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur dibawah kepemimpinan Marciana Dominika Jone, melalui Divisi Pelayanan Hukum dan HAM menggelar Diskusi terkait Isu-isu Hukum Perdata Internasional dan RUU HPI Kamis (27/7/2023). Kegiatan ini dihadiri Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, I Gusti Putu Milawati dan Ditjen AHU. Hadir juga Kasubid Pelayanan AHU, Regina Anu Siga bertempat di Ruang Multifungsi.
Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka membahas isu-isu perdata internasional serta rancangan undang-undang terbaru yang dapat menjawab isu tersebut.
Subkoordinator Hukum Perdata Internasional, Dina Juliani selaku narasumber menyampaikan, hukum perdata internasional (HPI) merupakan keseluruhan asas hukum dan aturan hukum di dalam sistem hukum nasional Indonesia yang mengatur persoalan atau sengketa di bidang perdata yang mengandung unsur asing.
Permasalahan isu perdata internasional yang sering terjadi di Indonesia berkaitan subjek hukum; hukum keluarga; benda dan kebendaan; perikatan dan perbuatan melawan hukum (PMH); yuridiksi pengadilan Indonesia.
“Adapun pengaturan hukum perdata internasional sampai saat ini masih menerapkan regulasi HPI Indonesia yang merujuk pada hukum kolonial Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) dan Pasal 436 Rechtsverordening (Rv),” sebut Dina Juliani.
Dina menekankan, perlu adanya pembangunan hukum nasional yang berfokus untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan colonial. “Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan, masih sementara dalam proses penyusunan berdasarkan UU 12 Tahun 2011. Saat ini RUU HPI di tahap Penyusunan (di tahapan Harmonisasi),” ujarnya.
Dina menambahkan, adanya RUU HPI dapat memberikan kepastian hukum, pelindungan hukum, dan pengaturan yang efektif bagi subjek hukum dalam hubungan keperdataan dan komersial yang memiliki irisan dengan unsur Indonesia dan asing. Selain itu, Indonesia mempunyai pengaruh besar untuk menentukan kebijakan hukum di organisasi internasional.
“Dalam penyusunan undang-undang ini, partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) menjadi berarti dan melibatkan 5 unsur dari masyarakat perkawinan campuran Indonesia, Ikatan Hakim Indonesia, masyarakat hukum adat, asosiasi pengajar HPI, dan praktisi hukum,” ujar Diana.
Dina mengharapkan isu permasalahan hukum perdata internasional yang terjadi di Indonesia dapat segera terwadahi dan mendapatkan penyelesaian terbaik setelah nantinya diterbitkan RUU HPI.
Kegiatan dilanjutkan sesi diskusi dan tanya jawab bersama seluruh peserta yang terdiri dari perancang peraturan perundang-undangan, analis hukum dan penyuluh hukum di Kanwil Kemenkumham NTT.*/)Dian/Hms
Editor: Laurens Leba Tukan