Oleh Dr. YANTO M.P. EKON, SH.,M.Hum
(Dosen FH-UKAW)
Makna terpenting dari Pemilu terletak pada proses dan hasil. Proses pemilu pada intinya memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dan hasil yang diharapkan adalah terpilihnya anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, berintegritas, jujur dan adil dalam melaksanakan tugas negara maupun pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu langkah awal untuk memperoleh calon legislatif yang benar-benar berkualitas, berintegritas, jujur dan adil adalah melakukan proses verifikasi bakal calon. Tugas ini dilaksanakan oleh KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Verifikasi yang dilakukan oleh KPU, KPU Propinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota adalah verifikasi terhadap kebenaran dan keabsahan dokumen persyaratan bakal calon. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 3 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota. Regulasi itu intinya menetapkan bahwa tahapan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota meliputi pengajuan bakal calon, verivikasi administrasi, penyusunan DCS dan Penetapan DCT.
Pengajuan Bakal Calon meliputi persiapan dan pelaksanaan pengajuan bakal calon. Sedangkan verifikasi administrasi meliputi verifikasi administrasi dokumen persyaratan Bakal Calon, pengajuan perbaikan dokumen persyaratan Bakal Calon, dan verifikasi administrasi perbaikan dokumen persyaratan Bakal Calon.
Verifikasi administrasi dokumen persyaratan Bakal Calon oleh KPU Propinsi NTT telah diberitakan oleh media online Suara-ntt.com, tanggal 27 Juni 2023 dengan judul yang menarik yakni “KPU Temukan Berkas Mantan Napi jadi Bacaleg NTT”. Substansi berita ini memuat penjelasan dari YOSAFAT KOLI sebagai salah satu anggota KPU Provinsi NTT yang mengatakan “ada mantan terpidana atau napi yang mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) DPRD namun menggunakan dokumen tidak pernah dipidana (dokumen palsu). Berita ini sangat menarik untuk dianalisis berdasarkan proses dan hasil pemilu yang berintegritas, berkualitas, jujur dan adil, yakni apakah langkah hukum yang dilakukan terhadap Bacaleg yang diduga memalsukan dokumen persyaratan administrasi pencalonan, khususnya surat keterangan tidak dipidana dari pengadilan?
Tindakan Hukum Bagi Bacaleg Pemalsu Dokumen
Bakal Calon Anggota Legislatif yang diduga melakukan pemalsuan dokumen baik sebagai pembuat atau pemakai dapat dilakukan tindakan hukum oleh KPU, KPU Propinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. Tindakan hukum yang dilakukan oleh KPU, KPU Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota adalah mengembalikan data isian dan dokumen persyaratan untuk dilengkapi dan diperbaiki sesuai jadwal tahapan pelaksanaan Pemilu yang ditetapkan dan berkoordinasi dengan Kepolisian RI untuk dilakukan proses hukum sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
Salah satu persyaratan dari Bakal Calon Legislatif yang wajib diverifikasi oleh KPU, KPU Propinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota adalah “pernah atau tidaknya sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih. Persyaratan ini dibuktikan dengan surat keterangan dari pengadilan yang menyatakan tidak pernah dipidana bagi Bacaleg yang benar-benar tidak pernah menjadi terpidana.
Sebaliknya bagi Bacaleg yang pernah dipidana karena tindak pidana yang diancam paling lama 5 (lima) tahun harus melengkapi dokumen persyaratan berupa surat keterangan dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan/atau Kepala Balai Pemasyarakatan yang menerangkan yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara dan bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang serta tidak ada hubungan secara teknis dan administratif dengan Kementerian Hukum dan HAM RI. Salinan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan bukti pernyataan yang memuat latar belakang jati diri yang bersangkutan sebagai mantan terpidana, jenis tindak pidananya yang diumumkan melalui media massa.
Demikian pula bagi mantan terpidana karena tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik harus menyerahkan Salinan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan Surat Keterangan dari Kejaksaan yang menerangkan yang bersangkutan terpidana atau mantan terpidana tindak pidana kealpaan atau politik berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Apabila benar sesuai pemberitaan bahwa terdapat mantan terpidana atau napi yang mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) DPRD Provinsi NTT namun menggunakan dokumen tidak pernah dipidana (dokumen palsu), maka dipastikan tidak mengajukan dokumen persyaratan tersebut dan kepadanya diserahkan kembali untuk diperbaiki dan dilengkapi. Namun perbaikan kelengkapan dokumen persyaratan Bakal Calon Legislatif tersebut tidak meniadakan tindakan hukum yang dilakukan oleh KPU, KPU Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota untuk berkoordinasi dengan Kepolisian RI guna dilakukan proses hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 254 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menetapkan “dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon atau calon Anggota DPR, DPRD Propinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Kepolisian Negara RI untuk menindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Koordinasi KPU, KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dikaitkan dengan salah satu tugas pokok dari Bawaslu, Bawaslu Propinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan yang mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan dari pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan sampai dengan penetapan calon. Maka, dapat dipahami bahwa bentuk koordinasi dari KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang dimaksud Pasal 254 Undang-Undang Pemilu antara lain melaporkan dugaan pemalsuan surat atau dokumen oleh oknum Bakal Calon Legislatif sebagai tindak pidana pemilu.
Bawaslu, Bawaslu Propinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota atau Panwascam yang menerima laporan atau mengetahui adanya dugaan tindak pidana pemilu berkoordinasi dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan RI dalam Gakumdu untuk menyatakan peristiwa itu sebagai tindak pidana pemilu dan diproses sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku atau ketentuan hukum pidana formil khusus yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu.
Ancaman pidana bagi Bakal Calon Legislatif yang memalsukan surat atau dokumen untuk kepentingan pencalonan diatur dalam Pasal 520 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang menetapkan “setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai atau setiap orang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, untuk menjadi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 254 dan Pasal 260 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 72.000.000,00,- (tujuh puluh dua juta rupiah)”.
Pasal 520 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengatur 2 (dua) jenis perbuatan pidana pemalsuan surat atau dokumen yang bersifat alternatif yakni membuat surat atau dokumen palsu atau memakai surat atau dokumen palsu untuk kepentingan pencalonan.
Sehubungan dengan dugaan pemalsuan surat oleh Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi NTT yang diberitakan oleh media online Suara ntt.com haruslah dibuktikan secara hukum bahwa perbuatan yang bersangkutan telah memenuhi unsur Pasal 520 Undang-Undang Pemilu baik unsur membuat maupun memakai atau cukup satu unsur saja terpenuhi pelaku dapat dihukum sesuai Pasal 520 Undang-Undang Pemilu.
Apabila dikaitkan, dengan proses pembuatan surat keterangan tidak dipidana dari Pengadilan Negeri dan jika memang terdapat alat bukti yang cukup membuktikan Bacaleg tersebut pernah dipidana tetapi mengajukan surat keterangan dari pengadilan yang menyatakan tidak pernah dipidana maka perbuatan Bacaleg yang bersangkutan dapat dinyatakan memenuhi unsur membuat surat atau dokumen palsu maupun memakai surat atau dokumen palsu.
Membuat surat atau dokumen palsu dapat dibuktikan melalui pengisian Daftar Pertanyaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai syarat penerbitan SKCK dari Kepolisian dan Surat Pernyataan Tidak Pernah Dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih sebagai salah satu syarat permohonan keterangan tidak dipidana dari Pengadilan Negeri.
Pada daftar pertanyaan SKCK Angka Romawi II.a sampai dengan e terdapat pertanyaan apakah saudara pernah tersangkut perkara pidana? bagaimana putusannya dan vonis hakim? Sampai sejauhmana proses hukumnya? Terhadap pertanyaan ini apabila Bacaleg atau Pemohon SKCK menjawab bahwa tidak pernah dipidana, padahal faktanya pernah dipidana penjara maka Bacaleg atau Pemohon SKCK dapat dianggap terbukti membuat surat palsu karena pertanyaan itu dijawab dan ditulis sendiri oleh Bacaleg atau Pemohon SKCK yang bersangkutan.
Demikian pula apabila Bacaleg atau Pemohon Surat Keterangan dari Pengadilan membuat surat pernyataan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih tetapi faktanya yang bersangkutan pernah dipidana maka dianggap pula terbukti membuat surat palsu.
Sebaliknya memakai surat atau dokumen palsu dapat dibuktikan bahwa formulir Daftar Pertanyaan SKCK yang diisi secara tidak benar itu digunakan oleh yang bersangkutan sebagai syarat penerbitan SKCK oleh Kepolisian dan Surat Pernyataan Tidak Dipidana yang dibuat secara tidak benar digunakan oleh yang bersangkutan sebagai syarat penerbitan Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana oleh Pengadilan.
Lebih lanjut SKCK yang substansinya tidak benar itu digunakan sebagai syarat penerbitan Surat Keterangan Tidak Dipidana oleh Pengadilan dan Surat Keterangan Tidak Dipidana dari Pengadilan yang memuat substansi yang tidak benar atau palsu itu pula telah digunakan sebagai dokumen persyaratan Bakal Calon Anggota Legislatif.
Pasal 520 Undang-Undang Pemilihan Umum merupakan lex specialis dari Pasal 263 KUH Pidana. Artinya Pasal 520 Undang-Undang Pemilihan Umum secara khusus berlaku bagi Bakal Calon atau Calon Anggota Legislatif yang terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan surat atau dokumen untuk kepentingan pencalonan. Sedangkan Pasal 263 KUH Pidana berlaku umum bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat baik sebagai pembuat atau sebagai pemakai/pengguna.
Penetapan Bacaleg Pemalsu Dokumen Setelah Perbaikan
Persoalan lebih lanjut yang ingin dianalisis dalam tulisan singkat ini adalah, apakah Bacaleg yang diduga sebagai mantan terpidana tetapi mengajukan surat keterangan tidak pernah dipidana dari pengadilan dapat ditetapkan sebagai Caleg setelah memperbaiki dan melengkapi dokumen? Menurut penulis, meskipun persyaratan administratif telah diperbaiki dan dilengkapi oleh Bacaleg yang bersangkutan tetapi Bacaleg tersebut tetap dianggap tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Caleg. Sebab, Bacaleg itu tidak jujur terhadap jati dirinya kepada rakyat pemilih sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 11 huruf g PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang antara lain menetapkan “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap kecuali …………………secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.
Persyaratan ini diatur pula dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang menetapkan “Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu tersebut, telah beberapa kali diajukan judicial review dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan terakhir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022, tanggal 30 November 2022. Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengabulkan permohonan pemohon dan menjatuhkan putusan yang pada dasarnya menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu bertentangan dengan UUD’1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dirumuskan selengkapnya berbunyi “Bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana,dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.
Persyaratan mantan terpidana, telah selesai menjalani pidana penjara lebih dari jangka waktu 5 (lima) tahun, secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana,dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang merupakan syarat yang bersifat komulatif bagi mantan terpidana yang menjadi Bakal Calon atau Calon DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Bersifat komulatif artinya apabila salah satu syarat saja tidak dipenuhi maka Bacaleg yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai Caleg. Apalagi menurut Mahkamah Konstitusi bahwa tujuan utama ditetapkannya syarat-syarat komulatif ini bagi Bacaleg adalah diharapkan untuk memperoleh anggota-anggota legislatif yang bersih, jujur dan berintegritas.
Oleh karena itu, bagi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang secara nyata merupakan mantan terpidana tetapi mengajukan surat keterangan tidak pernah dipidana sangat jelas tidak memenuhi syarat kejujuran, keterbukaan dan integritas sebagai salah satu syarat komulatif Bacaleg dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Jo. Pasal 11 huruf g PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, selayaknya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat sebagai Caleg serta diproses secara pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku agar ada efek jera.**/)