JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Ketua DPD I Golkar NTT yang kini wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) tentang RUU Kesehatan. Melki Laka Lena, sapaan akrabnya mengatakan, masih ada 6,9 persen Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia tanpa dokter.
Angka ini mengacu pada data dari Sistem Informasi SDM Kesehatan (SISDMK) pada 2020. Provinsi dengan persentase Puskesmas tanpa dokter tertinggi adalah provinsi Papua (48,18 persen), diikuti oleh provinsi Papua Barat (42,07 persen) dan provinsi Maluku (23,45 persen).
“Berdasarkan data 6,9 persen itu Puskesmas tidak memiliki dokter. Tertinggi di Papua sekitar 48 persen. Jadi hampir setengah dari Puskesmas di Papua itu tidak ada dokter,” sebut Melki Laka Lena dikutip dari KOMPAS.COM ketika acara penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan diskusi publik RUU Kesehatan di gedung Ombudsman Jakarta Selatan, Selasa (11/4/2023).
Fenomena ini berbeda dengan wilayah perkotaan dan daerah tidak tertinggal, meliputi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Di lima wilayah tersebut, tidak ada Puskesmas tanpa dokter. Hal ini menandakan persebaran tenaga medis dan tenaga kesehatan masih menjadi masalah di Indonesia.
“Jadi di aspek yang lain, misalnya Pak Jokowi sudah sukses membuat satu harga untuk energi atau BBM. Tapi, gambaran faktual di Papua 48,18 persen itu Puskesmas tanpa dokter,” ujar dia.
Lebih lanjut, ia pun menyoroti ketersediaan tenaga kesehatan di Indonesia yang masih sangat rendah. Jumlahnya bahkan lebih rendah dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dan rata-rata Asia Tenggara.
Tercatat, hanya terdapat 0,62 dokter per 1.000 penduduk di Indonesia, dibandingkan dengan 1,0 per 1.000 penduduk sesuai standar WHO.
Jumlah dokter spesialis pun lebih rendah, hanya terdapat 0,12 dokter spesialis per 1.000 penduduk. Angkanya lebih rendah dibandingkan dengan median Asia Tenggara, yakni 0,20 per 1.000 penduduk. “Jadi Indonesia ini termasuk yang dianggap paling rendah mempersiapkan tenaga kesehatan, khususnya dokter,” tutur dia.
Di sisi lain, estimasi yang dikeluarkan oleh WHO, masyarakat memerlukan rasio minimum tenaga kesehatan sebesar 4,45 per 1000 penduduk untuk mencapai 12 indikator kesehatan masyarakat.
Tenaga kesehatan tersebut meliputi dokter, perawat, dan bidan. Oleh karena itu, ia berencana membahas masalah dalam rapat Panitia Kerja (Panja) tentang RUU Kesehatan. “Kondisi nakes jauh dari yang diharapkan, baik itu jumlah maupun kualitas dan sebarannya. Memang masih menjadi soal di negeri kita. Dengan adanya kondisi seperti ini, itu akan menjadi concern kami dibahas bersama pemerintah di Panja nanti,” jelasnya.
Sebagai informasi, pemerintah berusaha menekan gap ketersediaan tenaga kesehatan melalui RUU Kesehatan. Saat ini, Kementerian Kesehatan telah menyerahkan DIM RUU kesehatan ke Komisi IX DPR yang sudah ditunjuk sebagai alat kelengkapan dewan (AKD) pembahas RUU.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, DIM RUU Kesehatan terdiri dari 3.020 poin dengan total 478 pasal.
“Sebanyak 1.037 DIM bersifat tetap, dalam arti mengonfirmasi dari DPR. 399 ada perubahan redaksional dan 1.584 ada perubahan substansi. Selain batang tubuh, kami memiliki penjelasan ada 1.488 DIM, 609 tetap, 14 DIM perubahan redaksional, dan 865 perubahan substansi,” kata Budi Gunadi, Rabu(5/4/2023)
Ombudsman RI Serahkan DIM RUU Kesehatan
Ombudsman RI menyerahkan daftar isian masalah (DIM) RUU Kesehatan kepada Komisi IX DPR RI di gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (11/4/2023). Penyerahan dilakukan oleh Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih kepada Wakil Ketua Komisi IX DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena.
Mokhammad Najih mengatakan, Ombudsman RI melakukan inisiatif untuk melibatkan peran serta masyarakat dalam memberikan masukan terkait RUU Kesehatan. Masukan maupun DIM ini pun didasarkan pada data penanganan laporan Ombudsman.
“Masukan yang disampaikan Ombudsman berdasar pada data penanganan laporan yang ditangani Ombudsman RI, serta masukan yang disampaikan melalui forum-forum komunikasi yang dilakukan di kantor perwakilan di daerah,” kata Mokhammad Najih di gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa.
Ia menyampaikan, RUU Kesehatan perlu pencermatan mendalam, karena beleid ini mengharmonisasikan beberapa UU eksisting. Ia berharap RUU Kesehatan tidak mengulang kejadian dalam pengesahan RUU Cipta Kerja.
Menurutnya hingga saat ini, UU Cipta Kerja menjadi stagnan karena banyak persoalan. Setelah disahkan, UU tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Demikian juga dengan berlakunya Perppu Cipta Kerja dan itu masih memunculkan persoalan. Saya khawatir nanti akan muncul putusan MK yang lain ketika Perppu Ciptaker tidak menjawab persoalan putusan MK,” tutur dia.
“Oleh karena itu, saya berharap melalui Bapak Wakil Ketua Komisi IX bahwa masalah teknis, proses, kita lakukan bisa lebih baik dibanding UU Cipta Kerja,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ombudsman menyampaikan tiga catatan penting yang terkait dengan peningkatan kualitas layanan publik, yaitu tata kelola layanan kesehatan, mutu layanan, dan akses pelayanan kesehatan bagi semua lapisan masyarakat.
Catatan pertama meliputi hak dan kewajiban penyelenggaraan layanan kesehatan. Ombudsman RI menilai RUU Kesehatan belum mengakomodir hak-hak kesehatan kelompok rentan untuk memperoleh layanan kesehatan.
Dalam catatan kedua, Ombudsman RI menyoroti masalah pembagian urusan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ombudsman menilai, pemberian pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah.
Catatan ketiga Ombudsman adalah mengenai pemenuhan penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pada poin ini, Ombudsman menilai terdapat 4 hal penting yang perlu diperhatikan dalam RUU Kesehatan, yaitu pengendalian faktor risiko, fungsi pengawasan dalam konteks pencegahan, dan fungsi pengawasan dalam konteks penindakan.
Lalu, pemenuhan standar pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat rujukan lanjutan (FKTRL).
Dalam poin pengendalian faktor risiko, Ombudsman menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi terkait tugas dan fungsi surveilans. Sebab saat ini, pihaknya menilai RUU kesehatan belum memaksimalkan peran pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengendalian risiko melalui pengaturan fungsi surveilans secara komprehensif.
“Evaluasi diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan, yang terdiri dari sumber daya manusia dan sumber pembiayaan, baik di tingkat pusat dan daerah,” jelasnya.*/)