Efek Sambo: Nila Setitik Menampakkan Nila Sebelanga

304
Marsel Robot

Oleh Marsel Robot (Budayawan, Dosen Undana)

Nila setitik merusak susu sebelanga,  pepatah tua mengandung makna  satu perbuatan kecil  yang buruk dapat menghancurkan  atau membusukkan seluruh perbuatan baik. Pepatah ini bisa berarti sebaliknya dalam konteks kasus Sambo. Skandal Sambo diumpamakan nila setitik (noda)  yang justeru memperlihatkan skandal, sindikat, dan    mafia besar di institusi kepolisian (nila sebelanga). Katakan, Ferdy Sambo-lah yang  membuka gembok gate  (gerbang) kepolisian. Lalu,  membiarkan masyarakat dengan gembira menggeledah kantor polisi untuk menemukan kebangkrutan moral,  tumpukan skandal, atau ronda-ronda mafia yang terbungkus rapi  dalam kain cokelat itu.

Efek skandal Sambo begitu masif. Getarannya hingga ke sudut pulau-pulau di negeri ini. Hampir tak sejengkal waktu dibiarkan berlalu  tanpa berita Sambo, baik berita  berkaitan dengan Sambo maupun berita yang  dikaitkan-kaitan   dengannya. Sementara itu,  media sosial sungguh suntuk menggemburkan keadaan dan menghamburkan isu kepada massa. Makhlum, dari sanalah mereka akan memanen keuntungan yang menggunung. Seumpama,  media sosial  menulis  judul berita: “Ternyata ini Biangnya”. Sering menggunakan kata “ternyata” pada judul,  meski isi beritanya tidak menyajikan data apapun. Anda mungkin tidak puas karena tidak mendapatkan apa yang dinyatakan dalam judul. Namun, pengelola media sosial merasa puas karena Anda  telah membacanya. Dia memanen keuntungan dari rasa sial Anda. Memang kerja utama   medsos atau medon (media online) ialah mengeroyok dan memerosokkan Anda ke dalam dekapan teks  berita yang disusunnya.

Tak jarang, kita dibuat linglung oleh sergapan media online hingga demikian sulit membedakan antara berita hoaks  dan berita yang berdasarkan fakta. Kadang,  berita hoaks  justeru lebih viral daripada berita yang berdasarkan fakta. Sementara masyarakat yang hidup dalam iklim komunal dan tradisi lisan  menjadi padang-padang subur untuk membiakkan hoaks. Boleh jadi, saat ini sedang terjadi karnaval sosial dari “orde kematian fakta” menuju “orde kelahiran hoaks.” Itulah sebabnya, demokrasi kita bertumbuh subur seluas halaman bibir belaka. Tidak diintimi dan dipimpin oleh rasionalitas, maka terjadilah kefakiran dalam berdemokrasi.

Ferdy Sambo sesungguhnya melakukan dua kasus sekaligus. Kasus pertama adalah dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Joshua Hutabarat.  Kasus dugaan pembunuhan ini memosisikan Sambo sebagai antagonististik. Ia sangat dibenci. Ia dikutuk oleh masyarakat Indonesia atas  perbuatan keji yang dilakukannya. Ia  harus mendapat hukuman setimpal. Sebab, ia seorang jenderal polisi yang seharusnya mengawal nyawa siapapun. Lebih memalukan dan memilukan lagi, pembunuhan itu  lantaran skandal (seks).

Kasus kedua, Ferdy Sambo menghacurkan institusi kepolisian. Kasus kedua terjadi sebagai  efek kasus pertama. Sebut saja,  Sambo Efect (Efek Sambo).   Efek Sambo meluas bukan saja pada pati-pati polisi yang terlibat dalam dugaan pembunuhan Brigadir Joshua,  melainkan juga  perlahan tersinsing labirin jenis skandal  atau mafia lain di tubuh  institusi kepolisian yang melibatkan bandit-bandit di luar sana. Kasus penghancuran terhadap institusi kepolisian memosisikan Sambo sebagai tokoh protagon yang dielus masyarakat. Karena, Sambo-lah yang  menggergaji gerendel institusi kepolisian dan memberikan kesempaan kepada  masyarakat untuk memeriksa  ruang remang di sana yang sarat skandal dan mafia. Terasa penting pula menggeledah institusi kepolisian yang selama ini bertugas menggeledah masyarakat. Ada semacam dendam dingin antara polisi dan masyarakat lantaran masyarakat telah mempercayainya  sebagai penjaga moral. Ia diberi peran sebagai sapu yang membersihkan kotoran. Padahal, sapu itu sendiri mengandung kotoran. Bagaimana mungkin membersihkan lantai Indonesia dengan sapu yang  kotor?

Dalam konteks ini, Sambo menjadi peniup nafiri yang mengingatkan masyarakat dan pemerintah tentang kebobrokan lembaga itu. Sepertinya, keadaan pun mungkin sudah hamil tua. Meminjam terminologi orang-orang di kampung saya di Manggarai Timur, “penong gi,” (terlalu  penuh). Karena mafia dan sakndal di sana   bukan sekadar kekeliruan,  melainkan keterlaluan (penong gi).  Sudah waktunya keadaan seperti  itu harus dimuntahkan biar dahak dan  lahar-lahar skandal yang melengket di institusi itu melorot separuhnya.

Belakangan, efek Sambo menjalar ke mana-mana. Kasus dipilin dan dipelintir. Kasus Sambo menumbuhkan kasus lain. Bagai “amuba,” makhluk yang membiak dengan membelah dirinya.  Mulai dikaitkan-kaitan dengan kasus yang di luar radius kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Bahkan, kasus ini dijadikan kontainer yang mengangkut kepentingan  tertentu. Anda bisa menyaksikan pengacara Brigadir Johsua, Kamarudin Simanjuntak yang kian cengeng. Ia terkenal bukan karena membela Joshua, tetapi kelihaiannya untuk membabar dan membeberkan kasus di luar lokus perkara Joshua. Disangkutpautkannya sedemikian rupa hingga menyentuh istana. Ia mengeritik Presiden Jokowi yang hanya mengutamakan pembangunan infrastruktur daripada sumberdaya manusia (SDM). Frasa-frasa in sangat sering dinyinyir oleh kelompok oposan.  Pernyataan semacam itu hanya mengalami duplikasi sebagai bentuk superlasi untuk menggambarkan keoposisian kelempok tertentu terhadap pemerintahan Joko Widodo. Simanjuntak terkesan menjadi juru bicara oposan dengan memanfaat kasus yang lagi viral. Mumpung ada kasus, para politisi dengan  sindikat yang itu-itu juga ikut  berenang dalam air keruh demi menuju dermaga 2024.

Drama dan Sambo Efect belum bertepi, Isunya terus-menerus disimpangsiurkan. Rekonstruksi yang dilakukan Sambo menumbukan masalah baru. Ada rasa rekayasa. Keadaan ini justeru menyodok Kapolri ke  ujung tanduk skandal Sambo.   Pada pihak lain,  pemerintah masih melakukan obsevasi terhadap kangker stadium akhir ini sebelum melakukan opname terhadap institusi kepolisian yang mengalami   pendarahan hebat tersebut.

Hai-hari ini, kepercayaan masyarakat drop (jatuh) seketika terhadap  institusi kepolisian. Polisi lagi mereguk segelas empedu efek Sambo. Bayangkan, di mana-mana polisi berbaris, masyarakat meneriakinya, “Sambo, Sambo, Sambo” diringi tawa tipis untuk  sinis. Diakui, polisi memang paling kuat.  Ia terus berdiri tegak di tengah gelombang cemoohan  masyarakat. Sedangkan jalan untuk menemukan  the end skandal Sambo  masih kelam dan sarat  misteri.

Jikalau  perjalanan kasus ini sampai pada tikungan yang  paling pasrah, mungkin  kita hanya berucap melalui kata-kata yang mulai  membiru, “Semoga Tuhan membukakan  jalan dan mengajarkan kita bahasa cinta.” Walau masih terdengar himne yang membusuk di geladak,  lantaran tersedak oleh  kelakuan-kelakuan batil.*/)Artikel ini pernah ditayang di Victory News, Rabu 7 September 2022

Center Align Buttons in Bootstrap