
Oleh Marsel Robot (Budayawan, Dosen Undana)
Nila setitik merusak susu sebelanga, pepatah tua mengandung makna satu perbuatan kecil yang buruk dapat menghancurkan atau membusukkan seluruh perbuatan baik. Pepatah ini bisa berarti sebaliknya dalam konteks kasus Sambo. Skandal Sambo diumpamakan nila setitik (noda) yang justeru memperlihatkan skandal, sindikat, dan mafia besar di institusi kepolisian (nila sebelanga). Katakan, Ferdy Sambo-lah yang membuka gembok gate (gerbang) kepolisian. Lalu, membiarkan masyarakat dengan gembira menggeledah kantor polisi untuk menemukan kebangkrutan moral, tumpukan skandal, atau ronda-ronda mafia yang terbungkus rapi dalam kain cokelat itu.
Efek skandal Sambo begitu masif. Getarannya hingga ke sudut pulau-pulau di negeri ini. Hampir tak sejengkal waktu dibiarkan berlalu tanpa berita Sambo, baik berita berkaitan dengan Sambo maupun berita yang dikaitkan-kaitan dengannya. Sementara itu, media sosial sungguh suntuk menggemburkan keadaan dan menghamburkan isu kepada massa. Makhlum, dari sanalah mereka akan memanen keuntungan yang menggunung. Seumpama, media sosial menulis judul berita: “Ternyata ini Biangnya”. Sering menggunakan kata “ternyata” pada judul, meski isi beritanya tidak menyajikan data apapun. Anda mungkin tidak puas karena tidak mendapatkan apa yang dinyatakan dalam judul. Namun, pengelola media sosial merasa puas karena Anda telah membacanya. Dia memanen keuntungan dari rasa sial Anda. Memang kerja utama medsos atau medon (media online) ialah mengeroyok dan memerosokkan Anda ke dalam dekapan teks berita yang disusunnya.
Tak jarang, kita dibuat linglung oleh sergapan media online hingga demikian sulit membedakan antara berita hoaks dan berita yang berdasarkan fakta. Kadang, berita hoaks justeru lebih viral daripada berita yang berdasarkan fakta. Sementara masyarakat yang hidup dalam iklim komunal dan tradisi lisan menjadi padang-padang subur untuk membiakkan hoaks. Boleh jadi, saat ini sedang terjadi karnaval sosial dari “orde kematian fakta” menuju “orde kelahiran hoaks.” Itulah sebabnya, demokrasi kita bertumbuh subur seluas halaman bibir belaka. Tidak diintimi dan dipimpin oleh rasionalitas, maka terjadilah kefakiran dalam berdemokrasi.
Ferdy Sambo sesungguhnya melakukan dua kasus sekaligus. Kasus pertama adalah dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Joshua Hutabarat. Kasus dugaan pembunuhan ini memosisikan Sambo sebagai antagonististik. Ia sangat dibenci. Ia dikutuk oleh masyarakat Indonesia atas perbuatan keji yang dilakukannya. Ia harus mendapat hukuman setimpal. Sebab, ia seorang jenderal polisi yang seharusnya mengawal nyawa siapapun. Lebih memalukan dan memilukan lagi, pembunuhan itu lantaran skandal (seks).
Kasus kedua, Ferdy Sambo menghacurkan institusi kepolisian. Kasus kedua terjadi sebagai efek kasus pertama. Sebut saja, Sambo Efect (Efek Sambo). Efek Sambo meluas bukan saja pada pati-pati polisi yang terlibat dalam dugaan pembunuhan Brigadir Joshua, melainkan juga perlahan tersinsing labirin jenis skandal atau mafia lain di tubuh institusi kepolisian yang melibatkan bandit-bandit di luar sana. Kasus penghancuran terhadap institusi kepolisian memosisikan Sambo sebagai tokoh protagon yang dielus masyarakat. Karena, Sambo-lah yang menggergaji gerendel institusi kepolisian dan memberikan kesempaan kepada masyarakat untuk memeriksa ruang remang di sana yang sarat skandal dan mafia. Terasa penting pula menggeledah institusi kepolisian yang selama ini bertugas menggeledah masyarakat. Ada semacam dendam dingin antara polisi dan masyarakat lantaran masyarakat telah mempercayainya sebagai penjaga moral. Ia diberi peran sebagai sapu yang membersihkan kotoran. Padahal, sapu itu sendiri mengandung kotoran. Bagaimana mungkin membersihkan lantai Indonesia dengan sapu yang kotor?
Dalam konteks ini, Sambo menjadi peniup nafiri yang mengingatkan masyarakat dan pemerintah tentang kebobrokan lembaga itu. Sepertinya, keadaan pun mungkin sudah hamil tua. Meminjam terminologi orang-orang di kampung saya di Manggarai Timur, “penong gi,” (terlalu penuh). Karena mafia dan sakndal di sana bukan sekadar kekeliruan, melainkan keterlaluan (penong gi). Sudah waktunya keadaan seperti itu harus dimuntahkan biar dahak dan lahar-lahar skandal yang melengket di institusi itu melorot separuhnya.
Belakangan, efek Sambo menjalar ke mana-mana. Kasus dipilin dan dipelintir. Kasus Sambo menumbuhkan kasus lain. Bagai “amuba,” makhluk yang membiak dengan membelah dirinya. Mulai dikaitkan-kaitan dengan kasus yang di luar radius kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Bahkan, kasus ini dijadikan kontainer yang mengangkut kepentingan tertentu. Anda bisa menyaksikan pengacara Brigadir Johsua, Kamarudin Simanjuntak yang kian cengeng. Ia terkenal bukan karena membela Joshua, tetapi kelihaiannya untuk membabar dan membeberkan kasus di luar lokus perkara Joshua. Disangkutpautkannya sedemikian rupa hingga menyentuh istana. Ia mengeritik Presiden Jokowi yang hanya mengutamakan pembangunan infrastruktur daripada sumberdaya manusia (SDM). Frasa-frasa in sangat sering dinyinyir oleh kelompok oposan. Pernyataan semacam itu hanya mengalami duplikasi sebagai bentuk superlasi untuk menggambarkan keoposisian kelempok tertentu terhadap pemerintahan Joko Widodo. Simanjuntak terkesan menjadi juru bicara oposan dengan memanfaat kasus yang lagi viral. Mumpung ada kasus, para politisi dengan sindikat yang itu-itu juga ikut berenang dalam air keruh demi menuju dermaga 2024.
Drama dan Sambo Efect belum bertepi, Isunya terus-menerus disimpangsiurkan. Rekonstruksi yang dilakukan Sambo menumbukan masalah baru. Ada rasa rekayasa. Keadaan ini justeru menyodok Kapolri ke ujung tanduk skandal Sambo. Pada pihak lain, pemerintah masih melakukan obsevasi terhadap kangker stadium akhir ini sebelum melakukan opname terhadap institusi kepolisian yang mengalami pendarahan hebat tersebut.
Hai-hari ini, kepercayaan masyarakat drop (jatuh) seketika terhadap institusi kepolisian. Polisi lagi mereguk segelas empedu efek Sambo. Bayangkan, di mana-mana polisi berbaris, masyarakat meneriakinya, “Sambo, Sambo, Sambo” diringi tawa tipis untuk sinis. Diakui, polisi memang paling kuat. Ia terus berdiri tegak di tengah gelombang cemoohan masyarakat. Sedangkan jalan untuk menemukan the end skandal Sambo masih kelam dan sarat misteri.
Jikalau perjalanan kasus ini sampai pada tikungan yang paling pasrah, mungkin kita hanya berucap melalui kata-kata yang mulai membiru, “Semoga Tuhan membukakan jalan dan mengajarkan kita bahasa cinta.” Walau masih terdengar himne yang membusuk di geladak, lantaran tersedak oleh kelakuan-kelakuan batil.*/)Artikel ini pernah ditayang di Victory News, Rabu 7 September 2022