KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Prsiden RI Joko Widodo memberikan jatah kepada Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengembangkan tanaman sorgum seluas 15.000 Hektar (Ha). Kepala Negara juga mendorong lembaga keuangan terutama Bank NTT turut mensukseskan program Nasional tersebut.
Direktur Utama Bank NTT, Harry Alexander Riwu Kaho menyatakan komitmennya untuk mendukung permintaan Presiden Joko Widodo. Komitmen itu disampaikan Dirut Alex dalam Dialog Lintas Kupang Pagi di RRI Kupang, Jumat (2/9/2022). Dialog dengan tema Langkah Konkret Mewujudkan NTT Sebagai Penyuplai Sorgum Nasional’ ini juga menghadirkan narasumber Kadis Pertanian dan Tanaman Pangan NTT, Lecky F Koli dan Kadis Pertanian Kota Kupang, Obed Kadji.
Dilansir dari LintasNTT.com, Dirut Alex Riwu Kaho mengatakan, pembiayaan yang didukung Bank NTT mulai dari benih, pupuk hingga sarana produksi. “Secara teknis, kebutuhan biaya produksi per hektare atau per lahan yang akan digarap,” ujarnya.
Untuk itu, Bank NTT telah menyediakan fasilitas kredit mikro merdeka yang bisa dimanfaatkan oleh petani sorgum. Petani boleh meminjam antara Rp 500 ribu sampai maksimal Rp5 juta dengan jangka waktu pengembalian maksimal selama satu tahun.
Menurutnya, Bank NTT sebagai agent of development, juga membangun jaringan dengan pasar atau offtaker untuk terlibat alam sistem pembiayaan tersebut.
Ia mendorong agar pelaku usaha yang terlibat, membentuk wadah seperti koperasi petani sorgum yang nanti akan memudahkan dalam mengakses pembiayaan. “Kita costumize (menyesuaikan) dengan kondisi dengan kondisi yang ada. dan desain kita ke depan adalah tercipta kemandirian dalam berusaha dan kemandirian dalam pembiayaan, baik perorangan maupun kelompok,” ujar Dirut Alex.
Kadis Pertanian dan Tanaman Pangan NTT, Lecky F Koli mengatakan sesuai tugas yang diberikan Presiden Jokowi kepada Provinsi NTT, pada 2023 luas areal sorgum harus mencapai 15.000 hektare di seluruh kabupaten dan kota di NTT.
Menurutnya pada 2020 luas areal sorgum tecatat 2.800 hektare dan 2021 naik menjadi 3.200 hektare. “Benar, kita ini mendapaat tugas mengembangkan tanaman sorgum karena dari kondisi global mengalami defisit sehingga kita di Indonesia harus menyiapkan satu skenario alternatif sumber pangan baru,” kata Lecky. Lokasi pengembangan sorgum tersebut yakni di daerah pantura Flores, Sumba, Sabu, Rote, dan Pulau Timor.
Menurutnya, lahan yang yang bisa dijadikan areal pengembangan sorgum di NTT sekitar 800.000 hektare di seluruh kabupaten. “Kita fasilitasi lahan yang ada serahkan ke pemerintah untuk dapat ditanami sorgum. Ekspansi lahan penanaman sorgum akan memberikan dampak terhadap produksi barang dan jada dan juga sumber pertumbuhan ekonomi baru,” katanya
Adapun Kadis Pertanian Kota Kupang, Obed Kadji mengatakan pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada 240 kelompok tani termasuk kelompok tani milenial untuk menaam sorgum. “Rata-rata mereka menyambut dengan baik, tetapi yang menjadi tantangan adalah bibit,” ujarnya.
Alam dan Masyarakat NTT Akrab dengan Sorgum
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat cocok menjadi salah satu daerah sentra pengembangan sorgum di Indonesia. Pasalnya, iklim atau agroklimatnya sangat mendukung. Masyarakat setempat umumnya juga sudah sejak lama akrab dengan sorgum, meski belakangan agak langka.
Pandangan itu disampaikan oleh pakar pertanian dari Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Leta Rafael Levis. “Kita lihat sejarah masyarajat perkampungan daerah ini (NTT). Dulu, di kampung kampung kita saksikan kebun sorgum meluas dan tumbuh subur. Itu karena sorgum memang cocok dengan iklim atau agrokilmat NTT. Sementara itu masyarakat kita sudah akrab dengan sorgum sebagai salah satu sumber pangan keluarga,” jelas Leta Rafael Levis menjawab pertanyaan SelatanIndonesia.com, Jumat (19/8/2022).
Leta Rafael Levi dimintai komentarnya menyusul arahan Presiden Joko Widodo. Mengutip berbagai pemberitaan, Presiden Jokowi secara resmi telah memilih komoditi sorgum sebagai alternatif pengganti gandum yang selama ini diimport terutama dari Ukraina. Pasokan import itu belakangan terganggu sejak negara itu terlibat peperangan dengan Rusia. Menurut Presiden Jokowi, salah satu solusi yang diambil adalah mengembangkan tanaman sorgum di sejumlah wilayah di Indonesia. Provinsi NTT dusebut menjadi salah satu wilayah sasaran utama yang diproyeksikan menjadi sentra pengembangan sorgum di Indonesia.
Dua aspek pokok
Menurut Leta Rafael, ada dua aspek pokok yang perlu menjadi patokannya. Pertama, keadaan iklim atau agrokilamt dan social budaya. “Banyak tanaman yang cocok dari aspek agrokilmatnya tetapi tidak pas dengan sosial budaya. Sehigga banyak juga tanaman yang tidak berhasil dikembangkan. Dan NTT, untuk sorgum dua aspek ini cocok. Baik agroklimat maupun sosial budaya, masuk,” sebutnya.
Meski demikian ia membeberkan sejumlah aspek yang menjadi kendala dalam upaya pemenuhan ketahan pangan dewasa ini. Diantaranya, Pemansan Global yang berpengaruh pada prediksi musim yang menjadi tidak akurat. Karena, jenis tanaman tertentu akan tergerus dengan perubahan iklim. Selain itu, perubahan iklim menyebabkan sumber air menjadi kurang. Hal lainnya adaah panedmi Covid-19 yang berdampak pada kegiatan ekonomi yang berakibat pada kurangnya produktifitas petani dan berpengaruh pada ketersediaan pangan.
“Juga soal perang Rusia dan Ukraina. Karena memang kita selama ini import gandum dari Ukraina cukup besar karena penduduk kita banyak dan konsusmi roti kita di Indoensia sangat tinggi. Dan, bahan dasarnya gandum,” sebutnya.
Hal krusial lainnya menurut Rafel adaah di Indonesia soal alih fungsi lahan yang marak terjadi di mana-mana. “Contoh di Oepoi, Kota Kupang. Sebelum ada Flobamora Mall di tahun 2004, area itu merupakan persawahan, tidak ada rumah. Sekarang rumah penuh. Juga di Mbai Nagekeo, Lembor di Maanggarai Barat dan persawahan lain di Flores. Sudah banyak sekali alih funsgi lahan dan itu angat mengancam ketahanan pangan kita. Juga di daerah lain di Indonesia seperti Kerawang itu dulu gudang beras, sekarang berdiiri pabrik-pabrik. Juga jalan toll Jakarta-Surabaya itu berapa banyak lahan yang terkooptasi. Ini ancaman serius soal alih fungsi lahan,” sebutnya.
Ia menyarankan Pemerintah agar segera membuka lahan baru yang masih tidur. “Saya pernah lakukan riset di tahun 2017 dan menyatakan bahwa 40 tahun lagi Indonesia kehilangan lahan produktif. Dan, hal hal krusial ini sangat risakn soal ketahanan pangan,” ujarnya.
Magister Pertanian dari Australia ini mengatakan, di NTT saat ini pengembangan sorgum dengan tata kelola yang bagus dan sistematis hanya ada di Kabupaten Flores Timur oleh Ibu Maria Retha. Sedangkan di daerah lain, Pemerintah mengatakan, sorgum itu penting tetapai perhatian dan dukungan dana untuk pengembangan sorgum hampir tidak ada. “Betul bahwa Pak Presiden mau jadikan sorgum sebagai yang utama tetapi dimana anggaran pemerintah untuk pengembngan sorgum, ini yang perlu jadi perhatian Pemerintah. Dari dulu saya mengamati bahwa Pemerintah bicara soal difersifikasi pangan non beras dengan pangan lokal, tetapi anggaran untuk itu hampir tidak ada. Untung saja petani kita sudah terbiasa menanam itu, tetapi yang direncanakan secara sistematis oleh pemerintah itu tidak ada,” jelasnya.
Setelah Presiden menetapkan NTT sebagai salah satu wilayah untuk pengembangan sorgum maka Pemerintah Daerah diharapkan segera melakukan perencanaan yang terfokus dan pemetaan lahan yang jelas. “Di mana lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian khususnya sorgum. Kelemahan kita di NTT adalah lahan kita sporadis. Untuk mencari lahan dengan hamparan luas, memang ada tetapi agak susah. Mungkin di daratan Timor dan Sumba lebih banyak dibandingkan Flores. Maka dibutuhkan keseriusan Pemerintah untuk menata kembali lahan-lahan yang berpotensi untuk memeproduksi pertanian, tetapi belum dimanfaatkan,” ujarnya.
Disebutkan Rafael, persoalan lain yang dihadapi tentang lahan di NTT adalah kepemilikan tanah dalam bentuk komunal, bukan per individu. “Ini yang perlu dicarikan solusinya sehingga lahan bisa dimanfaatkan. Butuh kehadiran pemerintah untuk menyelesaikan sehingga lahan bisa dimanfaatkan,” katanya.***Laurens Leba Tukan