Pakar Hukum Apresiasi Sikap Doris Rihi yang Siap Eksekusi Putusan PTUN tentang Pilkades Kolilanang

316
Pakar Hukum Tata Negara Undana Kupang Dr. Jhon Tuba Helan dan Penjabat Bupati Flotim Drs. Drosi Alexander Rihi, M.Si

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Jhon Tuba Helan memberikan apresiasi kepada Penjabat Bupati Flores Timur, Drs. Doris Alexander Rihi.

“Sikap yang sportif menerima kekalahan dalam perkara TUN, dan ini menjadi contoh bagi pejabat yang lain,” sebut Dr. Jhon Tuba Helan kepada SelatanIndonesia.com, Kamis (12/8/2022).

Menurut Dr,Tuba Helan, Penjabat Bupati Flotim menunjukan sikap yang bijaksana karena menerima putusan PTUN dan tindak menempuh upaya hukum banding. “Ini luar biasa, keputusan Penjabat Bupati yang tidak Banding. Ini merupakan gambaran sikap yang bijaksana dan patut dicontohi oleh pejabat lain. Juga sebagai warga negara yang ada di Flotim, mesti mencontohi sikap taat hukum seperti ini dalam setiap persoalan,” tegasnya.

Dr. Tuba Helan juga membeberkan kajian hukum atas sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha Negara. Menurutnya, mungkin saja dalam sebuh keputusan terjadi kekeliruan/kesalahan dalam menerbitkan keputusan. Hal ini karena keputusan dikeluarkan oleh pejabat yang juga adalah manusia yang tidak luput dari kekurangan.

Dijelaskan, menurut para ahli hukum administrasi, bahwa terhadap sebuah keputusan yang yuridis sempurna tidak boleh dicabut/diubah. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.

“Sebaliknya, terhadap sebuah keputusan yang mengandung kekurangan/cacat, dapat dicabut/diubah oleh yang mengeluarkan keputusan. Namun, dalam penarikan kembali atau mengubah keputusan dimaksud, harus memperhatikan beberapa syarat tertentu,di antaranya 1). Keputusan yang dikeluarkan karena ada kekeliruan dari yang membuat keputusan, penipuan dari yang memohon keputusan; 2). Berlaku asas contrarius actus, yakni prosedur mencabut/mengubah keputusan sama dengan prosedur mengeluarkan keputusan,” jelasnya.

Dikatakan, implementasi dari ketentuan mencabut / mengubah keputusan tersebut di atas, maka di setiap akhir dari sebuah keputusan selalu mencantumkan perisai pengaman yang berbunyi “apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dari keputusan ini, maka keputusan dapat dicabut/diubah sebagaimana  mestinya”.

Kemungkinan mencabut sebuah keputusan yang telah dikeluarkan diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 64 mengatur bahwa “keputusan dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat wewenang, prosedural, dan/atau substansial.

“Terhadap keputusan pembatalan berita acara hasil pemilihan kepala desa Lewo Ingu oleh Bupati Flores Timur dengan Putusan Nomor 328 Tahun 2021 tanggal 7 Desember 2021, terdapat kekeliruan dalam hal penerapan hukum yakni Bupati keliru menerapkan hukum dalam menyelesaikan masalah proses yang seharusnya menjadi wewenang panitia pemilihan di tingkat desa. Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa dan Peraturan Bupati tentang Penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa, mengatur bahwa jika terjadi masalah yang berkaitan dengan proses maka diselesaikan oleh panitia pemilihan di desa yang bersangkutan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Sedangkan, sengketa hasil pemilihan menjadi kewenangan Bupati. Dengan demikian, secara hukum Bupati tidak berwenang menyelesaikan masalah proses, karena telah ada pembagian wewenang secara jelas, yakni masalah proses diselesaikan oleh panitia, dan masalah hasil diselesaikan oleh bupati. Dengan demikian, telah terjadi cacat wewenang dalam pembatalan berita acara hasil pemilihan kepala desa Lewo Ingu,” ujarnya menjelaskan.

Dr. Tuba Helan menambahkan, pembatalan berita acara hasil pemilihan kepala desa Lewo Ingu menimbulkan kegaduhan/konflik di masyarakat sampai saat ini. Itu pasalnya, untuk mengakhiri konflik tersebut, langkah bijak yang ditempu adalah dengan mencabut keputusan pembatalan berita acara pemilihan kepala desa oleh Bupati, selanjutnya mengeluarkan keputusan penetapan kepala desa terpilih, dan dilantik agar dapat melaksanakan tugas secara nyata dalam memimpin masyarakat.

Persoalan bahwa kasus sudah dibawa ke ranah yudikatif dan telah diputuskan pada tingkat pertama dan dalam proses banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya oleh penggugat, Tuba Helan mengatakan, hal tersebut dapat dikemukakan bahwa berlaku asas “presumption justae causa”.

“Asas itu berarti sebuah keputusan yang menjadi objek sengketa tetap dianggap sah dan berlaku selama belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan tersebut sebagai keputusan yang tidak sah. Oleh karena itu, walaupun keputusan yang bersangkutan sedang dalam proses di pengadilan tinggi tata usaha negara, namun keputusan bupati tetap dianggap sebagai keputusan sah sehingga menjadi kewenangan dari pejabat yang mengeluarkan keputusan mencabutnya, atas dasar cacat kewenangan. Pencabutan didasarkan pada pertimbangan demi kebaikan masyarakat setempat untuk mengakhiri konflik yang terjadi di tengah masyarakat,” sebutnya.***Laurens Leba Tukan

 

Center Align Buttons in Bootstrap