Cerpen : P. Tarsy Asmat MSF
Lewotana Larantuka adalah sebuah kota cantik yang dikelilingi dengan laut biru. Dari bukit Fatima terlihat kapal-kapal kecil nelayan berseliweran di kanal-kanal laut yang menghubungkan Larantuka-Adorana.
Bukit-bukit kecil dengan putihnya dedaunan kemiri seperti bunga teretai di tengah laut biru. Lesiana selalu menumpah rindunya setiap senja di tepi Laut Tana Merah.
Rindu tentang para bujang yang menakluk ombak dan sepi di tanah rantau. Ia merindukan seseorang yang pernah memberi janji padanya tentang suatu musim semi yang indah.
Musim pesta dan musim Bahagia penduduk-penduduk kampung.
Ia menyimpan baik nama itu, “Kopong”. Kopong meninggalkannya setelah mereka lulus SMA.
Di tepi laut tanah Merah, Lesiana melepas tali sauh kapal yang membawa Kopong kemana saja angin ingin membawanya pergi.
“Aku akan pulang untukmu Lesiana tetapi aku bukan pembuat waktu” Kopong berjanji padanya.
Namun Lesiana tahu caranya bagaimana melepaskan seorang yang dicintainya. “No, pada Likat ina, aku menunggumu!”, kata Lesiana terbata-bata.
Kadang ia terhibur oleh desir dedaunan nyiur yang disapu angin pantai. Tetapi karena terbiasa, ia sudah mahir melakukan itu setenang para nelayan memburu ikan Paus pada malam-malam yang istimewa.
“Kapan Kopong pulang?” Dia selalu bertanya setiap senja dengan semburat merah melingkup batas-batas pulau.
Bertahun-tahun, tak satupun kapal yang datang membawa Kopong. Kopong tak ada kabar, tak ada berita dari celah-celah bukit.
Tobi seorang pria asing sudah lama berada di Larantuka. Dari cerita para guide ia mendengar nama Lesiana. Lesiana sangat dikagumi oleh banyak pria, bahkan beberapa pria ingin menikmatinya dengan cara yang kejam. Mereka menyusun taktik dengan kepala desa.Tetapi selalu gagal. Sebab Lesiana juga pandai membaca gelagat para penjahat itu.
Dengan uang jual gading beberapa tahun silam dari kakeknya, Lesiana mendirikan Koperasi di kampungnya. Koperasi itu berkembang dengan baik, sehingga banyak pemuda bekerja dengannya. Bahkan Koperasi itu telah mendidik mama-mama menjadi perempuan mandiri. Sebab di Lewotana, pusat kehidupan adalah perempuan.
Pemuda-pemuda yang bekerja di Koperasi Lesiana, merekalah selalu menjaga Lesiana dari marabahaya.
Karena menjadi omongan banyak orang, Tobi pun ingin bertemu dengan Lesiana. Pada hari Minggu, Tobi datang ke pasar Wae Werang. Sebab dari informasi para guide, Lesiana selalu ada di pasar Wae Werang pada hari minggu. Ia menjual sarung tenun Adonara di sana.
Ketika bertemu dengan Lesiana, Tobi langsung jatuh cinta dengannya.
“Hei aku Tobi!”, Tobi memperkenalkan diri.
“Lesiana!” Jawab gadis itu.
“Kamu cukup terkenal disini yah!” Tobi memuji. “Sebenarnya kamu tidak puas dengan ini saja. Kamu akan mendapatkan yang akan kamu mau jika kamu meninggalkan Lewotana. Untuk apa kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti disini Lesiana? Orang-orang menunggu buah pepohonan jambu mente, kemiri yang sangat tergantung pada musim baik atau tidak?” Tobi menanyakan itu padanya dengan nada mencemoohkan.
Tetapi Lesiana tahu, Tobi ingin memilikinya. Tobi bukanlah pemburu Paus di lautan ganas yang mampu menaklukan ombak setinggi tiang bendera, sampai mereka mendapatkan Paus besar untuk pesta rakyat. Bagi Lesiana, Tobi adalah satu dari sekian puluh pria pecundang yang menggodanya. Tetapi ia membiarkan pemuda pecundang menemukan jalan mereka di selat-selat yang penuh dengan perangkap ombak spiral yang ganas. Mereka tidak akan tahu harta yang tersimpan di Lewotana.
Lesiana memang seorang gadis yang cantik. Hidungnya tirus, rambutnya bergelombang seperti ombak yang tenang. Matanya tajam memandang seperti induk Paus di lembah lautan. Bentuk wajahnya seperti peranakan Nepal. Ia bagaikan sihir bagi para lelaki kesepiaan dari berbagai penjuru.
Kalau ia tersenyum gadis-gadis sebayanya, irihati. Tawanya seperti menghidangkan seteguk sari dari mayang-mayang kelapa yang disantap dengan jagung titi pada senja hari di depan bale-bale rumah.
Untuk membunuh rindu, pagi hari Lesiana selalu mengunjungi kebun kemiri milik ayahnya. Memang, keluarganya memiliki bukit-bukit yang bertumbuhkan pepohonan kemiri. Jalan-jalan ke kampungnya dipagar oleh pepohonan Kelapa. Dan Lesiana memiliki semuanya.
Tidak seperti perempuan yang pandai bersolek dan setelah itu memamerkan kecantikannya di media sosial, Lesiana tampak memiliki hidupnya sendiri. Ia milik semesta Lewotana dan hanya Kopong, nama yang terukir di loh hatinya. Seorang pemuda pemburu Paus yang sedang memburu mimpi di suatu tempat di negeri ini.
“Tobi, aku tak akan mencintaimu!” Kata Lesiana dingin. Ia mengemas barang dagangannya dan meninggalkan Tobi serta rombongannya.
**
Udara dingin menyelimuti Kolilanang, mama-mama baru pulang dari arisan di salah satu rumah warga. Mereka mengusung barang-barang dikepala dan tubuh mereka dibalut dengan sarung tenun. Lesiana ada diantara mereka.
Setelah berada di rumah, Lesiana menyalakan api di tungku api (likat). Sinar api memerah pipi ronanya. Ia tampak asik dengan dirinya.
Beberapa pemuda kampung datang, duduk melingkar di sekeliling tungku api. Seorang perempuan muda membaca puisi berjudul “Kembali pulang”. Hanya orang yang mengerti tertegun mendengar barisan ritma puisi itu.
“Itu puisi untuk memanggil Kopong pulang!” kata Juan.
Lesiana terperanjat dari lamunannya. Sebenarnya puisi itu memang tentang Kopong dan para perantau. Doa dan rindu seorang mama untuk anaknya.
“Kopong!” Lesiana lirih menyebut nama itu dan tak seorangpun yang mendengar ucapannya.
“Oh besok ada pelatihan pemanfaatan serabut kelapa untuk membuat sofa dan pelatihan marketing bagi para pengrajin moke!, Juan, kamu harus ikut!” Kata Lesiana mengingatkan pemuda-pemuda itu.
“Entah pelatihan apa lagi yang harus kita ikuti? Setelah melatih ketrampilan seperti itu, kita tidak berubah. Kita selalu bergantung pada jambu mente yang berbuah seperti pohon terkutuk itu?” Timpal Juan sedikit kesal.
“Yang menjadi persoalan di daerah Lewotana, bukan SDMnya Lesiana, tetapi kita tidak punya akses ke pasar-pasar! Kopra-kopra kita mau jual kemana? Dacunha mendukung Juan. Ia barusan lulus sebagai sarjana Ekonomi dari salah satu kampus di Jawa.
Lesiana memandang mereka! “Lalu untuk apa kamu ada disini! Kalau semua hal kamu anggap sebagai masalah untukmu? Mengapa kau tidak pergi seperti Kopong saja? Kamu itu pulang karena di likat ina ada cinta, No”, Lesiana membantah argument kedua pemuda itu.
Dacunha dan Juan terdiam! Lusiana memang omong seperti jarum yang menjahit jantung dan hati keduanya.
“Kau selalu benar Lesiana! Tapi lihatlah, ketika kau memandang Lewotana ini, kau hanya menemukan disetiap sisinya selalu ada laut!”
“Laut tidak salah, lewotana juga tidak salah, to No! Hanya kalian berdua tidak melihat indahnya Lewotana ini! Jangan-jangan itulah yang membuat kamu tidak ke Gereja karena Tuhan pun kamu salahkan?
“Adoh Ina jangan begitukah!” Juan berkata pelan.
Tidak No! Lewoleba, Lemalera, Kolilanang sampai Niwak adalah harta yang indah! Hanya Lewotana membutuhkan orang-orang yang membuka mata dan berpikir untuk tanah Lewotana. Jagung titi bisa dibuat kemasan, lalu kita jual. Keindahan laut kita, kita promosikan dan banyak hal lain yang bisa kita lakukan.
Lesiana seperti memberi kuliah umum kepada kedua pemuda itu.
Juan dan Dacunha menyimak Lesiana sambil mengunyah jagung titi. Juan paling banyak menghabiskan jagung titi yang enak itu. Dacunha mereguk tuak putih. Ia kemudian menuju tempat tidur, karena malam terlalu larut.
Begitu juga Lesiana menyusul mereka, ia ke kamar tidurnya. Ia berharap Kopong mendatangi mimpinya dan matahari pagi membawa kabar tentang Kopong! Tetapi bukankah Kopong mengatakan kepadanya, ia bukan pembuat waktu?”
Lesiana menutup matanya sampai sinar matahari membangunkannya lagi. Dan hari-hari berputar terus seperti biasa! Kapal-kapal tak membawa kabar tentang Kopong! “Lewotana memanggilmu Kopong! Pulang sudah! Haha
—-
inspirasi tour de flores Juli 2022.
**Pater Tarsisius Asmat MSF, belum lama ini mengunjungi Lewo Kolilanang dan menginap dua malam. Pastor asal Manggarai ini ke Adonara untuk menghadiri pesta pancawindu Pater Pius Geroda MSF di Niwak, Lite, Kecamatan Adonara Tengah.