KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Peristiwa keji percobaan pembunuhan terhadap wartawan/Pemred media Suaraflobamora.com, Fabianus Latuan pekan lalu di Kupang, menjadi ujia bagi Kapolda NTT, Irjen Pol. Setyo Budyanto. Pasalnya, Jenderal dua bintang di pundaknya itu sebelum menjabat Kapolda NTT, ia adalah Direktur Penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kasus Fabian Latuan menjadi ujian bagi Kapolda NTT yang mantan Direktur Penyidikan KPK, apakah memilih mendahulukan penyidikan penganiayaan dan mengesampingkan kasus dugaan korupsinya. Atau kedua-duanya harus diungkap. Mengingat dua-duanya penting dan harus dicari benang merahnya apakah terkait aktivitas Fabian Latuan sebagai pegiat anti korupsi atau tidak,” sebut Koordinator Tim Penegak Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, SH kepada SelatanIndonesia.com, Selasa (3/5/2022).
Petrus medesak Kapolda NTT harus tampil elegant memastikan apakah ada korupsi di PD. Flobamor. “Jika saja ya, maka harus dicari apakah penganiayaan ini adalah bagian dari upaya pihak tertentu untuk menghalangi pengungkapan korupsi secara dini,” katanua.
Disebutkan Petrus, publik sudah mengultimatum Polda NTT untuk segera mengungkap identitas pelaku dan intelektual dadernya dan segera menangkapnya, jika tidak maka Polisi bisa dinilai sebagai bagian dari penggunaan kekuatan untuk mempertahankan pola korupsi yang ada di NTT, yaitu saling menyandera untuk saling melindungi.
“Kekerasan fisik dan verbal yang sering diperhadapkan pada penggiat anti korupsi dan jurnalis di NTT, merupakan strategi untuk membungkam peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi di NTT, dengan cara-cara intimidatif yang dimainkan oleh pihak yang berkepentingan dengan kroni-kroni dalam kekuasaan,” sebutnya.
Ia menjelaskan, tipologi korupsi di NTT sudah terbangun dengan pola saling menyandera untuk saling melindungi, karena itu ketika ada peristiwa kekerasan terjadi terhadap pegiat anti korupsi Fabian Latuan, terkait sikap kritis terhadap KKN di lingkaran dalam kekuasaan, maka sulit rasanya pelaku diungkap tuntas secara hukum.
“Ini juga semakin memperlihatkan sebuah fenomema, dimana korupsi di lingkaran pusat kekuasaan tidak boleh dikontrol atas nama dan dalam bentuk apapun. Dan jika coba-coba dikontrol, akan berhadapan dengan cara kekerasan dan kekerasan itu akan menjadi berita menarik untuk menutup isu korupsi yang sedang disorot,” jelasnya.
Menurut Petrus, gambaran pembungkaman terhadap peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, terutama pegiat anti korupsi dan wartawan, nampak jelas dari lambannya Polisi melakukan tindakan kepolisian di TKP terutana mengungkap siapa saja pelaku dan dalangnya. Jangan sampai publik hanya dijanjikan sekedar pemanis di bibir.
“Di lihat dari locus dan tempus delictinya, maka peristiwa penganiayaan atau percobaan pembunuhan yang menimpa Jurnalis Fabianus Latuan di halaman Kantor PD. Flobamor, usai mengikuti jumpa pers pada 26/4/2022 dengan jajaran Direksi dan Komisaris PD. Flobamor, diduga terhubung materi klarifikasi dugaan korupsi itu sendiri,” ujarnya.
Pasalnya, yang mengklarifikasi isu korupsi terkait LHP BPK RI tentang Deviden Rp.1,6 miliar PD. Flobamor yang disebut-sebut tidak disetor ke Pemprov NTT, adalah Direksi dan Komisaris. “Karena itu Direksi dan Komisaris PD. Flobamorapun harus diproses untuk dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau setidak-tidaknya memulihkan hak-hak Fabianus Latuan,” katanya.
Petrus menyebut, peristiwa naas menimpa Fabianus Latuan, usai mengikuti klarifikasi dari PD. Flobamor saat hendak keluar dari area parkir PD. Flobamor, ia dianiaya oleh sekelompok orang bercadar hingga babak belur tanpa diketahui siapa pelakunya.
Padahal Wartawan Fabianus Latuan sebagai pihak yang mengkonstatir dugaan korupsi dana deviden PD. Flobamora untuk Pemprov NTT, kemudian diundang untuk mendapatkan klarifikasi. “Menurut UU Fabianus Latuan harus mendapat perlindungan hukum, karena melakukan peran serta dalam mengungkap dugaan korupsi. Apa yang dialami Fabian Latuan, cerminan sikap sebagian Penyelenggara Negara yang anti terhadap kontrol publik, lantas menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan ladang korupsi. Ini juga pertanda setiap rezim yang berkuasa pola korupsinya ikut berubah bahkan bermetamorfosa termasuk cara mengamankan korupsi,” jelas Petrus.***Laurens Leba Tukan