Oleh Tuan Kopong SMF
Keputusan pemerintah Kabupaten Flores Timur dalam hal ini Bupati Flores Timur (Flotim) pak Anton Gege Hadjon membatalkan pelantikan para kepala desa (yang tidak terlibat sengketa pilkades) di daratan Adonara hanya menjelang sekitar 12 jam hari pelantikan dengan alasan Kamtibmas (Keamanan dan ketertiban masyarakat) adalah sebuah keputusan yang dalam bahasa saya “meremehkan” Adonara sebagai pulau yang cinta damai dan persaudaraan.
Sebagai orang Lamaholot Pak Bupati tentunya lebih paham filosofi Adonara; “Onet tou kirin ehan” yang memperlihatkan kesatuan hati dan kekeluargaan orang Lamaholot terutama masyarakat Adonara. Memang harus diakui bahwa seringkali terjadi konflik hingga mengorbankan nyawa manusia dan materi namun konflik itu tidak bisa dijadikan alasan sebagai alasan Kamtibmas untuk membatalkan pelantikan para kepala desa terpilih di daratan Adonara.
Pak Bupati dan pak Wakil Bupati yang adalah orang Adonara seharusnya bisa lebih jernih didalam memetakan dan membedakan antara persoalan dan konflik sering terjadi di Adonara dengan sengketa pilkades di beberapa daerah di Adonara. Pak Bupati bersama pak Wakil Bupati seharusnya bisa memilah persoalan maupun konflik yang kerap terjadi di Adonara sehingga tidak gegabah dalam membuat keputusan pembatalan pelantikan para kepala desa yang justru melukai hati masyarakat Adonara.
Sebagai orang Adonara saya tetap meyakini bahwa Adonara adalah tanah damai yang mencintai perdamaian. Bahwa ada persoalan dan koflik kerap terjadi hingga mengorbankan nyawa dan materi tidak bisa digeneralisir bahwa setiap masalah di Adonara pasti berakhir dengan konflik dan pertumpahan darah. Dengan demikian tidak bisa juga dijadikan alasan pembatalan pelantikan para kepala desa di seluruh daratan Adonara, karena dalam kenyataan tidak semua desa yang sedang terlibat dalam sengketa pilkades. Tidak demikian pak Bupati dan Wakil Bupati Flotim!
Nilai Moral Dan Peran Aparat Keamanan
Keputusan pak Bupati yang membatalkan pelantikan para kepala desa se-daratan Adonara secara jelas bertentangan dengan nilai moral teristimewa penilaian moral secara objektif yang didasarkan pada keputusan suara hati atau hati nurani dan tidak serta merta hanya melalui pertimbangan keamanan.
Soal keamanan menurut saya adalah sebuah alasan yang tidak berdasar bahkan tidak masuk akal, karena peran Polri dan TNI serta Pol PP adalah dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika kemudian karena alasan Kamtibmas lantas membatalkan pelantikan secara sepihak maka pak Bupati dan para penegak hukum serta aparat keamanan di wilayah Kabupaten Flores Timur secara terang benderang melecehkan kewibawaan institusi keamanan sebagai pengayom masyarakat dan penjaga keamanan. Mereka dengan jelas mempertontonkan ketidakmampuan mereka di dalam mengurus keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Flores Timur.
Jika urusan keamanan dan ketertiban untuk pelantikan para kepala desa sedaratan Adonara saja “tidak mampu” maka saya semakin yakin bahwa setiap konflik yang terjadi di wilayah Kabupaten Flores Timur adalah juga kontribusi dari ketidakmampuan para aparat dalam menjunjung tinggi kewibawaan mereka untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Pak Bupati sejatinya harus melihat secara jernih laporan yang disampaikan dengan pertimbangan moral yang memberikan rasa keadilan dan kedamaian bahwa semua sudah dipersiapkan dengan baik dan matang serta setiap desa juga sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kepala desa mereka yang baru. Bahkan dalam penilaian moral ini pak Bupati juga seharusnya dan wajib mendengarkan suara dari para orang tua setiap desa untuk meyakinkan bahwa proses pelantikan akan berjalan aman dan damai.
Dengan mendengarkan suara masyarakat dan mempertimbangan kerja keras panitia dan masyarakat yang sudah mempersiapkan segala sesuatu, seharusnya pak Bupati bisa menerapkan prinsip minus malum (pengambilan keputusan yang memiliki resiko paling minim) untuk tetap melaksanakan pelantikan para kepala desa di wilayah Adonara dengan tetap berpedoman pada common good (kebaikan bersama) dan tidak semata pertimbangan “politis” pak Bupati dan para pihak terkait.
Mendengarkan masukan sepihak maka keputusanpun menjadi pincang dan menimbulkan keresahan dan kekecewaan yang lebih besar, dimana untuk menyembuhkan kekecewaan masyarakat Adonara membutuhkan proses waktu yang cukup lama karena sudah hilangnya kepercayaan kepada pemerintah daerah Flores Timur dalam hal ini pak Bupati dan Wakil Bupati.
Keputusan pak Bupati bersama para pihak terkait seharusnya sampai pada pertanyaan; “Seberapa adil suatu keputusan? Apakah keputusan itu memberikan rasa keadilan yang sama atau justru jatuh pada sikap diskriminasi?” Dari keputusan pembatalan itu menjadi nyata bahwa keputusan pembatalan tidak memberikan rasa keadilan yang sama namun jatuh pada sikap diskriminasi.
Paus Yohanes Paulus II mengatakan demikian; “The truth is not always the same as the majority decision” (Kebenaran tidak selalu sama dengan keputusan mayoritas) maka hati nurani yang harus menjadi pijakan pertimbangan dan penilaian moral atas keputusan tersebut. Bahwa apa yang disampaikan oleh para penegaku hukum dan aparat keamanan belum tentu benar maka perlu langkah lain untuk mendapatkan informasi yang akurat yang dapat membantu pak Bupati didalam mengambil keputusan.
Saya secara pribadi agak kecewa dengan keputusan sepihak pak Bupati Flotim dan para pihak terkait, karena keputusan itu seakan memperkuat paradigma orang lain tentang Adonara sebagai “pulau perang” meski dalam kenyataanya tidak demikian. Justru orang Adonara cinta damai. Maka meskipun keputusan pak Bupati mengecewakan hati masyarakat Adonara, keadaan dan situasi di Adonara tetap aman dan kondusif.
Situasi yang tetap aman, damai dan kondusif meski pelantikan para kepala desa dibatalkan walaupun semuanya sudah siap menjadi sebuah “tamparan” keras untuk pak Bupati Flotim bersama para pihak terkait bahwa informasi yang disampaikan kepada pak Bupati beserta keputusannya adalah salah dan keliru besar karena Adonara adalah tanah damai.
Semuanya sudah terjadi. Namun satu hal yang perlu diperhatikan oleh pak Bupati, Wakil Bupati dan para pihak terkait adalah menjadikan kearifan lokal masyarakat Adonara; “One tou, kirin ehan” sebagai jalan dan solusi dalam membangun peradaban di Flotim dan bukan dengan kekuasaan dan kepentingan politis.
Kesulitan besar akan pak Bupati hadapi kedepan dengan pembatalan ini dimana kehadiran penjabat kepala desa bisa melahirkan persoalan baru, namun kiranya itu diterima dengan lapang dada sebagai buah dari keputusan yang tidak berpijak pada penilaian objektif moral.**)Manila: 31 Desember 2021