
KALABAHI,SELATANINDONESIA.COM – Partai Golkar Kabupaten Alor mendesak Pemerintah untuk segera berhentikan para Pendamping Desa yang merangkap pengurus atau anggota partai politik tertentu. “Pemerintah segera memberhentikan pendamping desa dari unsur partai politik agar berbagai program melalui dana desa tidak menjadi alat politik partai tertentu,” sebut Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Alor, Sulaiman Singsh, SH kepada SelatanIndonesia.com, Senin (4/10/2021).
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Alor ini mengatakan, dalam Undang-Undang memang tidak dinyatakan dengan jelas mengenai larangan berpolitik praktis bagi para pendamping desa, makanya motif ekslusive diatur dalam kode etik dan kontrak kerja. Hampir mustahil bila pendamping desa jika berbeda pilihan partai politik maka bisa dipastikan kontrak kerja akan selesai dan tidak diperpanjang. “Ini yang membuat pendamping desa nampak semakin jelas berpolitik praktis,” sebut Sulaiman.
Salah satu bakal calon Bupati Alor dari Partai Golkar ini menegaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa yang menjadi tenaga pendamping desa juga menjadi anggota atau pengurus partai politik atau calon anggota DPRD sebagaimana yang terjadi di PKB.
Ia mengatakan, Partai Golkar melalui Pendapat Akhir Fraksi terhadap Ranperda APBD Perubahan Tahun Anggaran 2021 belum lama ini sudah tegas mengingatkan agar menjadi perhatian pemerintah. “Jika ada tenaga pendamping desa yang terbukti menjadi pengurus dan atau anggota partai politik maka harus diberhentikan dari pendamping desa, sehingga tidak menjadi alat politik partai tertentu,” ujarnya.
Sebelumnya, Fraksi Parta Golkar DPRD Kabupaten Alor dalam Pendapat Akhir Fraksi rupanya memantau pergerakan para pendamping desa yang tugasnya memfasilitasi kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa, sebagaimana Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021.
Dala, Pendapat Akhir Fraksi terhadap Ranperda Perubahan APBD Alor Tahun Anggaran 2021 yang copyannya diterima SelatanIndonesia.com, Fraksi Golkar yang dipimpinan Azer D. Laoepada,SM.,SH menilai ada Pendamping Desa yang berafiliasi dengan partai politik tertentu.
“Fraksi menemukan ada sejumlah tenaga pendamping desa yang menjadi anggota dan pimpinan partai politik tertentu. Maka pemerintah perlu memperhatikan agar sedapat mungkin diberhentikan dari pendamping desa untuk menghindari diskriminasi dan isu-isu politik yang seharusnya tidak boleh terjadi,” sebut juru bicara Fraksi Partai Golkar Golkar DPRD Kabupaten Alor Maxensius A. Lelang.
Dilansir dari alorpos.com, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Alor, Drs. Imanuel Djobo,M.Si mengatakan, belum ada regulasi atau petunjuk, atau arahan dari pemerintah pusat bahwa pendamping desa dilarang berafiliasi ke partai politik tertentu.
“Tetapi kami sudah tegaskan kepada mereka (pendamping desa) bahwa mereka bekerja untuk seluruh komponen masyarakat. Karena itu hati nurani dan etika itu yang dipakai. Jangan sampai jabatan sebagai seorang pendamping desa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik, sehingga urusan-urusan pemberdayaan masyarakat menjadi terhambat karena ada diskriminasi,” tandas El Djobo.
Lebih jauh El Djobo mewanti-wanti bahwa jika pihaknya mendengar adanya laporan masyarakat terkait aktifitas politik praktis pendamping desa saat melaksanakan program pemberdayaan maka pemerintah daerah punya tanggung jawab membuat teguran dan laporan kepada pemerintah pusat.
Disinggung mengenai langkah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saat ini membuka pendaftaran bakal calon legislative untuk Pemilu 2024 secara dini, dan ada oknum pendamping yang mendaftarkan diri, El Djobo mengatakan bahwa itu hak politik setiap warga negara. Dan belum ada petunjuk bahwa pendamping desa harus dilarang atau apapun.
“Kami sudah berkomunikasi dengan propinsi (Dinas PMD Propinsi NTT), dan propinsi mengatakan bahwa belum ada informasi lanjutan dari pemerintah pusat, bahwa mereka (pendamping desa) dilarang berafiliasi dengan partai politik. Kita tidak bisa melangkahi, atau mengambil keputusan sendiri, sehingga harus menunggu petunjuk dari pemerintah pusat,”pungkas El Djobo.
Masih menurut alorpos.com, Machris Mau,SP selaku Koordinator Kabupaten (Korkab) Pendamping Desa di Kabupaten Alor kepada Alor Pos melalui telepon selulernya menyambut baik saran dan pendapat Fraksi Partai Golkar DPRD Kabupaten Alor dan juga berbagai kalangan lainnya tentang pendamping desa tidak boleh berpolitik.
“Saya anggap itu sebagai saran saja, karena pendamping desa itu, selain profesi yang melekat pada dirinya, dia juga masyarakat lokal yang punya hak-hak politik. Karena itu tidak perlu ada pihak yang merasa risih atau resah terhadap aktivitas pendamping desa yang bersentuhan dengan hal-hal politis,” kata Machris.
Ia berpendapat, hal ini sama saja dengan pendamping bergelut dengan hal-hal ekonomi, budaya dan seterusnya. Ia megaku heran, ketika seorang pendamping berktivitas dalam mendorong pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan ekonomi, sosial dan lain-lain tidak disoroti, tetapi bersentuhan dengan hal-hal yang sifatnya politis, sepertinya banyak orang merasa resah dan gelisah.
Mungkin saja, kata Machris, banyak kalangan melihat bahwa pendamping desa ini selalu berada di tengah masyarakat, di desa-desa dan bersentuhan dengan berbagai elemen masyarakat, sehingga ada kekhawatiran tertentu. Sosok yang sudah sarat pengalaman di dunia penberdayaan masyarakat melalui LSM ini berpendapat, bahwa sama saja dengan ASN dalam melaksanakan tugas-tugas dan fungsi kenegaraannya bersentuhan dengan politik, lalu ada yang khawatir jangan sampai ASN tidak konsentrasi dengan tugas-tugas pengabdiannya tetapi berpolitik praktis.
“Ini persepsi. Jadi sah-sah saja persepsi orang, siapapun dia. Fraksi Golkar (di DPRD Alor) misalnya membuat pendapat akhir (dalam Rapat Paripurna) tentang Pendamping Desa kepada pemerintah Kabupaten Alor, maka silahkan, pemerintah bisa menghimbau kepada para pendamping, tidak hanya pendamping desa, tetapi juga Pendamping PKH, Pendamping Perikanan, Penyuluh Pertanian, Penyuluh Kesehatan,” tandas Machris.
Tetapi, demikian aktivis yang selalu kritis ini, jangan lupa bahwa hak-hak politik yang melekat di dalam diri pendamping sebagai masyarakat lokal. Toh kalau pada akhirnya dia (para pendamping) harus bersentuhan dengan politik praktis, jelas Machris, maka konsekuensinya dia harus memilih sesuai aturan yang mengikatnya.
“Katakan kita pendamping desa, di dalam kita punya SOP (Standard Operational Procedure) Pendampingan dan seterusnya. Kalau itu misalnya dilarang untuk berpolitik praktis, dan harus memilih apakah mundur dan lain-lain, maka itu konsekuensi dari pilihan. Itu nanti hasil keputusan akhir,”tegas Machris.
Tetapi sekarang, lanjut Machris, misalnya dia (pendamping desa) jalan sosialisasi diri, menyampaikan pesan-pesan politik dan pesan-pesan pembangunan tanpa mencampuradukan dengan waktu melaksanakan tugasnya sebagai pendamping desa, maka itu tidak perlu dipermasalahkan.
“Tidak perlu alergi, resah dan gelisah. Saya hormati pendapat Fraksi Partai Golkar. Usulannya kepada pemerintah agar Pendampng Desa tidak boleh berpolitik itu sah-sah saja, karena mereka lembaga politik sehingga melihatnya dari kaca mata politik ya tidak apa-apa. Kami melihat dari kaca mata sosial kemasyarakatan, bahwa kami juga punya hak-hak politik, yang pada akhirnya harus bersentuhan atau harus berhadapan dengan aturan-aturan yang mengikat kami, bukan aturan-aturan yang diikat oleh lembaga lain. Kami punya Kode Etik yang mengikat,”ujarnya.
Menurut dia, kalau ada fakta yang membuktikan bahwa seorang pendamping desa tidak melaksanakan tugas-tugas sesuai program yang digariskan, tetapi lebih banyak mengurus hal-hal yang bersifat politis dan mendompleng atau memanfaatkan program untuk kepentingan politiknya, maka dia akan berhadapan dengan kode etik. “Sebagai Koordinator Kabupaten (Korkab) Pendamping Desa, saya bekerja professional, tidak akan mendompleng atau memanfaatkan program pemberdayaan untuk kepentingan politik apapun,” tegas Machris.
Ia mengaku selalu memisahkan antara tugas-tugas pokoknya sebagai Korkab Pendamping Desa yang digariskan oleh Kementrian Desa dan keinginan-keinginan politiknya. “Saya tidak akan campur adukan itu. Silahkan masyarakat menilai. Ke depan misalnya saya resmi menyalurkan hak politik saya maka saya akan berhadapan dengan Kode Etik dan aturan yang mengikat saya. Bukan aturan-aturan dari lembaga lainnya. Teman-teman pendamping desa lainnya juga demikian. Terima kasih kepada Fraksi Partai Golkar yang sudah mengingatkan kami melalui pendapat dan sarannya dalam sidang di DPRD Alor. Saran itu akan kita sama-sama lihat, sama-sama kita ikuti,” terang Machris.
Dia berharap, agar politisi juga tidak hanya melaksanakan fungsi-fungsi politik, tetapi juga fungsi edukasi masyarakat melalui partai politik, karena kita punya beban yang sama dalam mengedukasi masyarakat untuk cerdas, yang berdaya, masyarakat yang berpendidikan. “Saat saya mendaftar (sebagai Bakal Caleg DPRD NTT di DPW Partai Kebangkitan Bangsa Propinsi NTT), pasti akan ada sorotan, dan saya memahami itu karena saya tidak pernah alergi dengan kritik dan saran. Tapi saya bekerja professional, tidak mencari popularitas politik di masyarakat. Tanpa melalui partai politikpun saya rasa sudah cukup dikenal masyarakat karena sejak dulu saya selalu bekerja dengan lembaga-lembaga yang mendorong pemberdayaan masyarakat di kampung-kampung, di desa-desa,” katanya.***Laurens Leba Tukan