Oleh Isidorus Lilijawa
Setelah mendengar masukan dari para ulama, tokoh agama dan ormas (MUI, NU, Muhamadiyah, dll), 2 Maret 2021 Presiden Jokowi membatalkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang memberi ruang bagi investasi minuman keras (miras) di 4 provinsi: NTT, Papua, Sulawesi Utara dan Bali. Padahal usia Perpres ini baru sebulan sejak ditetapkan 2 Pebruari 2021 lalu. Regulasi ini sudah mulai memberi harapan bagi rakyat yang menopangkan hidupnya dari memproduksi dan berjualan minuman keras, namun harapan itu terputus di tengah jalan. Tentu ada pertimbangan-pertimbangan yang ‘sufficio in rationis’ et ‘sufficio in moralis’ demi kebaikan banyak orang. Kita percaya itu.
Lalu bagaimana dengan nasib miras di NTT? Sebelum terbit Perpres 10, di NTT sopi (minuman lokal sama seperti arak, tuak) sudah mulai ditransformasikan menjadi sophia. Saya ingat momen itu. Hari Rabu, 19 Juni 2019 secara resmi Pemerintah Provinsi NTT meluncurkan produk minuman khas NTT yang dibaptis dengan nama sophia. Acara itu diseremonikan di UPT Laboratorium Riset Terpadu Biosain, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Minuman sopia yang diluncurkan itu terdiri dari dua jenis, masing-masing di antaranya memiliki kadar alkohol yang berbeda yakni sebesar 35 persen dan 40 persen.
Sopi yang selama ini menjadi minuman rakyat kebanyakan, diproduksi dalam industri rumah tangga rakyat, dipasarkan dengan kemasan merakyat, dengan kadar alkohol yang pas di lidah rakyat, juga harga yang terjangkau isi dompet rakyat, berubah menjadi sophia. Sophia mungkin diterjemahkan sebagai sopi asli. Tetapi sophia itu sopi elitis. Yah, sophia masuk ke industri regional dan nasional, dengan kadar alkohol 35 dan 40 persen, dengan
kemasan lebih elegan dan menarik, tentu juga dengan harga yang dibandrol 1 juta – 1,5 juta per botol.
Persis tanggal 20 Desember 2019 lalu, di saat NTT merayakan HUT ke-61 yang dirayakan untuk pertama kalinya di luar Kota Kupang, produk sophia pun mulai dijual ke publik oleh distributor tunggal PT. NAM Kupang. Harganya 750 ribu per botol. Ada 2 jenis sophia yang diproduksi, berwarna putih beralkohol 40 persen dan merah dengan kadar alkohol 20 persen. Sejak saat itulah, NTT pun mulai dikenal sebagai provinsi sophia karena sudah memiliki minuman khas yang go national dan bahkan international.
Kehadiran sophia selalu dikaitan dengan argumentasi ekonomi. Bahwa sophia akan mendorong pertumbuhan ekonomi skala mikro karena banyak rakyat NTT yang memproduksi sopi yang menjadi bahan dasar pembuatan sophia. Dengan adanya industri sophia maka sudah terbuka peluang pasar bagi sopi-sopi milik rakyat yang selama ini harga jualnya tidak terlalu baik dan sering menjadi korban sitaan aparat ketika diantarpulaukan. Artinya kehadiran sophia memberi legitimasi bahwa sopi-sopi milik rakyat harus dilindungi dan dilestarikan.
Sopi atau nama lokal lainnya arak, tuak adalah minuman tradisional NTT yang sangat dekat dengan rakyat. Ia hadir dalam suka duka hidup rakyat. Dalam urusan apapun di bale-bale atau lopo rakyat, tidak lengkap jika tanpa sopi. Bahkan dalam urusan adat-istiadat dan seremoni budaya, nilai kehadiran sopi sangat tinggi. Tidak heran jika rakyat NTT sangat mencintai sopi dan sopi ada di dalam hati rakyat. Banyak keluarga kecil, kurang mampu yang dapat bertahan hidup hanya dengan berjualan sopi. Ada anak-anak yang kemudian menjadi ‘orang besar’ justru berasal dari orang tua yang berjualan sopi. Melalui sopi, anak-anak bisa sekolah, kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi. Pada aras ini, sopi mesti dihargai, dijaga dan dilestarikan.
NTT sebagai provinsi sophia akan diuji sejauh mana kehadiran sophia tidak membonsai atau mengerdilkan sopi-sopi rakyat. Artinya, kehadiran sophia mesti juga bermanfaat untuk rakyat yang memiliki sopi. Jika dengan harga-harga yang fantastis, sophia hanya menjadi minuman kaum elit, maka Pemerintah mesti mendesain regulasi dan tata niaga agar sopi tidak terpinggirkan dan kehilangan daya pikat. Harus ada regulasi agar sopi tidak menjadi musuh aparat penegak hukum. Mesti dibikin aturan agar rakyat yang memproduksi sopi tidak selalu merasa terancam oleh ‘tukang sita’. Harus ada regulasi agar sopi tidak membau di mulut-mulut anak di bawah umur. Mesti juga lahir kebijakan tata niaga yang menjadikan rakyat menjual sopi dengan aman dan dengan harga yang nyaman. Tanpa itu, argumentasi ekonomi atas kehadiran sophia hanyalah kamuflase dari kerakusan industri mengelola sophia untuk keuntungann segelintir pihak. Lalu sophia hanya sebagai simbol prestise kaum berduit. Sementara sopi tetap setia menunggui pinggiran jalan bersama karibnya bensin dan pertalite.
Gagasan Pemerintah NTT menghadirkan sopia adalah hal positif. Namun rakyat juga harus terus awas agar tujuan utama memberdayakan ekonomi rakyat itu benar-benar jadi prioritas, dan bukan jargon semata. Tentu berbagai regulasi akan lahir seiring hadirnya sopia. Yang jelas, sopia boleh dipentaskan di panggung NTT, tetapi sopi harus terus menggeliatkan kehidupan. Jangan lagi ada aksi-aksi pihak tertentu yang mengancam rakyat yang menghasilkan dan berjualan sopi. Tak boleh ada lagi tumpahan-tumpahan sopi dari jerigen rakyat dengan dalih disita aparat. Berikan kepastian kepada rakyat agar mereka dapat mengelola usaha sopi dan berjualan dengan aman.
Bahwa ada yang kecelakaan saat berkendara karena mabuk, jangan salahkan sopi. Bahwa ada yang menilai moralitas dari takaran sopi yang diteguk, tak usah dibesar-besarkan. Setiap orang wajib mengukur dan mengatur moralnya. Bukan sopi. Jadi jangan salahkan sopi. Sopi bukan wasit moral. Sama halnya sophia bukanlah kebijaksanaan jika itu menjerumuskan orang ke zona malum (kejahatan). NTT butuh orang yang bijak agar dapat mengelola regulasi sopi dan sophia untuk melahirkan kebijaksanaan hidup.
Proficiat atas kenaikan kelas sopi jadi sophia. Semoga selalu mengarah pada sophia, dan tidak sepi dalam lapak-lapak pergumulan ekonomi rakyat. Sopi dan sophia adalah kita, NTT. Maka, mengalirkan banyak kearifan dan kebijaksanaan dari NTT adalah tugas kita. NTT adalah provinsi sophia. Dalam bahasa Latin, sophia itu kebijaksanaan. Sopi dan sophia mesti membuat kita semakin bijak. Bukan memproduksi semakin banyak orang mabuk dan orang pintar yg mabuk-mabukan. Satu petuah anonim menutup catatan ini, “leave the politics to the politicians. And leave the beer for the publicans”. Salve**)