Pers Wajib Kritik Pemerintah

599
Pius Rengka dan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam sebuah pelayaran dari Rote ke Raijua

Oleh Pius Rengka

Dua pekan belakangan, media main stream dan media sosial, massif membicarakan perihal kritik pemerintah. Perihal kritik itu diperbincangan ramai menyusul pidato Presiden Jokowi 9 Februari 2021 saat memperingati Hari Pers Nasional. Presiden tegas mengatakan, media massa harus tetap kritis terhadap pemerintah.

Tak ayal lagi, pernyataan Presiden melalui media webinar itu, serentak mengundang reaksi luas. Reaksi beraneka mengandung pesan. Tetapi, sekaligus kesan. Mantan wakil presiden Yusuf Kala seperti menyeruak dari lumpur tudingan keterlibatannya di kelompok garis super keras, agak sarkastis, berkata: tunjukkan kepadanya jalan agar kritik tidak ditangkap petugas. Dia menyindir Jokowi atau siapa pun di lingkungannya.

Kesan serta merta lain, ialah ini. Para pihak yang dekat kekuasaan (Jokowi), merasa kritik itu tabu. Kelompok ini membela dirinya atau pemerintah dengan cara serba bernuansa “pokoknya”. Pokoknya, pemerintah Jokowi selalu tepat dan pasti benar. Saya kira, sikap begitu, keliru!

Narasi yang diciptakan inner sircle, yang terarah ke perilaku kekuasaan pribadi Jokowi justru menggerus reputasi Jokowi. Seolah-olah kebaikan hati individual Presiden Jokowi serta merta paralel dengan kebaikan pemerintah sebagai institusi.

Dikesankan apa yang kini terjadi di tanah air semata-mata buah karya tunggal Jokowi. Memang, ada banyak pihak mulai meragukan. Tetapi bahwa sebagai pribadi, Jokowi itu baik bahkan sangat baik, itu pun benar adanya. Jokowi tidak korup. Ia belum pernah memangkrakkan proyek, tidak ikut bisnis dan membisniskan kekuasaan. Kekuasaannya dipakai semata-mata didedikasikan untuk membebaskan rakyat dari penderitaannya. Caranya banyak. Antara lain banyak jenis bantuan diberikan. Termasuk bantuan sosial.

Dana bantuan sosial bertujuan amat sangat mulia yaitu untuk membantu rakyat jelata hina dina miskin melarat agar kaum ini lekas keluar dari deritanya. Tetapi, tidak seluruhnya baik, terutama karena dicemari perilaku sebagian dari the inner circle President sendiri.

Kesan bahwa Jokowi sebagai pribadi sangat baik, amatlah kental, terutama pada rakyat di kawasan Indonesia Timur ketika perhatiannya sangat besar dan intens terhadap pembangunan infrastruktur jalan raya, bendungan raksasa dan proyek-proyek pariwisata. Citra baik ini tak pernah hilang dari kamus ingatan masyarakat di kawasan Timur Indonesia.

Banyaklah contoh lain yang membuktikan Jokowi sebagai pribadi yang baik sekali, seperti cara dia berinteraksi dengan rakyat. Bahkan protokoler ketat kepresidenan cair di tangannya demi menggampangkan akses rakyat kepadanya. Rakyat pun tahu, kalau banyak proyek yang belum tuntas dikerjakan presiden sebelumnya karena kendala teknis. Tetapi kendala teknis ini diamplifikasi sedemikian rupa hanya karena dendam politik elit.

Rakyat juga membandingkan perilaku sederhana Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya. Kata rakyat, Jokowi itu presiden sederhana dan akrab dengan rakyat, empaty dengan rakyat miskin. Kerjanya focus. Gus Dur itu adalah presiden pembebas sekat-sekat sosial dan pembela keadilan sosial. Gus Dur adalah presiden bagi semua agama dan etnik. Gus Dur adalah bapak pembela kaum minoritas di negeri ini. Tetapi, dalam satu hal, dua presiden ini sama. Keduanya pelaku deskaralisasi kekuasaan.

Sepertinya, memang diragukan (mungkin), kalau Jokowi terjebak permainan para supporter di lingkaran kekuasaannya. Tampilan pribadi Jokowi, dimanfaatkan dan dibimbing sedemikian rupa sebagai pantulan dari seluruh lingkungan yang ada di sekitarnya.

Kesan ini menguat kian kencang, ketika misalnya ditanya, bagaimana ceritera anggota partai politik besar pengusung Jokowi yang diduga kuat sebagai pencuri dana bantuan sosial itu? Tampaknya, semua diam, tengkurep seperti maling kedapatan di sudut kamar. Ketika ditanya, siapa dan kapan si “madam” ditanya-tanya jaksa dan KPK? Ketika rakyat bertanya di manakah gerangan dikau wahai Masiku? Sepertinya diam merupakan salah satu jenis gerakan baru bersama. Tetapi, percayalah, semua orang tahu, bahkan rakyat sepertinya dibimbing untuk berpikir asosiatif. Yang dimaksudkan dengan “Madam”, sekurang-kurangnya samar terarah menuju kepada dua wujud oligarkhi perempuan.

Anehnya, tak seorang jua pun di antara para pelingkar Jokowi yang menjawabnya dengan terang. Jokowi dalam situasi seperti itu, tampak seolah-olah sedang sendirian memanggul salibnya.

Padahal kelakuan Masiku dan oknum yang diduga maling dana bansos dan “madam” yang diduga master mind itu, jelas-jelas menampakkan perbuatan tidak fair, tidak jujur, tidak sanggup menjadi contoh dan tidak boleh digugu.

Kelakuan tidak membuka info jelas tentang dimanakah gerangan Masiku berada dan bagaimanakah gerangan nasibnya, tak jua pernah tuntas dan terang diungkapkan. Bagaimana peran master mind maling dana bantuan sosial, adalah contoh serial perilaku busuk yang dipertontonkan elit politik amat terang benderang di panggung luas di tanah air. Maka rakyat kian menyemai bibit benci pada oligarkhi.

Anehnya, jika pemerintah Jokowi dikritik, jawaban para suporter malah lari kepada ulah para presiden sebelum Jokowi. Padahal semua tahu, pembangunan di Indonesia mengalami pasang surut dalam serial kesinambungan kepemerintahan beberapa Presiden. Untunglah Majalah Tempo dan Koran Tempo membuka topeng-topeng ini. Kita patut berterimakasih. Itu artinya wartawan berhasil melancarkan kritik terbuka.

Sebaliknya mayoritas pihak lain berpendapat, kritik itu wajib dilakukan kepada pemerintah yang berkuasa, karena kekuasaan yang dipegang pemerintah itu adalah mandat rakyat. Kritik justru membantu pemerintah agar kekuasaan yang dimandatkan kepadanya dikerjakan dengan tepat dan benar untuk kepentingan rakyat. Kritik diyakini mampu mengubah tabiat pemegang kekuasaan sekiranya dia berlaku buruk dan busuk. Karenanya, kritik adalah keniscayaan moral politik.

Jika misalnya, Pemerintah tidak pernah dikritik, bahkan mungkin tidak mau dikritik, maka besarlah peluang kekuasan diselewengkan dan disalahgunakan baik untuk kepentingan dirinya sendiri dan atau kelompoknya. Pada gilirannya pemerintah yang tidak dikritik atau tidak mau dikritik akan bermetamorfosa menjadi sejenis zombie social politik. Terkait dengan itu, Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat di ruang kerjanya berkomentar pendek. Kata Victor, pejabat public memang harus sanggup menerima kritikan social karena dia pejabat public. Pejabat public artinya pejabat yang ada di panggung public dan kehadirannya disebabkan oleh pilihan public. Pejabat public yang tidak mau dikritik atau tidak mau dikontrol dapat dipastikan pejabat public itu berpengetahuan rendah. Tetapi Gubernur Victor Lasikodat mengingatkan, kritik dan pembentukan framing pribadi adalah dua hal berbeda. “Bagi saya, kritik itu niscaya harus menujukkan data yang kuat, tetapi framing pribadi adalah kejahatan,” ujarnya.

Rakyat menyadari bahwa di setiap jenjang pemerintah selalu dihantui dan diwarnai aneka kelakuan para supporter. Mereka terdiri dari beberapa kelas sosial politik. Ada supporter yang disebut useful idiot, supporter dungu. Modalnya teriak-teriak. Panggung politik yang dipakainya berupa pentas dengungan. Mereka disebut buzzer.

Posisi dan disposisi fungsi politik para buzzer ini jelas. Para buzzer bersaksi serba membenarkan apa atau siapa yang dibelanya. Mengapa begitu? Jawabannya simple. Karena apa dan siapa yang dibelanya bermanfaat bagi kepentingan dirinya sendiri dan komplotannya.

Pada kondisi dan situasi serupa ini, jurnalis harus tampil mengambil posisi politiknya sebagai kekuatan social demokratik, jika tidak mau dikalahkan para buzzer. Jurnalis harus hadir seperti nabi yang terus berziarah di padang gurun kehidupan mencari dan menemukan kebenaran. Para jurnalis harus bersedia sedikit sakit mencari dengan kerinduan untuk menemukan kebenaran, dan menemukan kebenaran dengan kerinduan untuk terus mencari lagi.

Aksiologis:

Kritik dalam konteks dan perspektif filsafat ilmu bukan sekadar obyek kajian ontologis dan epistemologis. Kritik itu pun padat mengandung serat aksiologis karena kritik para kritikus maupun sasaran kritik, pada dirinya sendiri meminta pertanggungjawaban sosial.

Kritik baru akan bernilai dan bermanfaat bagi kepentingan umum jika kritik berfungsi untuk memuliakan martabat pembangunan manusia. Maka kritik diperlukan bukan saja agar pemegang kuasa tetap berada di jalur yang baik dan benar, tetapi serentak dengan itu kritik pun mengandaikan para kritikus itu sendiri selalu mengarahkan hasrat dan ideologinya pada praktek kekuasaan yang baik dan benar pula. Itu berarti kritikus itu sendiri harus beres.

Kritikus pun memancarkan cahaya reputasi pribadinya sendiri sebagai pemangku kebaikan dan kebenaran. Sulit dibayangkan jika kritik justru dilontarkan para maling atau bekas maling. Rumit juga dipikirkan jika kritik diajukan oleh para maling sebagai perisai untuk melindungi dirinya sendiri. Lebih cilaka lagi jika kritik diajukan partai politik dalam skema licik untuk memompa dan menggelembungkan dukungan electoral. Karena meski jutaan panah kata-kata dihujam berkali-kali kepada subyek atau obyek yang dikritik, tetapi panah kata-kata itu akan segera kembali menghujam wajah pemanah kata-kata itu sendiri. Seperti memercik air comberan di dulang membasahi membaui muka sendiri.

Jika kritik para kritikus dinodai kebencian atau dengki terhadap subyek atau obyek yang dikritik, maka kritikannya tidak saja buruk sejak pada dirinya sendiri, tetapi juga secara moral social busuk pada intensinya. Kalau begitu, kritik social berwajah tunggal. Kritik memang sangat diperlukan dan bahkan wajib terus diproduksi agar relasi antara pemerintah dan rakyat senantiasa berada dalam koridor kebaikan dan kebenaran.

Selain itu, kritik sesungguhnya memantulkan hadirnya cara pandang multidimensional. Maka kritik itu merupakan tradisi masyarakat akademis yang pluralis.

Sebagaimana makna denotatifnya kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.

Sebagai catatan refleksi, dulu Pancasila ini diperlukan dan dipilih negeri ini sebagai dasar Negara justru karena Pancasila berfungsi untuk menampung pluralism. Sila keempat mengandung makna sangat luas dari demokrasi yang, tak hanya merefleksikan realitas etnik dan persepsi, tetapi juga memantulkan makna musyawarah sebagai cara demokratis yang dicahayai terang sila pertama, kedua dan ketiga. Untuk apa? Untuk menuju ke taman keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke lima).

Jika hari ini saya ditanya, apakah sila kelima itu sudah dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat luas? Saya dapat pastikan bahwa hingga saya menyelesaikan tulisan ini, sila kelima tampaknya memudar, ketika mayorutas kekayaan negeri ini hanya dikuasai segelintir oligarki politik dan ekonomi. Karenanya kritik terhadap penyelenggara Negara tetap harus dinyalakan dan bahkan lebih digalakkan supaya sila kelima mengalir ke dalam denyut urat nadi pengalaman riil manusia Indonesia.

Salah satu syarat demokrasi adalah apabila ada kebudayaan yang mampu mengembangkan sikap bahwa orang yang berbeda pendapat bisa bekeja sama dalam semangat saling menghormati. Subyek yang paling depan memelopori dan menghayati prinsip ini adalah para jurnalis dan kritikus partai politik. Mengapa harus jurnalis dan Partai politik?

Theodore H. White, dalam buku In Search of History, menyebutkan jurnalisme itu suatu pekerjaan di atas cakrawala. Pekerjaan wartawan selalu lebih tinggi daripada cakrawala.

Wartawan tidak hanya mengumpulkan fakta dan data, melainkan merangkai fakta dan data menjadi bahan sejarah. Wartawan tidak hanya melaporkan kejadian politik dan dinamikanya konflik dan proses, melainkan merangkumnya sehingga menjadi bahan untuk suatu sikap kenegarawanan.

Maka wartawan harus bisa menerobos awan. Tetapi wartawan juga manusia biasa dari kalangan orang-orang biasa, yang satu atau kedua kakinya selalu ditarik ke bumi oleh persoalan-persoalan yang tadi digambarakan. Roh wartawan bebas, tetapi tubuhnya lamban dan terikat. Selalu demikianlah dia sesungguhnya. Wartawan itu manusia biasa yang dituntun imajinasi luar biasa, untuk kemudian mendarat ke dalam dunia nyata yang sangat biasa untuk kejadian-kejadian biasa pula. Tetapi, hendaklah diketahui bahwa para jurnalis itu pun melakukan segala sesuatu yang biasa dengan cara luar biasa, agar tatkala hal luar biasa tiba kepadanya, mereka sudah sangat biasa.

Theodore Harold White adalah seorang jurnalis politik dan sejarawan Amerika. Dia dikenal karena laporannya dari Tiongkok selama Perang Dunia II dan serial Making of the President. Harold White memulai karirnya sebagai pelapor untuk Majalah Time dari masa perang Tiongkok pada 1940-an (vide: Wikipedia).

Nah, menutup tulisan sederhana ini akhirnya saya menegaskan, politik dan hukum itu sesungguhnya bersaudara. Tetapi, meski keduanya bersaudara dekat, tidak lalu berarti politik boleh mendikte hukum, melainkan hukum menertibkan politik dan terutama para politisinya. Hukum adalah panglima, bukan sebaliknya.

Kesadaran politik memang sangat diperlukan, karena kesadaran politik mencakup juga kesadaran hukum. Tetapi untuk terus menyuarakan kebenaran dan kebaikan, pers wajib terus melakukan kritik terhadap setiap jenis kekuasaan entahkah itu kekuasaan Negara atau mereka yang terlibat dalam semua jenjang kekuasaan itu. Jadi? Pers wajib melakukan kritik terhadap kekuasaan. Selamat bertugas.**)

Center Align Buttons in Bootstrap