
Menteri Wihaji Diberi Gelar Adat di Rote Ndao, Serukan Perang Semesta Lawan Stunting dan Lindungi Keluarga Indonesia
BA’A,SELATANINDONESIA.COM – Dari tanah paling selatan Nusantara, gaung perang melawan stunting kembali disuarakan. Lapangan Christian Dillak di jantung kota Ba’a menjadi saksi ketika Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN RI, Dr. Wihaji, menggelar apel besar pelayanan KB serentak, Senin (23/6/2025). Bukan sekadar agenda seremoni, acara ini menjadi titik balik komitmen nasional dalam melindungi rumah tangga Indonesia dari ancaman stunting, kemiskinan ekstrem, dan ketimpangan akses dasar.
Dalam balutan adat Rote, Menteri Wihaji berdiri bersama istri, Uni Wihaji, Wakil Gubernur NTT Johni Asadoma, Bupati Rote Ndao Paul Henuk, Wakil Bupati Apremoi Dethan, serta jajaran pusat dan daerah. Puncak acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-32 ini juga menjadi panggung peluncuran Rencana Aksi Konsorsium Perguruan Tinggi untuk NTT, serta pelepasan Kirab Bangga Kencana.
Namun momen paling simbolik justru datang saat Bupati Paulus Henuk mengalungkan gelar adat “Mane Mana Lopolinu Ume’lo” kepada Menteri Wihaji. Dalam budaya Rote, gelar ini berarti “Pangeran Pelindung Rumah Tangga”, sebuah penghargaan langka, mencerminkan harapan rakyat agar negara hadir melindungi unit terkecil bangsa: keluarga.
“Stunting ini harus kita keroyok. Negara tak boleh telat hadir. Hanya 20 persen anak stunting yang bisa pulih jika melewati 1000 hari pertama kehidupan. Maka kita harus intervensi sejak awal, dari calon pengantin hingga ibu hamil,” tegas Menteri Wihaji.
Data Mengerikan dari Nusa Lontar
Di hadapan warga dan pejabat, Menteri Wihaji tak menyembunyikan keprihatinannya. Prevalensi stunting di Kabupaten Rote Ndao masih 16,6 persen (Mei 2025). Namun data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 jauh lebih mengkhawatirkan: 32,4 persen, jauh di atas rerata nasional yang 19,8 persen. Wakil Gubernur Johni Asadoma bahkan menyebut, angka stunting di NTT masih 37 persen, meski turun tipis dari 37,9 persen di tahun sebelumnya.
“Banyak keluarga kita masih mengutamakan sirih pinang, rokok, dan miras daripada makanan bergizi. Ini bukan hanya soal ekonomi, ini soal budaya. Dan kita perlu kampanye masif untuk mengubah itu,” ujar Wagub Asadoma.
Bupati Paulus Henuk menyampaikan bahwa dari hampir 20 ribu keluarga yang diverifikasi tahun 2024, sebanyak 8.110 keluarga atau 40,77 persen dikategorikan sebagai keluarga risiko stunting (KRS). Rote Ndao sendiri hanya memiliki 26 Tenaga Penyuluh KB yang tersebar di 11 kecamatan dan 119 desa. “Kami butuh lebih banyak penyuluh. Idealnya satu desa satu petugas,” ujarnya.
Pentahelix, Bantuan, dan Harapan
Kegiatan ini sekaligus menandai Kick Off Kolaborasi Multipihak (Pentahelix) yang digadang menjadi motor percepatan. Sejumlah bantuan disalurkan:
Nutrisi untuk KRS dari BAZNAS (Program GENTING)
Jamban Sehat dari IPeKB Rote Ndao
Pengadaan dan akses air bersih dari Bank Mandiri dan BAZNAS
Program Sehat Bertumbuh dari BAZNAS
Dukungan berkelanjutan untuk program GENTING (Gerakan Penurunan Stunting Terintegrasi)
Menteri Wihaji menekankan pentingnya kerja kolaboratif lintas sektor. Ia menyebut, kunjungannya ke Rote adalah balasan atas undangan Gubernur NTT dan para kepala daerah se-NTT ke Jakarta pada Maret lalu.
“Kita ingin jadikan NTT sebagai provinsi percontohan penurunan stunting dan penghapusan kemiskinan ekstrem. Ini bukan tugas pemerintah semata, tapi tugas kita Bersama akademisi, dunia usaha, masyarakat, media, dan pemerintah. Semua musti turun tangan,” tandasnya.
Di akhir kegiatan, iring-iringan Kirab Bangga Kencana dilepas menuju desa-desa pelosok, membawa pesan sederhana: keluarga sehat adalah fondasi bangsa yang kuat. Dari Rote Ndao, suara itu menggema ke seluruh penjuru negeri. */Fara Therik?Laurens Leba Tukan