
Dari Pantai Vetabang yang sunyi, gema gong tradisi menggema ke seluruh Alor. Johni Asadoma datang bukan hanya membawa pidato, tetapi semangat untuk menjadikan Olang Mangsari sebagai wajah pariwisata budaya NTT ke pentas dunia.
PULAUPURA,SELATANINDONESIA.COM – Di pagi yang cerah, Kamis, (19/6/2025), pesawat yang ditumpangi Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Johni Asadoma, mendarat mulus di Bandara Mali, Alor. Ia disambut langsung oleh Bupati Iskandar Lakamau dan para pemangku kebijakan daerah. Namun, perhelatan sesungguhnya belum dimulai. Wagub Johni dan isteri Ny. Vera Sirait-Asadoma bersama rombongan melanjutkan perjalanan menuju Pulau Pura, sebuah pulau kecil berbatu di tengah laut Alor untuk membuka Festival Olang Mangsari 2025.
Dari atas perahu cepat yang membelah laut biru, gelombang kecil menyambut kedatangan mereka. Di bibir Pantai Vetabang, deretan masyarakat dan tetua adat telah menanti. Ada sapaan adat, ada selendang dan topi tenun, ada tas tangan dari anyaman lokal yang dikalungkan ke tamu istimewa. Upacara sambutan yang singkat, hangat, dan penuh simbol penghormatan.
Olang Mangsari, yang berarti “Mencari Kehidupan”, bukan sekadar festival budaya. Ia adalah napas kolektif masyarakat Pulau Pura. Sebuah warisan dari Jemaat GMIT Elim Dadi Bira yang kini berkolaborasi dengan Bank Indonesia Perwakilan NTT, menjadikannya lebih dari sekadar pesta rakyat. Ia adalah arena diplomasi budaya, promosi pariwisata, sekaligus ajang menghidupkan ekonomi lokal.
Dalam sambutannya, Wagub Johni Asadoma tak sekadar memberi apresiasi. Ia mendorong agar festival ini dirancang lebih meriah dan berkelanjutan. “Kalau perlu, anak-anak sekolah diliburkan saat festival ini, supaya mereka terlibat langsung. Kita tanamkan budaya sejak dini. Ajak mereka membuat karya seni, kerajinan lokal, dan pamerkan dalam festival,” ucap Johni. Suaranya lantang, tangannya menunjuk ke arah panggung budaya yang dibangun seadanya di tepi pantai.
Lebih jauh, Wagub Johni menantang masyarakat dan diaspora Pulau Pura untuk berani bermimpi lebih tinggi: menjadikan Olang Mangsari sebagai festival bertaraf internasional. “Alor punya taman laut kelas dunia, punya budaya dan kearifan lokal yang unik. Tinggal bagaimana kita kemas. Kita butuh riset, butuh promosi, dan yang terpenting: butuh keterlibatan semua pihak,” katanya.
Bupati Alor, Iskandar Lakamau tak kalah reflektif. Dalam pidato balasannya, ia menggambarkan Pulau Pura sebagai anomali alam. “Tanahnya lebih banyak batu dari tanah, tapi hikmat Tuhan membuat warga tahu cara mengolah batu menjadi kehidupan,” ujarnya. Bagi Iskandar, Olang Mangsari adalah harta intelektual yang layak dibukukan dan dimasukkan ke dalam pelajaran muatan lokal.
Gong dipukul bertiga: oleh Wagub Johni, Bupati Iskandar, dan unsur Forkopimda. Simbol dimulainya festival, tapi juga gema awal dari upaya lebih besar memperkenalkan Pulau Pura ke mata dunia.
Festival Olang Mangsari tahun ini diramaikan oleh tokoh gereja seperti Ketua Sinode GMIT, Pdt. Samuel Pandie, pejabat dari Bank Indonesia, dan ratusan warga dari berbagai dusun di Pulau Pura. Berbagai hasil UMKM lokal, pertanian, perikanan, dan kerajinan tangan ikut dipamerkan. Tari-tarian tradisional digelar hingga sore menjelang malam.
Pulau kecil itu seakan bersalin rupa menjadi panggung besar. Di antara tabuhan gong, sorak anak-anak, dan aroma laut, ada semangat baru yang dibawa dari Kupang sang jenderal polisi yang kini menjabat Wakil Gubernur: menjadikan kebudayaan sebagai jalur utama pembangunan NTT dari pinggiran.*/Librik/Laurens Leba Tukan