Simfoni dari Anakalang: Gilang Ramadhan, Ivan Nestroman dan Masa Depan Musik Tradisi di Sanggar OSA

99
Wakil Bupati Sumba Tengah, Martinus Umbu Djoka, Gilang Ramadhan dan Ivan Nestroman ketika bertemu di Sanggar OSA, Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah, Selasa (17/6/2025). Foto: ProkopimSTeng

WAIBAKUL,SELATANINDONESIA.COM – Langit Anakalang siang itu cerah, angin musim tengah tahun membelai bukit-bukit kecil yang melingkari Sanggar OSA. Sebuah ruang seni yang pelan-pelan tumbuh menjadi pusat pergerakan budaya di jantung Sumba Tengah. Dari kejauhan, irama gong dan petikan jungga memanggil, seperti menandai dimulainya sebuah misi penting, menyelamatkan musik tradisi dari sunyi zaman.

Di sinilah, pada Selasa (17/6/2025), Gilang Ramadhan dan Ivan Nestroman serta Wakil Bupati Sumba Tengah, M. Umbu Djoka bertemu. Wabup Umbu Djoka hadir bukan hanya sebagai pejabat pemerintah, tetapi sebagai penyaksi zaman yang menaruh harapan pada lagu-lagu lama yang nyaris padam. Ia menghadiri Lokakarya dan Edukasi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Berbasis Musik Tradisi Nusantara. Sebuah inisiatif yang digagas oleh Pro Karindo Utama bersama musisi senior Gilang Ramadhan.

Bertajuk “Dinamika Baru dalam Musik Tradisi Nusantara”, kegiatan ini tak semata mendiskusikan nada dan irama, melainkan membincang nasib, hak, dan masa depan para pelaku musik tradisi di daerah-daerah, termasuk Sumba Tengah.

“Musisi tradisi punya hak ekonomi atas karya mereka. LMK hadir sebagai jembatan antara karya dan perlindungan hukum,” tegas Gilang Ramadhan, yang telah berkeliling nusantara mengusung isu manajemen kolektif bagi seniman tradisional. Bagi Gilang, keberlanjutan musik tradisi tak cukup hanya dengan cinta budaya; ia butuh sistem yang berpihak.

Wakil Bupati Umbu Djoka menyambut gagasan itu dengan nada serupa. “Musik tradisi adalah cermin jiwa masyarakat Sumba. Tapi dalam arus modernisasi, ia bisa tenggelam jika tidak dijaga secara sistematis,” ujarnya dalam sambutan yang mendapat tepuk hangat dari peserta.

Lebih dari sekadar retorika, pemerintah daerah, menurut Umbu Djoka, tengah menyiapkan pola dukungan baru, dari sisi regulasi, ruang tampil, hingga kolaborasi dengan lembaga nasional. Ia menyebut Sanggar OSA sebagai model bagaimana seni bisa menyatu dengan panorama alam. “Bayangkan musik tradisi dimainkan di punggung bukit dengan latar alam Sumba Tengah. Kita menjual budaya dan keindahan sekaligus,” ujarnya.

Sumba Tengah memang sedang menata langkah baru. Setelah fokus pada ketahanan pangan, kini sektor budaya dan pariwisata mulai digarap dengan pendekatan yang lebih strategis dan kolaboratif. Dalam lanskap ini, musik bukan sekadar hiburan, tapi identitas dan sumber ekonomi kreatif.

Kepada Pro Karindo Utama, Umbu Djoka membuka pintu kolaborasi. “Kita tidak bisa biarkan budaya kita hanya menjadi kenangan. Ia harus jadi kekuatan masa depan,” ujarnya.

Di tengah riuh tepuk tangan dan gemerincing alat musik tradisi, lokakarya itu menjadi penanda bahwa di Sumba Tengah, musik lama tak akan berakhir di ruang nostalgia. Ia sedang dikembalikan ke panggung utama dengan hak yang dilindungi dan suara yang diperhitungkan.*/ProkopimSTeng/Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap