Menata Ulang Tanah Flobamorata, Menjemput Keadilan Agraria di NTT

20
Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena ketika memimpin Rapat Persiapan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) 2025 di Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur, Rabu (11/6/2025). Foto: Dio

Gubernur NTT membuka Rapat Gugus Tugas Reforma Agraria 2025 dengan komitmen menyelesaikan ketimpangan penguasaan tanah lewat koordinasi lintas sektor.

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Pagi yang cerah di halaman Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur, Rabu (11/6/2025), tak sekadar menandai rutinitas birokrasi. Di dalam ruang utama, Gubernur NTT Melki Laka Lena berdiri tegak, membuka Rapat Persiapan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) 2025 dengan semangat yang lebih menyerupai pidato kebangsaan ketimbang sambutan protokoler.

“Reforma Agraria adalah bagian dari Asta Cita ke-6 Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia,” ujar Gubernur Melki. Ia menyitir arahan pembangunan nasional, membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

Gubernur Melki bicara bukan tanpa dasar. Gugus Tugas Reforma Agraria yang ia pimpin di tingkat provinsi kini memasuki babak penting dalam pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Di dalam ruangan itu hadir pula para pengawal hukum dan keamanan dari Kejaksaan Tinggi NTT, Polda NTT, dan Korem 161/Wirasakti. Ada juga jajaran biro pemerintahan dan hukum provinsi, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, dan unsur vertikal dari BPKH dan ATR/BPN.

Kepala Kanwil ATR/BPN NTT, Fransiska Vivi Ganggas, membuka rapat dengan laporan bahwa koordinasi lintas sektor menjadi kunci. “Reforma Agraria tidak hanya soal bagi-bagi tanah, tetapi bagaimana menata ulang relasi antara negara, masyarakat, dan pemilik modal,” katanya.

GTRA, menurut Gubernur Melki, adalah forum yang dibentuk untuk menyelesaikan pelbagai simpul konflik agraria yang selama ini menggantung di banyak daerah di NTT, dari Flores hingga Sumba, dari Lembata hingga Timor. Ia ingin memastikan bahwa penataan aset berjalan seiring dengan penataan akses: bagaimana lahan yang sudah disertifikasi dapat menjadi sumber penghidupan produktif.

“Tidak ada gunanya rakyat punya tanah tapi tak bisa hidup dari tanah itu,” ujar Gubernur Melki, tegas.

NTT menyimpan sejarah panjang konflik agraria. Dari lahan eks HGU, tanah adat yang belum diakui, sampai persoalan tumpang tindih perizinan investasi dengan wilayah kelola masyarakat adat. Reforma Agraria dimaksudkan untuk merapikan semua ini secara sistematis.

Di tengah tekanan pembangunan ekonomi dan investasi, pendekatan GTRA kini lebih kolaboratif. Pemerintah menggandeng unsur TNI, Polri, kejaksaan, serta akademisi untuk merumuskan langkah bersama. Kepala Biro Pemerintahan Setda NTT, Doris Rihi, yang juga Sekretaris GTRA, menekankan pentingnya data spasial dan yuridis yang sinkron agar pelaksanaan kebijakan tidak menimbulkan persoalan baru.

Dari unsur akademisi, Dekan Fakultas Hukum Undana, Simplexius Asa, menyambut baik pelibatan kampus dalam kerja-kerja GTRA. “Kita bisa bantu identifikasi hukum adat, skema legalisasi tanah ulayat, dan mediasi konflik agraria,” katanya.

Program Reforma Agraria di NTT bukan pekerjaan setahun-dua tahun. Namun lewat rapat awal ini, Gubernur Melki Laka Lena ingin memastikan bahwa tahun 2025 menjadi tonggak percepatan. Ia mendorong agar seluruh tim bekerja melampaui sekadar rutinitas administratif. “Saya ingin GTRA menjadi motor penyelesaian konflik agraria dan penggerak kesejahteraan desa,” ujarnya.

Rapat ini hanya awal. Tapi dengan tata kelola yang rapi, keberpihakan pada rakyat kecil, dan data yang akurat, Reforma Agraria di NTT punya peluang menjadi cerita sukses pembangunan dari Timur Indonesia.*/Fara Therik/Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap