OVOP: Mesin Ekonomi NTT ala Melki-Johni,  Dari Desa untuk Dunia

354
Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena dan Kadis Perindag NTT Zet Sony Libing ketika mencicipi minuman khas Alor hasil produksi dari program OVOP di Halaman Gedung sasando, Kantor Gubernur NTT, Selasa (27/5/2025). Foto: SelatanIndonesia.com/Laurens Leba Tukan

Empat puluh empat produk desa di Nusa Tenggara Timur siap menembus pasar global. Gubernur Melki Laka Lena menggagas gerakan ekonomi akar rumput yang mengandalkan inovasi, kebanggaan lokal, dan gotong royong.

Jelang malam ketika halaman Gedung Sasando, Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kota Kupang dipadati ratusan pelaku usaha kecil. Di bawah tenda putih milik Bank NTT berjejer, mereka menata aneka produk khas kopi arabika dari Bajawa, abon ikan dari Alor, minyak kemiri dari Flores Timur, hingga garam SoE yang dulu hanya dijual di pasar tradisional. Sebanyak 1.000 porsi makanan lokal disajikan cuma-cuma, memikat selera siapa saja yang datang.

Hari itu, Selasa (27/5/2025), tak hanya menjadi panggung pesta kuliner rakyat. Ia menjadi tonggak di+-mulainya sebuah gerakan ekonomi desa skala provinsi. Pemerintah Provinsi NTT meresmikan program One Village One Product (OVOP) dan Gerakan Beli Produk NTT—dua program andalan yang masuk dalam 100 Hari Kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Baru. Di hari yang sama, sistem Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD) diluncurkan sebagai pelengkap transformasi birokrasi dan pembelanjaan daerah yang lebih efisien.

Di tengah keriuhan, Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena berdiri di podium bersama Wakil Gubernur Johni Asadoma. Didampingi Ketua DPRD Emi Nomleni, Direktur Dana Bank NTT Hilarius Minggu, hingga Bupati dan Wali Kota, Melki memaparkan visinya. “OVOP bukan sekadar satu desa satu produk. Ini adalah gerakan kultural, ekonomi, dan sosial untuk mengangkat harkat desa,” katanya lantang. “Kita mulai dari ladang dan laut, lalu masuk ke pasar nasional dan dunia.”

Gerakan dari Akar Rumput

Program OVOP versi NTT bukan barang baru secara konsep. Ia merujuk pada inisiatif serupa dari Jepang yang mengandalkan keunikan lokal untuk penetrasi pasar yang lebih luas. Namun di tangan Melki, OVOP dipadukan dengan pendekatan khas NTT yaitu gotong royong, kebanggaan etnik, dan semangat membangun dari pinggiran.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Viktor Manek, mengatakan bahwa pemetaan potensi dilakukan di 22 kabupaten/kota. Dari ratusan usulan, terpilih 44 produk desa unggulan untuk tahap awal. “Semua produk ini telah melalui tahapan identifikasi bahan baku, potensi keberlanjutan, legalitas, hingga pasar potensial,” ujar Viktor.

Tiga produk sudah selesai menjalani proses pendampingan, sementara empat lainnya masih dalam pembinaan lintas kabupaten. Sisanya, 37 produk, masuk daftar prioritas pendampingan lanjutan oleh provinsi. Pendampingan ini mencakup pengurusan izin edar BPOM, sertifikasi halal, kemasan dan labeling, hingga pembuatan barcode dan QRIS. Tak ketinggalan, penguatan promosi digital dijadikan senjata utama mengincar pasar e-commerce nasional dan internasional.

Sabana, Laut, dan Tenun

NTT menyimpan keunikan produk yang tak bisa ditemui di daerah lain. Di Kabupaten Alor, misalnya, kelompok ibu-ibu di Desa Alila memproduksi sabun herbal berbahan daun sirih dan kemiri, hasil kolaborasi dengan mahasiswa KKN. Di SoE, petani garam tradisional kini mulai memproduksi garam organik bermerek dagang dengan kemasan kekinian. Sementara di Ende dan Lembata, para penenun perempuan memperkenalkan tenun ikat berbasis pewarna alami untuk pasar Jepang dan Jerman.

“NTT punya sumber daya besar yang belum tergarap secara maksimal. Bukan hanya soal bahan, tapi juga cerita di balik produk,” kata Gubernur Melki.

Bagi Gubernur Melki, potensi itu harus disalurkan menjadi kebanggaan. “Kita tidak bisa terus menjadi pasar bagi produk dari luar. Kita harus menjadi pemain,” ujarnya dalam pidato peluncuran. Ia bahkan menyebut desa sebagai “pabrik peradaban baru” dalam konteks pembangunan daerah. “Dari ladang dan laut ke pasar” menjadi semboyan operasionalnya.

Koperasi dan Kolaborasi

Untuk menopang gerakan ini, Pemprov NTT mendorong pembentukan Koperasi Desa Merah Putih sebagai kendaraan kolektif distribusi dan pemasaran. UMKM dan BUMDes juga dilibatkan dalam proses produksi dan branding. Bank NTT ikut memberi dukungan modal dan literasi keuangan digital. BPOM dan BPJS turut digandeng untuk mendukung aspek legalitas dan perlindungan pelaku usaha.

Gerakan ini pun disambut hangat di akar rumput. “Dulu kami hanya jualan di pasar mingguan. Sekarang produk kami masuk ke katalog online dan ditawarkan ke pembeli dari luar NTT,” ujar Merlina Tefa, pengrajin abon ikan di Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang.

Meski demikian, tantangan belum habis. Banyak desa masih kesulitan dengan infrastruktur jalan dan logistik, terutama di pulau-pulau kecil. Koneksi internet juga belum merata, menyulitkan promosi digital. “Kami butuh pendampingan terus menerus, bukan hanya di awal peluncuran,” kata Hendrik Ola, ketua kelompok tani kelor dari Pulau Rote.

Ekonomi Bermartabat

Meski baru seumur jagung, OVOP NTT menjadi proyek ambisius pertama yang memadukan visi kultural dan strategi ekonomi rakyat. Targetnya bukan hanya pertumbuhan angka, tapi perubahan cara pandang masyarakat desa terhadap hasil karya mereka sendiri.

Gubernur Melki menyebut ini sebagai bagian dari Dasa Cita, tujuh pilar pembangunan daerah untuk periode 2025–2029. “Kita bangun ekonomi yang sehat, berkelanjutan, dan bermartabat,” katanya. “Kepercayaan adalah aset terbesar. Kita mulai dari desa.”

Di ujung pidatonya, Gubernur Melki mengangkat slogan yang kini mulai dikumandangkan di kantor desa hingga ruang rapat birokrasi,
“Satu Desa, Satu Produk Unggulan. Dari NTT untuk Indonesia, Ayo Bangun Desa, Ayo Bangun NTT”*/laurens leba tukan

Center Align Buttons in Bootstrap