WTP Lagi: Sepuluh Tahun NTT Menjaga Komitmen Anggaran

78
Penyerahan LHP oleh Staf Ahli BPK RI Bernardus Dwita Pradana ke Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, lalu ke Ketua DPRD Emelia J. Nomleni dalam Rapat Paripurna di DPRD NTT, Jumat (23/5/2025). Foto: Robert Djehatu

KUPANG.SELATANINDONESIA.COM — Tepuk tangan membahana di Ruang Sidang Utama DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, Jumat siang (23/5/2025). Di depan meja pimpinan, selembar dokumen tebal berganti tangan dari Staf Ahli BPK RI Bernardus Dwita Pradana ke Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, lalu ke Ketua DPRD Emelia J. Nomleni. Di dalam dokumen itu tertulis satu frase yang telah menjadi langganan Pemprov NTT selama satu decade yairtu Wajar Tanpa Pengecualian.

Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi NTT Tahun Anggaran 2024 kembali dinyatakan bersih tanpa catatan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ini menjadi Opini WTP kesepuluh secara berturut-turut, sebuah rekor yang tidak mudah diraih, apalagi untuk provinsi dengan tantangan geografis, fiskal, dan infrastruktur seperti NTT.

“Ini bukan hanya angka dan laporan,” ujar Emelia Nomleni seusai paripurna. “Ini tentang cara kita menjaga kepercayaan rakyat.”

WTP, tiga huruf yang sering dianggap pencapaian puncak dalam dunia birokrasi fiskal. Tapi bagi Gubernur Melki Laka Lena, WTP hanyalah pijakan awal. “WTP adalah bentuk pertanggungjawaban. Tapi lebih dari itu, ini soal integritas dan janji sosial kepada rakyat,” katanya ketika ditemui usai acara.

Bernardus Dwita dari BPK menyampaikan, laporan NTT dinyatakan memenuhi seluruh aspek evaluasi: sesuai standar akuntansi pemerintahan, menyajikan informasi memadai, patuh pada regulasi, dan menunjukkan sistem pengendalian internal yang efektif. “Tapi jangan lupakan, selalu ada ruang untuk pembenahan,” ujarnya mengingatkan. BPK mencatat masih ada sejumlah temuan yang harus ditindaklanjuti. “WTP bukan tujuan akhir.”

Tentu, catatan-catatan itu tak dibacakan di mimbar. Namun, dalam ruang-ruang audit BPK, masih ditemukan hal-hal yang perlu diperbaiki diantaranya efisiensi anggaran, pengawasan penggunaan dana hibah, hingga kualitas belanja daerah.

Ketua DPRD NTT Emelia Nomleni dalam pidatonya, menekankan bahwa keberhasilan pengelolaan keuangan harus bermuara pada keadilan sosial. Ia menyebut empat indikator nyata yaitu pendidikan berkualitas, layanan kesehatan cepat dan tepat, infrastruktur jalan yang layak, serta irigasi yang menyentuh sawah-sawah petani kecil.

“APBD bukan alat administratif, tetapi kontrak sosial yang harus ditepati,” katanya, dengan suara yang ditekan pada kata “kontrak”.

Sejak 2015, NTT tidak pernah luput dari status WTP. Di era Gubernur sebelumnya, Viktor Laiskodat, hingga kini di bawah kepemimpinan Melki Laka Lena, tata kelola fiskal dijaga ketat. Gaya kepemimpinan berubah, tetapi satu hal tetap, ketekunan menyusun laporan keuangan sesuai standar negara.

Pencapaian ini pun menjadi semacam simbol reputasi birokrasi NTT yang tak lagi bisa dipandang sebelah mata. “NTT bisa menjadi pilot project tata kelola fiskal daerah di Indonesia Timur,” kata Bernardus.

Namun reputasi, sebagaimana janji, harus terus ditegakkan lewat realisasi. Dalam sepuluh tahun WTP, rakyat menanti apakah akuntabilitas anggaran juga dibarengi dengan akuntabilitas moral terutama dalam menjawab kebutuhan dasar.

Di luar gedung DPRD, langit Kupang bersih dan terik. Di jalan-jalan, sopir ojek masih sibuk menunggu penumpang. Di desa-desa pedalaman, guru honorer tetap berjalan kaki menuju sekolah. Di ladang-ladang kering, petani menatap langit, berharap hujan dan irigasi.

WTP adalah kehormatan. Tapi rakyat menanti bukti bahwa angka dalam laporan itu adalah janji yang tidak hanya tertulis, tetapi benar-benar ditepati.*/laurens leba tukan/fara

Center Align Buttons in Bootstrap