
Dari Lembata hingga Sumba, Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena ingin setiap desa punya satu produk unggulan. Program SKALA masuk sebagai mitra dalam membangun dari data, menumbuhkan dari akar.
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Angin dari Selat Sawu berhembus pelan di beranda Rumah Jabatan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Selasa malam (13/5/2025). Di ruang tamu, Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena duduk bersama para tamu dari Australia, Lead SKALA NTT Eripto Marviandi dan Team Leader SKALA Jakarta, Petra Karachi. Pertemuan malam itu membahas proyek besar, mengubah wajah desa-desa di NTT lewat data dan produk lokal.
SKALA (Kemitraan Strategis Australia–Indonesia untuk Akselerasi Layanan Dasar), program kerja sama bilateral, bukan datang dengan pendekatan birokratis. Mereka menjemput visi Gubernur Melki yang sejak awal menjabat ingin menjadikan potensi lokal sebagai pilar utama ekonomi.
“Kita identifikasi baik-baik potensi SDA dan SDM di setiap sektor. Lalu kita dorong jadi sesuatu yang konkret,” kata Gubernur Melki, penuh semangat.
Ia bukan berbicara tanpa dasar. NTT, provinsi kepulauan dengan 3 zona budaya besar Flores, Sumba, dan Timor menyimpan ribuan wajah kemiskinan sekaligus potensi besar. Di Lembata, para perempuan masih menenun sarung ikat secara manual, tapi sulit menjangkau pasar. Di Manggarai Timur, kopi arabika tumbuh subur di pegunungan, namun kalah promosi dari kopi Gayo atau Toraja. Sementara di Sumba Barat Daya, peternakan sapi rakyat melimpah, tapi minim pengolahan pasca panen.
“Setiap desa kita dorong punya produk. Kita mulai dari skala kecil, satu desa, satu produk,” ujar Gubernur Melki. Program itu dinamainya One Village, One Product (OVOP), sebuah adaptasi dari model pengembangan ekonomi desa di Jepang.
Di Pulau Rote, ujung selatan Nusantara, kerajinan sasando nyaris punah karena tak ada regenerasi. Di Alor, garam tradisional masih diolah secara turun-temurun tapi belum bersertifikasi. Di daratan Timor, tenun ikat Amarasi, Biboki, dan Insana terancam kalah saing oleh kain pabrik impor.
“SKALA bisa bantu kita identifikasi potensi-potensi itu. Juga bantu pasarkan ke gerai-gerai umum seperti mall, bandara, atau pusat perbelanjaan,” kata Gubernur Melki. Ia bahkan membuka ruang kolaborasi dengan gereja dan lembaga keagamaan agar warga desa ikut merasa memiliki program.
Namun yang paling ia tekankan malam itu adalah data. “Data itu kekuatan kita. Tanpa data, kita hanya main feeling,” ujarnya.
Gubernur Melki ingin SKALA ikut mendukung penguatan data dasar di tiap desa dan kelurahan mulai jumlah anak putus sekolah, ketersediaan air bersih, rasio tenaga kesehatan, kondisi jalan, sampai rumah tak layak huni. Ia bahkan menyarankan pelatihan bagi aparatur RT/RW agar mampu menghimpun data langsung dari warga. “Mereka yang paling tahu kondisi tiap keluarga. Data dari bawah lebih tajam,” katanya.
SKALA menyambut baik usulan itu. Sebagai program kerja sama strategis Pemerintah Australia dan Indonesia, SKALA memang fokus pada tata kelola layanan dasar berbasis bukti, terutama di daerah tertinggal dan terpencil.
Bagi Kepala Bapperida NTT, Alfons Theodorus, kerja sama ini bisa jadi momentum baru pembangunan NTT. “Selama ini kita sering kejar target tanpa peta. Data ini peta kita,” ujarnya.
NTT adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi ketiga secara nasional. Tapi di saat yang sama, ia memiliki cadangan energi baru terbarukan, lahan peternakan luas, rempah langka, dan kekayaan budaya tekstil yang nyaris tak tertandingi. Gubernur Melki ingin menenun semua potensi itu dalam satu pola pembangunan yang baru: berbasis data, dikembangkan dari desa, dan dipasarkan ke dunia.
Malam kian larut, tapi diskusi di ruang tamu Rujab Gubernur itu belum padam. Di luar, lampu-lampu kota Kupang menyala temaram. Namun di dalam, nyala tekad membangun NTT dari pinggiran justru sedang berpijar terang.*/)laurens leba tukan/radit