
Oleh Dr. Thomas Ola Langoday, SE.,M.Si.
Dosen Global Economic Institute STIE OEmathonis Kupang
Pengantar
Saya diminta manajemen LPP RRI untuk mengisi acara Pelaksanaan Program Mozaik Indonesia tanggal 25 April 2025 dengan topik: Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Hilirisasi Produk Olahan Sumber Daya Alam Non Tambang. Ini adalah salah satu program prioritas gubernur NTT yang oleh LPP RRI ini mengemasnya dalam diskusi dengan focus pada Optimalisasi PAD.
Dasar Hukum
Untuk dapat memungut PAD, maka pemerintah daerah mesti mempunyai dasar hukum. Dasar hukum yang utama adalah UU Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU ini bisa saja langsung diterapkan tanpa produk hukum turunan jika semua objek dan subjek yang diamanatkan dalam UU ini sudah sesuai dengan kondisi daerah dan atau pemerintah daerah setempat baik provinsi maupun kabupaten kota. Namun, jika ada objek, subjek dan besaran pungutan yang belum sesuai dengan kondisi daerah sekaligus tidak bertentangan dengan UU ini maka diperlukan produk turunannya berupa Peraturan Daerah (Perda) baik pada tataran Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah kabupaten kota.
Sumber Pendapatan
Dalam buku Manajemen Keuangan Daerah: Menjaga Keseimbangan Antar Generasi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah (Langoday, T.O., 2025), mengemukakan bahwa minimal ada enam (6) sumber pendapatan daerah non pajak dan ini selaras dengan UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Jasa Umum; retribusi perizinan tertentu, Pendapatan dari Pengelolaan Kekayaan Daerah; dividen dari BUMD dan terakhir Pendapatan Lain-lain yang Sah.
Berkenaan dengan topik diskusi ini, yaitu Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Hilirisasi Produk Olahan Sumber Daya Alam Non Tambang, maka diuraikan masing-masing sumber ini beserta contoh produknya, agar baik pengambil kebijakan dalam hal ini gubernur, bupati dan walikota serta tim pendamping lapangan dapat mengetahuinya untuk kemudian dapat diimplementasikan untuk tujuan mulia yaitu kesejahteraan Masyarakat NTT yang hari ini Tingkat kemiskinannya nomor urut 4 dari 38 provinsi di Indonesia.
Untuk memudahkan pemahaman maka sesuai pengamatan penulis, lebih kurang/minimal ada 5 komponen produk unggulan sumber daya alam non tambang yang mempunyai potensi besar di NTT untuk Hilirisasi, yaitu: pertama, Produk Pertanian: jagung, sorgum, kelor, jambu mete, kopi, vanili, asam, kemiri. Kedua, Produk Peternakan: daging sapi, ayam, babi dan kambing (produk olahan: dendeng, abon, frozen meat). Ketiga, Produk Kelautan dan Perikanan: ikan, rumput laut (olahan: tepung, jelly, kosmetik). Keempat, Produk Kehutanan Non-Kayu: madu hutan, kayu putih, minyak atsiri (banyak di Kabupaten Belu. Minyak Atsiri ini mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dan bisa mengkompensasi peran minyak cendada. Penelitian Langoday, T.O., dalam journal of Applied Economics, 2011). Kelima, Garam tradisional: untuk konsumsi dan industri (farmasi/kosmetik).
Dengan potensi produk olahan yang disebutkan untuk hilirisasi, maka ada peluang bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan PAD nya. Adapun sumber-sumber PAD yang dapat dioptimalkan dari produk olahan hilirisasi ini meliputi beberapa sumber.
Pertama, Retribusi Jasa Usaha. Ada dua sumber turunan dari retribusi jasa usaha, yaitu 1) Penyewaan lahan dan fasilitas industri pengolahan (misalnya kawasan industri, gudang, atau sentra pengolahan hasil alam); dan 2) Retribusi pasar untuk hasil olahan seperti tenun ikat, garam, gula lontar, minyak kelapa, dan lainnya.
Kedua, Retribusi Jasa Umum. Ada tiga sumber penerimaan turunan dari retribusi jasa umum, yaitu 1) Jasa uji mutu produk (sertifikasi, pengujian laboratorium hasil olahan). 2) Layanan pelatihan teknologi tepat guna dan manajemen usaha bagi UMKM pengolah hasil alam. Dan 3) Layanan promosi dan pameran produk olahan lokal.
Ketiga, Retribusi Perizinan Tertentu. Ada dua sumber penerimaan turunan dari retribusi perizinan tertentu, yaitu 1) Izin usaha pengolahan hasil pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan non-kayu (seperti madu hutan, kemiri, asam, dll). 2) Izin mendirikan bangunan industri kecil menengah (IKM) pengolahan.
Keempat, Pendapatan dari Pengelolaan Kekayaan Daerah. Di sini ada dua sumber pendapatan turunan, yaitu: Penyertaan modal daerah dalam BUMD yang mengelola usaha pengolahan hasil alam (contoh: BUMD yang mengelola industri garam atau hasil laut). 2) Kerjasama pemanfaatan aset daerah untuk usaha pengolahan seperti pabrik es, pengering hasil pertanian, cold storage, dll.
Kelima, Dividen dari BUMD. Sumber penerimaan ini diharapkan dari BUMD yang bergerak dalam sektor agroindustri, industri hasil laut, atau kehutanan rakyat yang telah melakukan hilirisasi.
Keenam, Pendapatan Lain-lain yang Sah. Ada tiga sumber pendapatan turunan dari pendapatan lain-lain yang sah, yaitu 1) Royalti atau lisensi produk unggulan lokal jika sudah memiliki hak kekayaan intelektual (HKI). 2) Penjualan hasil litbang daerah (misalnya teknologi pengolahan garam bersih, mesin pengupas kemiri, dsb). 3) Kompensasi lingkungan atau jasa lingkungan dari pelaku usaha pengolahan berkelanjutan.
Penutup
Jika pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa/kelurahan dapat mengindentifikasi produk-produk unggulan di wilayahnya dan mampu untuk melakukan hilirisasi, maka sumber-sumber pendapatan yang disebutkan dapat dioptimalkan tidak saja untuk pelaku usaha tetapi juga untuk desa/kelurahan. Kabupaten/kota dan tentunya juga provinsi NTT.
Dalam buku Ekonomi Pembangunan: membangun Negeri Unggul dan Berperadaban (Langoday, T.O., 2024) dikatakan bahwa jika suatu daerah atau negara mau menjadi daerah/negara unggul, maka harus dimulai dengan hilirisasi produk unggul. Hilirisasi produk unggul melahirkan penggusaha unggul. Himpunan pengusaha unggul akan melahirkan industry unggul. Himpunan industry-industri unggul akan melahirkan daerah/negara unggul.*