
Presiden mengenang kunjungan bersejarah Paus Fransiskus ke Jakarta dan warisan pesan-pesan kemanusiaannya. Pemimpin agama Islam di Indonesia ikut bersuara.
JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Pagi masih muda di Jakarta ketika kabar duka dari Vatikan menembus dinding-dinding Istana Merdeka. Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik yang dikenal sebagai suara kaum marjinal, wafat di usia 88 tahun pada Senin pagi waktu setempat, 21 April 2025. Beberapa jam kemudian, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan belasungkawa secara resmi, penuh hormat, tapi juga sarat makna.
“Dunia kembali kehilangan sosok panutan,” ujar Presiden Prabowo dalam tayangan video yang diunggah kanal YouTube Sekretariat Presiden. “Sri Paus Fransiskus memiliki komitmen besar terhadap perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan.”
Pernyataan itu bukan sekadar basa-basi kenegaraan. Bagi Prabowo, Paus Fransiskus adalah figur langka yang mampu menembus sekat-sekat ideologis dan keagamaan. Ucapan belasungkawa Presiden juga membawa publik kembali ke momen bersejarah, kunjungan Paus Fransiskus ke Jakarta pada September 2024. Lawatan pertama pemimpin Vatikan itu ke Indonesia meninggalkan gema yang Panjang, baik di dalam Gereja Katolik maupun di ruang publik Indonesia yang majemuk.
“Kunjungan Sri Paus Fransiskus ke Jakarta tahun lalu telah memberi kesan yang mendalam,” ujar Prabowo. “Tidak hanya di kalangan umat Katolik namun juga di hati seluruh rakyat Indonesia.”
Kunjungan itu memang bukan peristiwa biasa. Ribuan umat Katolik memadati Stadion GBK untuk misa akbar, sementara tokoh-tokoh lintas agama duduk berdampingan dalam dialog pluralisme yang difasilitasi oleh pemerintah. Dalam pidatonya saat itu, Paus Fransiskus menyampaikan pesan yang tak lekang oleh waktu:
“Indonesia adalah mozaik keindahan. Dari Sabang sampai Merauke, saya melihat harapan hidup berdampingan yang nyata. Dunia harus belajar dari Indonesia bagaimana merawat keberagaman tanpa rasa takut,” (Paus Fransiskus, Jakarta, 5 September 2024)
Ucapan itu sontak menjadi kutipan abadi. Dicetak di spanduk-spanduk, dibagikan di media sosial, hingga dipajang di kantor-kantor keuskupan.
Warisan pesan Paus tentang kesederhanaan dan keberpihakan pada kaum miskin juga disebut Prabowo sebagai nilai universal. “Pesan kesederhanaan, pluralisme, keberpihakan kepada orang miskin, dan kepedulian Sri Paus terhadap sesama akan selalu menjadi teladan bagi kita semua,” katanya.
Pernyataan itu terasa kontras sekaligus penting. Di tengah politik identitas yang masih membayangi panggung nasional, penghormatan Presiden terhadap seorang pemimpin Katolik dunia mencerminkan gestur simbolik, bahwa Indonesia tak boleh mundur dari nilai-nilai inklusi dan kemanusiaan.
Di luar Istana, duka juga bergema dari para pemimpin agama Islam. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, menyebut Paus Fransiskus sebagai “sahabat sejati dalam dialog lintas iman.”
“Beliau membuka pintu persahabatan yang hangat dengan umat Islam. Dalam setiap ucapannya, selalu ada semangat untuk mencari titik temu, bukan memperlebar jurang,” kata Gus Yahya dalam keterangannya kepada media.
Senada dengan itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, menggarisbawahi warisan moral Paus Fransiskus yang mendunia.
“Paus Fransiskus adalah tokoh spiritual yang melampaui sekat agama. Ia memperjuangkan keadilan sosial dan kemanusiaan, nilai yang juga menjadi ruh Islam,” ujar Haedar.
Ucapan duka itu ditutup Prabowo dengan kalimat reflektif: “Selamat jalan Sri Paus, pesanmu untuk menjaga kemanusiaan dan perdamaian akan selalu membekas di hati kita.”
Tak hanya kata-kata, gestur Prabowo dan para pemimpin agama seolah menunjukkan bahwa hubungan antara Vatikan dan Indonesia bukan semata urusan diplomatik, melainkan ruang bersama untuk menyemai nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kepergian Paus Fransiskus, Indonesia mengenang bukan hanya seorang tokoh Katolik, melainkan pemimpin moral dunia yang pernah menapakkan kaki di negeri ini, dan meninggalkan jejak yang tak mudah pudar.*/)BPMI Setpres/llt