Duka untuk Paus dari Flobamorata dan Tanah Santri

40
Ungkapan Duka dari Pemerintah dan Masyarakat Provinsi NTT atas wafatnya Paus Fransiskus

Dari Kota Kupang hingga lorong-lorong pesantren Jawa, Paus Fransiskus dikenang bukan hanya sebagai pemimpin Gereja, tapi jembatan kemanusiaan lintas iman. Gubernur Melki Laka Lena dan Deny Iskandar bersaksi.

 KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Pagi itu, angin dari Teluk Kupang membawa kabar muram dari Roma. Senin, 21 April 2025, pukul 07.35 waktu Vatikan, Paus Fransiskus mengembuskan napas terakhir di kediamannya di Domus Sanctae Marthae. Tapi gema kehilangan itu tak terhenti di Basilika Santo Petrus. Ia menggema hingga ke Flobamorata.

Di bundaran Tirosa, Kota Kupang, ribuan orang tengah merayakan Paskah dalam pawai tahunan yang meriah. Lagu rohani, tabuhan beragam etnis, dan koreografi parade budaya dan religi memenuhi jalan-jalan utama. Tapi irama itu mendadak terhenti saat Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena, meminta semua umat berhening sejenak.

“Hari ini, dunia berduka,” ucap Gubernur Melki dengan nada perlahan. “Bukan hanya umat Katolik. Bukan hanya Vatikan. Tapi seluruh umat manusia.”

Seketika, warga menundukkan kepala. Doa pun dipanjatkan, bukan hanya oleh umat Katolik, tapi juga oleh ribuan umat Kristen Protestan yang ikut serta dalam pawai Paskah terbesar di wilayah timur Indonesia itu. Beberapa bahkan terlihat meneteskan air mata saat lagu “Bapa Kami” dilantunkan dalam berbagai bahasa daerah.

“Paus Fransiskus telah menjadi wajah belas kasih Tuhan di dunia,” ujar Gubernur Melki, usai doa bersama. “Ia membawa iman keluar dari tembok gereja. Ia hadir di antara pengungsi, korban bencana, dan mereka yang paling terlupakan.”

Gubernur Melki Laka Lena tidak berlebihan. Ia mengenang bagaimana Paus Fransiskus membasuh kaki para migran dalam perayaan Kamis Putih, sebuah gestur yang ia sebut sebagai “liturgi dari luka dunia.” Ia juga mengingat peristiwa langka, kunjungan Paus ke Masjid Istiqlal di Jakarta.

“Itu bukan sekadar simbol,” kata Gubernur Melki. “Itu pesan kuat bahwa kita bisa hidup berdampingan, menjahit keberagaman menjadi kekuatan bersama.”

Dari Jakarta, Deny Iskandar menyimak berita duka itu dengan diam yang panjang. Mantan aktivis HMI dan penulis buku Katolik di Tanah Santri ini pernah bertemu langsung dengan Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus, seusai menempuh studi dialog antaragama di bawah naungan Nostra Aetate Foundation.

“Beliau menyapa saya dengan hangat. Saya bukan Katolik, tapi beliau memeluk saya seperti saudara,” ujar Deny. “Itu bukan diplomasi. Itu cinta yang tulus.”

Paus Fransiskus memang dikenal melampaui batas doktrin. Ia menulis Fratelli Tutti tentang persaudaraan lintas iman, menyuarakan keadilan iklim dalam Laudato Si’, dan merawat relasi antaragama lewat gestur kecil yang menggetarkan. Ia bahkan disebut-sebut sebagai arsitek Dokumen Istiqlal, deklarasi damai dan kepedulian ekologis yang lahir dari kunjungannya ke Indonesia.

“Beliau adalah Paus yang berpikir seperti pemimpin dunia,” kata Deny. “Imam yang paham geopolitik, tapi tetap rendah hati.”

Kedua tokoh ini, Gubernur Melki dari NTT, Deny dari dunia santri, berasal dari tradisi yang berbeda, namun bersua dalam kesaksian yang sama bahwa Paus Fransiskus adalah jembatan di tengah dunia yang penuh sekat.

Kini, dari Kota Kupang hingga pesantren-pesantren kecil di Jawa Timur, kenangan akan Paus Fransiskus hidup dalam Tindakan. Dalam relawan yang merawat korban bencana, dalam guru lintas agama yang membangun ruang dialog, dalam politisi yang memilih keberpihakan daripada kekuasaan.

Dan pagi itu, di Kota Kupang yang bermandikan cahaya matahari timur, doa untuk Paus Fransiskus naik dari ribuan bibir yang berbeda-beda iman, namun satu dalam rasa kehilangan.

“Selamat jalan, Bapa Suci,” bisik Gubernur Melki.

“Dunia akan merindukanmu,” ujar Deny.*/)ab/ocep/llt

Center Align Buttons in Bootstrap