
ATAMBUA,SELATANINDONESIA.COM – Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), berada di ambang kehancuran! Bangunan yang sudah berusia puluhan tahun kini nyaris ambruk. Dinding retak menganga, atap bocor di berbagai sudut, dan plafon yang runtuh menjadi pemandangan sehari-hari di dalam jeruji besi perbatasan. Kondisi yang sangat tidak layak ini tidak hanya mengancam kenyamanan, tetapi juga keselamatan ratusan warga binaan serta petugas Lapas.
Kondisi mengenaskan ini membuat Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi Partai Golkar, Dr. Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, S.H., M.H., terkejut saat melakukan kunjungan kerja pada Jumat (28/3/2025). Ia tidak menyangka bahwa di perbatasan negara, masih ada fasilitas pemasyarakatan yang sangat tidak manusiawi seperti ini.
“Ini bukan sekadar Lapas yang tak layak, ini bencana yang menunggu waktu! Blok hunian lebih tua dari usia saya, dindingnya bisa roboh kapan saja. Jangan heran kalau ada napi yang kabur dengan mudah karena bangunan ini sudah sangat rapuh! Ini sangat memprihatinkan dan berbahaya,” tegas Umbu Kabunang dengan nada geram.
Politisi asal NTT ini langsung berjanji akan membawa persoalan ini ke pusat dan memperjuangkan anggaran untuk renovasi segera. “Kita tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlangsung. Warga binaan tetap manusia, mereka berhak mendapatkan tempat yang layak. Selain itu, petugas juga bekerja dalam kondisi yang tidak aman. Pemerintah pusat harus segera turun tangan!” katanya dengan penuh penekanan.
Di sisi lain, Kalapas Atambua, Bambang Hendra Setyawan, mengaku sangat resah dengan kondisi ini. Ia mengungkapkan bahwa semakin rusaknya bangunan membuat pihaknya kesulitan menjalankan pembinaan dengan baik. Namun, dengan segala keterbatasan, mereka tetap berupaya menjalankan berbagai program produktif, seperti pertanian dan produksi mebel.
“Kami bekerja dalam kondisi yang sangat terbatas. Kami ingin memberikan pembinaan terbaik bagi para warga binaan, tapi dengan keadaan seperti ini, sangat sulit. Kami berharap pemerintah pusat segera merespons dan memberikan solusi nyata,” ujar Bambang Hendra Setyawan.
Kepala Kantor Wilayah Ditjenpas NTT, Maliki, yang turut mendampingi kunjungan tersebut, juga menyoroti masalah ini. Ia mengapresiasi kerja keras petugas Lapas yang tetap menjalankan tugas mereka di tengah keterbatasan. Namun, ia menegaskan bahwa tanpa campur tangan pemerintah pusat, kondisi ini bisa semakin memburuk dan membahayakan semua pihak.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Lapas Atambua tidak hanya mengalami krisis infrastruktur, tetapi juga minim fasilitas. Sanitasi buruk, ruang tahanan yang melebihi kapasitas, hingga kurangnya sarana kesehatan semakin memperburuk keadaan. Jika tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin tragedi besar akan terjadi di Lapas ini.
Kini, nasib ratusan warga binaan dan petugas Lapas Atambua tergantung pada keputusan pemerintah pusat. Akankah negara bergerak cepat menyelamatkan mereka? Ataukah Lapas ini akan terus menjadi simbol kelalaian negara di perbatasan hingga tragedi tak terelakkan?.*/)llt