
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Sebanyak sembilan dari sepuluh gugatan hasil Pilkada tahun 2024 dari Provinsi Nusa Tenggara Timur gugur dalam sidang dismissal Mahkamah Konstitusi di Gedung MK sejak Selasa (4/2/2025) hingga Rabu (5/2/2025). Satu gugatan hasil Pilkada 2024 dari NTT yang akan dilanjutkan pada tahapan pemeriksaan saksi adalah hasil Pilkada Kabupaten Belu.
“Sembilan Kabupaten ditolak MK, hanya Kabupaten Belu yang lanjut ke pemeriksaan saksi,” sebut Komisioner KPU Provinsi NTT, Baharudin Hamzah yang dihubungi SelatanIndonesia.com, Rabu (5/2/2025) malam.
Baharudin Hamzah mengatakan sembilan Kabupaten di NTT yang gugatannya ditolak MK yaitu Rote Ndao, Alor (Gugatan Ditarik), Sabu Raijua, Flores Timur, Sikka, Manggarai Barat, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
“Sejak hari ini sembilan kabupaten yang perkaranya ditolak MK agar menggelar rapat pleno terbuka penetapan pasangan bupati dan wakil bupati terpilih. Selanjutnya mengajukan ke DPRD untuk proses pelantikan,” sebut Baharudin.
Salah satu kabupaten di NTT yang gugatan hasil PIlkada gugur di MK adalah Kabupaten Rote Ndao. Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak berwewenang mengadili permohonan Vicoas Trisula Bhakti Amalo dan Bima Theodorianus Fanggidae, yang dikenal dengan sandi politik Lontar Malole.
Pembacaan Ketetapan Nomor 111/PHPU.BUP-XXIII/2025 atas permohonan PHPU yang diajukan Vicoas Trisula Bhakti Amalo dan Bima Theodorianus Fanggidae, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao Tahun 2024, Nomor Urut 02, yang berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 4 Desember 2024, dilakukan pada Selasa, (4/2/2025).
Pengacara senior, Prof Yafet Rissy selaku pihak terkait yang dihubungi SelatanIndonesia.com, Rabu (5/2/2025) mengatakan, Mahkamah Konstitusi dalam amar penetapannya “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili Permohonan Pemohon”. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi bahwa berdasarkan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016…yang seharusnya menjadi “Objek dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan adalah Keputusan Termohon mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang dapat memengaruhi penetapan calon terpilih’.
Namun demikian Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa “Permohonan Pemohon tidak berkenaan dengan permohonan pembatalan Keputusan Termohon (in casu Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Rote Ndao) mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang dapat memengaruhi penetapan calon terpilih sebagaimana ketentuan Pasal 2 PMK 3/2024, melainkan permohonan pembatalan Berita Acara dan Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dari Setiap Kecamatan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Rote Ndao tentang Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Rote Ndao Tahun 2024, sehingga permohonan Pemohon salah objek. Dengan demikian, permohonan Pemohon bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya,” sebut Prof. Yafet Rissy.
Menanggapi Penetapan tersebut, Prof. Yafet Rissy menyatakan bahwa pertimbangan sudah sangat tepat. “Ini berarti Mahkamah mempertimbangkan dan menerima eksepsi Lawyer Pihak Terkait dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi huruf A.2 Objek Peselisihan BUKANLAH Objek yang Berupa Keputusan Termohon (KPU) mengenai Keputusan Tentang Penetapan Hasil Pemilihan tetapi pembatalan berita acara rekapitulasi,” katanya.
Sebagaimana diketahui, dalam dalam eksepsinya, Pihak Terkait yang diwakili Prof. Yafet Rissy dkk menyatakan bahwa “telah terbukti bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara a quo, karena yang menjadi Objek Perselisihan dalam Permohonan Pemohon adalah BERITA ACARA dan SERTIPIKAT Rekapitulasi Hasil. Sedangkan, yang termasuk dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili Objek Perselisihan yang berupa KEPUTUSAN tentang PENETAPAN HASIL. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi TIDAK BERWENANG untuk mengadili Objek Perselisihan yang berupa Berita Acara dan Sertipikat Rekapitulasi Hasil,” jelas Prof. Yafet Rissy.*/)llt